Tampilkan postingan dengan label #Negeri1000hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Negeri1000hati. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juli 2013

Ini Rindu

Selamat sore ku sapa mega.. Rembulan perlahan datang menggantikan tugas mentari memberi senyumku untukmu yang jauh di sana. Kerlip sinar bintang cukup mengobati laraku akan ingatan dua bola matamu.
Ini rindu. -tamat

Selasa, 25 Juni 2013

Memories by: Carlos Jonathan

Look at the stars that shining the night
i see the love once brighter my heart
i can't see it again the day when i see
how was that i love u
and it still the same today...

Do you remember my 1st over you
i can't stop smile when you say that you like
And now just sweet memories that feel up my tears
i still can't believe that we goodbye

Many love come in bear down
but no one
full in my heart like you lovin' me

cause i still love you so..

World might know see how pure is i love
edge might know hear i cries every night
God please don't let her smile fade away
even she can't be mine anymore 

Maybe someday you find other loves
starting your journey and goodbye from me
please don't erase me from your memmory
so i can keep ure love deep in my heart
and say thanks to God you were my love
so i can keep your light in my heart
and say thanks to God you were my love


Senin, 01 April 2013

Aku Gila

Hujan tiba-tiba mengantarkanku memasuki sebuah toko roti yang sangat ku kenal. Setiap Jumat sore aku datang kesana sekedar melihat dan merasakan piano sore kala itu, menanti senja yang menghadap lurus pada wajahku, dan oranye akan membuat aku lebih nyaman saat itu.

Hari ini bukan Jumat, tetapi aku harus berteduh karena hujan. Aku memutuskan untuk duduk di kursi piano. Hujan kala itu menambah kenikmatan sepotong roti dan soklat hangat yang ku pesan. Siang menuju sore, sore berkejaran berganti senja.

Dentingan piano ku mainkan. Terdiam sejenak, lalu aku menekan deretan tuts hitam putih tersebut. Aku bernyanyi bagai bicara pada hujan. Ya, siang ini tak secerah biasanya. Maret, satu bulan penuh kedamaian akan tatapannya. Aku memutuskan berbagi cerita pada hujan siang melalui nada yang ku mainkan, seadanya karena aku memang tidak lihai bermain salah satu alat musik yang penuh romansa ini.

"Aku rasa, aku gila," kataku. Ku rasa aku terdiagnosa schizophrenia sejak pertama melihatmu. Namun, itu sebenar-benarnya bukan pertemuan kita yang pertama. Aku terjangkit penyakit ini sejak masih bayi. Aku rasa aku mulai mengalami gejala retinoblastom sejak melihat mu saat itu, namun entah kenapa baru sekarang butanya. Aku buta akan segala hal, terhipnotis akan senyumanmu. Keramahanmu. Pemikiranmu.

Perlahan denting piano mulai mencapai klimaks seperti saat aku bersalaman denganmu. Semua hormon mengalir deras dalam tubuh ini. Belum, belum terbayang olehku keindahan tubuhmu sampai aku merasakan orgasme. Aku masih sampai pada titik kebahagiaan penghilang stres. Ya, kau salah satu antidepresan terbaik untukku selain coklat hangat. 

Boleh aku mengenalmu lebih lagi? Aku adalah penderita schizophrenia seketika sejak saat itu, Januari kita bertemu. Saat dimana kau mengalunkan suara dan dawai gitar, yang sebenarnya sudah ku ketahui kemampuanmu sejak aku kecil. Kau malaikat, susah dimengerti jalan pikiranmu oleh manusia biasa. Ya, ku sebut kau malaikat. Dan semakin kecil harapanku untuk melihat wujud aslimu karena jarak yang terlalu jauh. Kasta kah?

Sebenar-benarnya aku tidak sakit. Aku tidak gila. Namun, melihat namamu muncul saja dimana-mana aku epilepsi, mendadak kejang hingga berjingkrak-jingkrak sendiri. Sel-sel otakku semakin berpacu untuk membentuk jaringan dan menstimulasi mataku mengalami dilatasi. Aku tertarik padamu.

Hujan, aku tersenyum sendiri saat itu. 

Perlahan dentingan pianoku berubah menjadi minor, crescendo,  decrescendo. Seperti yang ku bilang tadi, ia manusia entah setengah malaikat. Membuatku ketakutan. Dan lagi-lagi berusaha menghindar untuk tidak tertarik pada sosok ini, aku takut. Aku ketakutan, dia lawan jenisku. Laki-laki sebutannya. Tubuh tegap berbahu lebih bidang dariku. Sosok yang kutakuti sepanjang hidupku. Ya, hujan, kau tahu bagaimana aku mengalami kegagalan-kegagalan dalam berhubungan dengan lelaki. Bukan aku tidak setia, atau aku tidak sempurna. Aku memuja diriku bagai dewi, aku miliki magis untuk terus membawa hubungan pada satu kebahagiaan, tapi aku naif. 

Naif sampai akhirnya aku kapok mengenal laki-laki. Yang katanya dapat melindungi, yang katanya cinta sampai mati, yang katanya mau berjuang bersama, yang katanya.. banyak kata-katanya. 

Sudah bukan waktunya untuk bermain-main dengan khayalan pernikahan. Aku ingin mewujudkannya, dengan dia. Tapi dia jauh. Bahkan kami tak saling mengenal, ada satu ketakutan dalam hatiku untuk mempercayakan dia bisa menjadi milikku. Tapi malaikat itu punya potensi ini. Jika diberi stimulus, aku yakin dia akan mengerti. Tinggal bagaimana Tuhan bekerja saja, aku selalu memohonnya lewat doa walau merasakan ketidaklayakan.

Tapi sepertinya, sejauh ini ia hanya menganggap permintaanku adalah sebuah permainan anak remaja yang baru mengalami masa-masa pubertas. Hei, aku hampir seperempat abad sesaat lagi. Masihkah aku terlihat seperti remaja saat ini? Sudah ku lewati fase itu. Hanya saja begitu mendengar namamu dan melihat dirimu, penyakit gilaku kambuh lagi. Diam, mengatur kata, tersenyum sendiri, imajinasi tentang pernikahan mucul lagi di kepalaku. Aku gila, sudah ku akui itu. Aku menyerah.

Percayalah, itu bukan aku yang sebenarnya. 

Hanya saja aku tidak bisa menahan kegelian pada perutku tiap membayangkanmu. Kupu-kupu rasanya berlomba mengepakkan sayapnya dan menggerak-gerakkan kakinya disana. Kemudian aku kembali memberikan gestur repetitif pada jemariku karena cemas akan apa yang kau pikirkan tentang aku.

Aku naikkan ritme musik piano yang ku mainkan. 

Sedikit menghilangkan kegalauan akan sesuatu yang tak pasti. Ya, cinta masa lalu yang sudah sedemikian indahnya namun tak jua bisa bertemu dipelaminan. Dan aku menaruh harapan yang besar padamu, akan hidupku. Tetapi, terbesit kembali bahwa kau berada di setengah langit biru, dan aku hanyalah ikan yang berusaha melompat memasuki duniamu. Berusaha terbang dengan sirip hingga terluka.

Haruskah aku berhenti mencoba? Hujan, bagaimana?

Perlahan hangat mentari datang lagi. Hujan pun tak menjawab. "Lagi-lagi seperti ini...," keluhku.

Dentuman terakhir nada G mengakhiri rangkaian melodi hatiku. Aku berhenti. Jangan beri aku isyarat lagi. Aku tutup piano klasik ditoko roti favoritku. Kemudian aku menunduk untuk mengemasi barang-barangku yang berceceran diatas sustain. Jatuh saat aku panik melihat namamu muncul dilayar ponselku sesaat lalu.

"Selamat ulang tahun, " katamu " ini kadonya, di dengarkan ya...,"

Aku kembali gila. Namun, tetap saja kita belum bertemu untuk bersama.



Jumat, 01 Maret 2013

Terhalang Kaca

Mengepul asap kenikmatan dari semangkuk soto panas dari mangkukku, hari ini agak mendung tepat rasanya untuk menikmati soto ini.Kulihat jam tanganku, “ini saatnya..”, kataku dalam hati.

Tak lama keluar sosok itu. Tubuh yang tidak atletis namun penuh dengan karisma, jam 12.10 iya pasti keluar dari akuariumnya. Akuarium aku sebut ruangan itu. Kami terpisah oleh kaca. Seperti film kartun saja, dia berada di dalam akuarium dan aku hanya bisa memandanginya dari balik box transparan itu tanpa pernah menegurnya sekalipun.
12.25 Saatnya dia kembali masuk ke dalam akuarium bersama teman-teman sedivisinya. Di tempat aku bekerja jam 12 bukanlah jam makan siang. Kadang ada yang baru datang, ada yang pergi, bahkan ada yang belum pulang ke rumahnya. Ya, dia seringkali tidur di kantor. Namun 12.25 adalah waktu ia mengecek telepon genggamnya. Entah apa yang ia lihat disana. itu adalah waktu yang pasti dan “satu.. dua.. tiga..” ia tersenyum. Setelah itu ia duduk lagi di depan komputernya.
Aku belum lama bekerja disini. Namun aku langsung tertarik padanya, entah magnet apa yang menyebabkan ini terjadi, ada banyak sekali ikan di dalam akuarium besar itu, namun aku hanya melihat dia.
14.25 Aku biasanya ke toilet di jam-jam segini dan mendapati dia merokok di luar. Ruangan kami berpendingin sehingga tidak mungkin dia berada di dalam akuarium besar itu. Sesekali ku dengar tawanya dari toilet. Ya, tempat mereka berkumpul ada di depan lorong menuju toilet, tepat di depan ruang resepsionis kantor ini. Hari ini dia menggunakan baju hitam, kaos kesukaannya dengan kalung dari gigi hewan, hmm.. baru kali ini aku melihatnya. “Nice..” hatiku berbicara. Ya, aku tak pernah sekalipun berbicara dengannya. Hanya menatapnya saja aku sudah puas.
18.45 Hari ini aku pulang terlambat. Akuarium itu masih saja ramai, ruanganku yang berada di luar akuarium lebih gila lagi dengan musik ska yang dipasang oleh salah satu rekan lain divisi. Ruangan ini begitu hidup ketika malam. Aku suka. Yah, beginilah pekerjaanku sebagai jurnalis. Tidak ada waktu tetap kapan aku harus datang ke kantor atau harus pulang. Istilah “teng-go” tidak berlaku disini. Bahkan atasanku sering sekali pulang diatas jam delapan malam. Hari ini kurasa cukup sampai pukul 19.00.
19.00 “Ahh..!!” terperanjat aku berpapasan dengannya. Tersenyum. “Duluan ya mas.” “Oke hati-hati ya..”. Singkat, padat, dan jelas. Hanya itu yang dapat ku lakukan. Mendadak jantung berdebar cepat. Aku kesusahan bernafas. “Hmmmhh… huuufff..”, kuatur nafas perlahan. Aku berjalan pulang meninggalkan kantor. Aku menoleh ke belakang, siapa itu yang mengintipku? Ah, mungkin dia. Sudah beberapa malam aku lembur selalu ada yang mengintip dari balik pintu itu. Aku tak mengacuhkannya, “Tapi itu benar dia bukan ya?”, aku bicara sendiri. Aku jalan secepat mungkin dan segera mengejar bus jurusan rumahku.
=========================================================
09.00 Sengaja aku melambatkan langkahku. Dia pasti sudah datang jam segini. Sayangnya gadis itu hanya lewat sesekali. Tapi hari ini sepertinya dia kedinginan dibalik balutan baju hijau toskanya. Hari ini rambutnya digerai. Tidak diikat, panjang dan ikal. Tidak begitu hitam namun tidak mengurungkan niatku untuk membelainya. Aku hanya bisa memandangnya dari balik kaca ini. Kenapa sejak ia masuk aku berdebar-debar tiap melihatnya melewati kaca disampingku ini.
12.25 Aku mencari-cari smartphoneku. Ah, sebentar lagi dia akan melakukan pose itu. Aku menangkap gambarnya yang sedang termenung. Hari ini termenungnya berbeda, apa yang ia kerjakan? Manis. Ah, dia melihat ke dalam. Aku tertangkap basah sedang tersenyum, lebih baik aku melakukan apa yang biasa aku lakukan, berpura-pura tersenyum pada kaca layar telepon genggamku.
14.25 Aku pergi keluar, karena hanya jam-jam segini aku bisa menikmati kebebasan barang sebentar. Ya, aku punya banyak waktu sebenarnya, cuma saat ini selalu tepat aku bisa melihat dia entah ke toilet atau sekedar melewati mejanya. Aku bisa keluar dari pintu depan akuarium ini, namun aku memilih belakang agar bisa melintasinya.
18.45 Ramai-ramai kami menertawakan tarian yang sedang in saat ini. Kantor ini begitu heboh karena bisa melakukannya. Semua membuka videonya bergantian dan mentertawakan diri mereka satu-satu. Aku keluar. Merokok seperti biasa. Dia, hari ini dia pulang jam berapa tak bisa ku prediksi.
18.59 Ku matikan rokokku, ku lihat dia berjalan ke arahku. Pura-pura jalan ke arahnya agar bisa menyapa sedikit kurasa tak ada salahnya.
Terperanjat dia menatapku. “Duluan ya mas.” “Oke hati-hati ya..”. Hanya itu yang terlontar dari mulut kami. Prelahan dia pergi menuruni tangga, tumben hari ini dia tidak naik lift. Besok Sabtu, dia pasti tidak masuk karena memang jadwalnya untuk libur.
=========================================================
Anak baru. Manis. Hari kemarin ia terpojok sendirian karena tidak membawa laptop. Dia harus menggunakan komputer kantor dan komputer itu hanya ada di pojokan. Sendirian. 
Hari ini dia membawa laptop. Sengaja aku suruh dia duduk dimeja temapt aku mengotak-atik PC. Itu bukan mejaku, tapi daripada dia sendiri disana. Dimeja kosong ini dia bisa bersebelahan denganku, walau sampai saat ini dia belum menyapa atau melihatku sedikit saja. Dia tampak serius mengerjakan tugasnya. Beberapa siang ku lihat dia tidak makan. Tapi, entah aku yang tak melihatnya.
Hari ini tak banyak aku duduk disampingnya karena banyak yang memanggilku untuk membetulkan komputernya, nasib pria panggilan. Beginilah kalau jadi pintar sendiri. Bukan aku memuji diri, tapi karena memang tak ada lagi tenaga untuk ruangan ini. Tidak yang sibuk sampai perkara game online memanggilku untuk menanyakan sesuatu.
Aku tak pernah makan disampingnya, biasanya aku keluar bersama yang lain saat makan siang. Sedikit membakar batang tak masalah, aku melakukan itu siang hari ini juga bukan tidak ada tujuan, dia pergi ke toilet tiap jam ini. Aku hapal jamnya dan gerak-geriknya jika sudah ingin ke toilet, padahal baru beberapa hari aku disampingnya.
Aah, dia ke toilet. Aku bersama teman-temanku hanya memperhatikannya.
“Itu siapa?”, tannya salah seorang temanku. “Anak baru..”, kataku singkat. Aku tak ingin teman-teman lain tahu aku melihatnya lebih banyak daripada mereka. Banyak yang cantik di kantor ini, tapi entah mengapa aku tertarik padanya.
Hari ini dia tidak lembur lama. Sebentar lagi dia pulang. Aku tahu karena aku duduk disebelahnya dan ia sudah berkemas sekarang. Aku pindah ke meja asliku. Aku terlalu malu untuk mengatakan hati-hati.
Dia hilang. Kemana dia? Biasanya dia turun lewat lift. Bergegas aku mencari bayangannya. Bersembunyi aku dibalik pintu kaca. Hanya sebatas kaca ini aku bisa memerhatikannya. Esok, Sabtu. Libur aku tak bisa melihat wajahnya. Lebih baik agak sedikit maju agar bisa lebih lama melihat bayangannya pergi. Selamat berlibur, manis.

Selasa, 26 Februari 2013

Kucing penunggu hujan


Alkisah disebuah rumah terdapat seekor kucing kecil yang hidup bersama ayah dan ibunya. Mereka hidup bahagia sampai akhirnya sang ayah dan ibu berpisah. Kucing kecil ini hidup sendiri, luntang-lantung di jalanan. Pernah ia dipelihara oleh majikan yang baik, namun tak lama majikannya tiada. Pernah pula ia dipelihara oleh seorang tua renta, namun ia pergi berkelana meninggalkan majikannya.
Seiring berjalannya waktu, kucing kecil tumbuh menjadi kucing dewasa yang pemberani, ia gagah, kuat, dan mempesona diantara kucing lainnya. Ia tidak sombong, ia murah hati. Namun, ada satu rahasianya.

Saat ia sendiri, ia kembali mengingat ketika itu, hujan.
Hujan selalu menemaninya saat ia senang atau pun susah, saat ia sendiri atau pun bersama teman-temannya. Dinginnya hujan tak dianggapnya sebagai halangan, ia menganggapnya teman, ia merasakan kehangatan, nyaman.

Sampai suatu hari ia jatuh cinta pada hujan. Ia berbincang-bincang pada hujan. Sesekali mereka bercanda dan saling merayu. Ia jatuh cinta pada tetesan hujan. Ia mengungkapkan cintanya pada hujan, namun apa yang dapat diperbuat hujan? Ia tak dapat melakukan apa-apa.

Hujan tidak sama dengan kucing.

Hujan tak memiliki tangan dan kaki seperti kucing.
Hujan tak dapat makan seperti kucing.
Hujan hanya bisa membelai kucing dengan sentuhannya, sesekali.
Hujan hanya bisa memberikan kedamaian pada kucing, sesekali.
Hujan hanya bisa menemani kucing bercanda, namun tidak untuk dimiliki.
Hujan pun sedih.

Berderai air mata hujan kala itu, membanjiri beberapa tempat dimana kucing itu berada. Hujan pun menyayangi kucing itu, walau kadang ia hanya bisa membasahinya dengan air mata atau tawa.
Hanya kucing itu yang tau.

Dan sekarang, kucing kecil itu sudah menjadi seorang pemimpin.
Tak ada yang tahu apa yang dirasakan kucing kecil itu.
Hanya alam yang mengerti mengapa setiap hujan turun, kucing itu selalu menatap jendela dan tertidur sambil mendengar senandung riuh gemericik air hujan.
Tak ada yang tau seberapa lama kucing itu dapat menatap rinai-rinai manja hujan dari balik jendela. Hanya dari balik jendela.

Ya, iya mencintai hujan dan hujan pun demikian. Sampai suatu saat musim panas itu datang. Hujan pergi dan menghilang. Kucing itu sedih terus menunggu hujan, ia selalu menoleh ke arah jendela berharap langit menyampaikan pesannya melalui isyarat mendung bahwa hujan akan datang kembali.

Itulah setidaknya sedikit cerita dongeng dari ibu mengenai kucing peliharaanku, yang setiap hujan akan duduk manis menatap jendela, dan dengan tenangnya ia menikmati hujan seakan-akan hujan berbicara padanya tentang cinta.

Selasa, 19 Februari 2013

Aku pergi bersama angin

Aku pergi bersama angin
Berjalan tipis-tipis
Mengendap-endap
Agar tak seorang pun tau aku pergi bersama angin

Aku pergi bersama angin
Aku bernyanyi berbisik
Selembut angin menyentuh dawai-dawai alam
Menyentuh daun-daun telinga

Aku pergi bersama angin
Membawa mimpi semakin tinggi
Mimpi-mimpiku yang selama ini
Ku rasa tidak pernah terlalu berlebihan

Aku pergi bersama angin
Lembut berpelukan
Menari bersama angin
Mengibas rerumputan

Aku pergi bersama angin
Membiarkan rambutku terurai
Bergelombang seperti nada suaramu yang terakhir ku dengar
Sebelum aku pergi bersama angin

Jumat, 23 November 2012

Tuhan, lalu malam datang padaku, kembali menggurat sendu. Hilir mudik lalu-lalang bayangannya di mataku. Entah sampai kapan perasaan ini mengganggu. Ia dan aku sudah lama tak bertemu, jangankan bertemu membalas pesan pun ia tak mau. Apa ini akibat cinta? Apa ini yang namanya rindu? Tuhan, masih teringat bagaimana ia membuatku tertawa. Dia yang kembali membuat aku berani. Tuhan, lalu dimana dia sekarang. Ku tarik ulur rindu, ku hempas pintu kelabu, aku ingin bertemu.

Kamis, 23 Agustus 2012

Langit 7 warna: Putri Kesepian

Hai Pangeran Kelana.. Apa kabarmu?
Salah sepertinya jika ku tanyakan apa kabarmu, ku dengar kau hidup bahagia bersama putri kupu-kupu yang lembut.
Bagaimana kelembutannya menyapamu setiap pagi? Apakah kalian selalu berkejar-kejaran dalam ria? Tak perlu ku tanyakan kembali seharusnya.

Ku lihat kesehatanmu membaik disana. Tidak seperti dahulu ketika kau bersamaku, Putri Kesepian. Dahulu setiap hari kau harus melalui peperangan untuk menjagaku, kau harus melompat ke bola dunia yang berbeda dan melewati partikel-partikel langit yang bermacam-macam dan membuatmu terluka dimana-mana, kau masih harus bertani membuat sebuah taman bunga agar aku dapat tetap hidup, tanpa kesepian. Bahkan, harus melawan Raja Kelana dan Ratu Sari untuk tetap bersamaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah istanamu baik-baik saja?

Kini, dibawah langit jingga dan hembusan angin aku menyuarakan hati ini. Aku teringat akanmu, bukan sepele untuk memikirkanmu, aku tak pernah mau. Lalu, aku bersuara, menyuarakan hatiku. Kemudian, ku kirim bersama buih ombak yang datang mendekatiku perlahan. Satu demi satu aku bisikkan pelan pesanku dalam buih-buih kehampaan yang tak tahu kemana singgahnya, mencari tahu keberadaanmu untuk menyampaikan suara hatiku. Namun kusadari, ini bukan lagi suara cinta, ini kesedihanku.

Kubisikkan pada mereka yang bergulir lembut dibawah jemari kakiku. Lembut seperti cintamu yang akhirnya menyakitkanku, karena aku tahu, kita tak bisa bersama, bagai ombak dan pasir pantai, kau datang, bergelombang, lalu pergi. Tak dapat bertahan sekejap waktu. Jika tau begitu tak ku titipkan hatiku pada buih-buih cintamu, aku akan pergi memilih batu karang yang akan tetap bersamaku walaupun ia keras dan kasar, setidaknya ia takkan meninggalkanku, kesepian.

Berjalan aku meninggalkan langit jingga. Aku pergi melihat pohon kenangan, tersandung aku pada sebuah nisan bertuliskan "Aku datang menghadap kematian, meninggalkan kenangan yang terindah." Itu kuburan kenangan kita. Tak pernah ku gali. Aku hanya ingin meninggalkannya, tapi di tanggal ini, aku kembali seperti menggali kuburan itu. Tepat disaat bulan purnama, saat jejak-jejak ksatria tak terhentak ke tanah, tepat saat terdengar lagi letupan api peperangan, inilah masa ketika Raja dan Ratu menjadi orang paling bahagia seantero jagad raya dunia khayalku, tepat di hari ini ingatan tentangmu membuat aku merasa bagai diserbu ribuan panah namamu ke dalam hatiku. Sakit. Lukanya dalam dan banyak. Tak tahu berapa banyak ladang rumput yang akan berubah menjadi merah karena darahku. Satu persatu panah terbang dari ufuk barat ke arahku, merah menyala warnanya, aku diam. Panah pertama sudah tepat mengenai jantungku. 

Pangeran Kelana, secepat itukah duniamu berputar?

Mengapa kita tidak diciptakan dalam sebuah dunia yang sama sehingga kau tak perlu melakukan hal-hal yang tak seharusnya?
Mengapa aku hanya dapat memandang bola duniamu tanpa bisa terbang kesana? Aku meminta pada Dewa Hujan untuk memberikanku sayap air agar aku bisa terbang menemuimu, walau dalam hati aku tak ingin melihatmu sama sekali, Dewa Hujan tak mengizinkannya. 

Aku kembali memandang langit marah yang merah sambil merenungimu. Rambutku berkibar ke belakang, terlihat samar-samar cahaya merah akibat pantulan warna langit tempat aku berdiri. Ku lihat duniamu sedang berputar, kau berkejaran dengan Putri Kupu-kupu. Aku tak mengerti arti kelembutan, maafkan aku. Namun, mengapa kau mengatakan ternyata selama ini tak pernah kau pahami setengah dari duniaku? Ada sisi yang tak kau pahami dalam bola udara duniaku, dimana kebebasan menjadi asas di dalamnya. Tapi, mengapa itu terjadi setelah sekian lama.

Lalu aku menangis.

Aku pergi mengambil akar menjalar dan menganyamnya membentuk sebuah simpul kematian.
Aku naik diatas sebuah kursi kayu yang selalu ku gunakan untuk memandang cermin, yang membuatku menangis ketika aku sadari tak ada lagi mulut bibirku, aku kehilangan mulut untuk berkata-kata tentang cinta, aku tak punya bibir. Ya, selain itu tak juga kumiliki mahkota cantik bagai Putri Kupu-kupu. Aku hanyalah seorang anak Petani yang tak mampu membeli keindahan dunia. Inilah aku. Putri Kesepian. Aku tak memiliki apa-apa selain kesepian.

Bulat tekadku, ku buat sebuah simpul terakhir diwajahku (ku anggap aku masih memiliki bibir yang kau renggut untuk mengucapkan kata cinta), ku ambil sebuah batu granit tajam berwarna hitam pekat dan menorehkannya tepat di jantungku yang tertikam panah. Ku keluarkan dengan jeritan menuju kematian. Keluarlah jantungku, masih berdegup kencang. Lalu ku masukkan kepalaku ke dalam simpul tali, dan aku tersenyum simpul.

"Lebih baik aku mati daripada harus melihat keindahan dunia yang tak mampu ku miliki, atau bahkan dunia yang pernah ku miliki. Tunggulah buih-buih itu terbang ke langit dan kau akan mendengar jeritan hatiku."

Dan aku mati. Putri Kesepian.

Rabu, 11 Juli 2012

Aku mencintai Dia


Suatu hari akan ada seorang dia yang akan menemaniku di saat nanti. Inilah sekilas tentangnya. Aku mencintainya. Aku mencintainya hingga mati. Hingga benar-benar maut yang memisahkan kami. Tidak. Bahkan maut takkan menghentikan cintaku dan cintanya. Semua yang kusebutkan dibawah ini bertentangan dengan tipikal Dia yang dahulu selalu menjadi idamanku, Dia dimasa nanti adalah benar-benar hal yang tak dapat ku duga, ia datang tiba-tiba dalam hidupku.

Adalah Dia. Dia lebih dewasa daripada karakterku namun ia tidak pernah menganggapku anak kecil, karena orang dewasa selalu menganggap segala sesuatu adalah hal yang unik dan berbeda, mereka maklum dengan itu semua.

Adalah Dia seseorang yang tidak memakai jam tangan di kanan atau kiri tangannya. Dahulu aku menilai bahwa Dia yang memakai jam tangan akan benar-benar baik dalam mengatur waktu. Tidak, lebih baik ketika ia tidak menggunakan jam tangan daripada ia menggunakan jam tangan namun tidak sedetikpun waktunya ada untukku, dan aku tak mau rasa cintaku terbatas oleh setiap pergeseran jarum didalam benda kecil itu.

Adalah Dia yang suaranya tidak begitu indah namun bersedia menyanyikan lagu-lagu indah untukku, memainkan musik-musik dengan alunan nada yang bisa membuatku terpana karena itu dia.

Adalah Dia yang memiliki tubuh lebih tinggi dariku, aku tidak menginginkan yang lebih rendah dariku, minimal aku agak sedikit menengadah ketika melihatnya. Bukan karena apa-apa, namun ini karena aku mudah sekali menangis ketika dalam keramaian dan aku tidak menemukan dia disana, jika tubuhnya lebih tinggi dari tubuhku, setidaknya aku mudah untuk mencarinya.

Adalah Dia yang badannya tidak kekar namun memiliki bahu yang sedikit lebar dan tak perlu begitu bidang, asalkan aku cukup nyaman bersandar dibahunya, asalkan ia terlihat gagah ketika memakai sebuah jas putih saat kami menikah nanti, entah hitam pun tak apa, asalkan ketika aku melihat bahunya ada sebuah kekuatan disana. Kekuatan untuk menempuh hidup bersamaku.

Adalah Dia yang aromanya selalu ku ingat. Bukan aroma parfum saja, tetapi ketika parfum itu menyentuh kulitnya ada aroma lain disana yang dapat mengingatkanku selalu padanya. Ia tidak bau karena ia menjaga kebersihannya. Ia tidak perlu rapi seperti pejabat-pejabat, ia tidak perlu bergaya necis ketika berada di depanku, cukup menjadi dirinya saja. Dengan kaos oblong putih andalan laki-laki dan celana pendek itu lebih sexy. Dengan jumper atau sebuah jaket untuk melindungi tubuhnya itu mungkin lebih baik.

Adalah dia yang pekerja keras. Ia akan bekerja bukan hanya untuk membahagiakan dirinya sendiri, keluarga menjadi prioritas utamanya, terkadang ia gagal, ia tidak selalu sukses dalam apa yang ia kerjakan, disitulah dia akan membuatku menjadi seseorang yang sangat hebat baginya, seseorang yang bisa menjadi sandarannya, seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya, seseorang yang terus berdoa dan berjuang bersamanya.

Adalah Dia yang selera humornya baik sekali, hingga sekali waktu aku murung ia diam pun aku bisa tertawa karena tingkahnya, aku bisa merasakan bahagia walaupun ia sering menggodaku. Terkadang menyakitkan ketika ia menggoda secara berlebihan, namun entah mengapa aku tak bisa hidup tanpanya.

Adalah Dia yang dapat mengobati kekecewaanku terhadap cinta. Aku sudah tak percaya akan kata-kata orang mengenai orang baik. "Ya, dia baik." "Ya, dia alim.." "Ya, dia rajin ke gereja, pelayanan, dia sangat mencintai Tuhan." namun ia tak bisa menghargai dan tak tahu bagaimana caranya mengasihi sesamanya. Tidak, cukup buktikan cintamu pada Tuhan dengan sikapmu, bukan dengan status atau sekedar kata-kata indah. Kenyataannya kecintaan seseorang pada Tuhan tak dapat membuatku melihat cinta yang sebenarnya di dalam dirinya, aku kecewa.

Adalah Dia yang dapat membawaku keliling dunia dan membuatku mengerti tentang ini dan itu. Dia cerdas, dia pintar, dia mampu mengalihkan pandanganku, dia mampu bergaul akrab dengan semua umur. Dia mampu membawaku masuk ke sebuah dunia baru, dia mampu membanggakanku di depan mata orang lain.

Adalah Dia yang mau menari bersamaku di bawah hujan atau teriknya mentari. Di rumah maupun di pinggir sebuah jalan yang begitu ramai. Ia mengangkat tanganku dan membiarkanku berputar-putar layaknya balerina kecil bersama ayahnya. Ia membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Ia mengerti.

Adalah Dia yang tak perlu memiliki banyak sekali harta. Namun ia tahu bagaimana ia menggunakan uang yang ia miliki. Dengan semua kekayaan dirinya dia mampu membahagiakan semua orang dan dapat membantu siapapun. Dengan ketegasannya dalam mengambil keputusan, ia dapat membuat semua orang termasuk aku terpana dan merenungkan kata-katanya. Tidak setiap saat ia tegas, namun ia berani dan memberikan kepercayaan padaku, pada cintanya.

Adalah Dia yang ketika aku menangis karena menonton sebuah drama film kesukaanku tidak mentertawaiku, ia memegang tanganku, diam, dan sesekali tersenyum. Ia merasakan apa yang ku rasakan, ketika itu pasti adegan kehilangan, dan dia tau tanpa harus bertanya bagaimana ketika aku kehilangannya. Dia tidak mentertawakanku.

Adalah Dia yang selalu ada dalam doaku. Doaku bagaikan nafas yang tak berhenti terhembus hanya untuknya. Dia yang ada dalam lindungan doaku, penjagaan Tuhan, serta pengendalian diri dari roh kudus dalam dirinya. Ia bukan manusia sempurna, oleh sebab itu dia mencintai Tuhan dan merasa semakin rendah sehingga dia menghormati Tuhan senantiasa.

Inilah dia yang ada di masa nanti bersamaku, lelaki tidak sempurna yang bertemu denganku, dengan kehidupanku yang tidak juga sempurna namun bahagia karena kami saling memiliki dan Tuhan yang mengikat cinta kami. Aku mencintai Dia.

Senin, 02 Juli 2012

Jatuh cinta itu..


Jatuh cinta itu sebuah rasa.
Rasa dimana ketika seseorang memakan permen karet rasa strawberry dan rasanya tidak berubah walau sudah setengah hari.

Jatuh cinta itu sebuah penglihatan.
Penglihatan dimana ketika seseorang menutup mata, terlihatlah sebuah lukisan agung karya yang maha kuasa di depan mata. Ketika dibuka mata itu, ia ada dimana-mana.

Jatuh cinta itu sebuah pertanyaan.
Pertanyaan dikala seseorang bertanya-tanya apa yang membuatnya jatuh cinta dan mengapa ia mencintai pasangannya. Karena cinta tidak butuh jawaban, cinta juga tidak butuh alasan.

Jatuh cinta itu sebuah perumpamaan.
Perumpamaan dimana segumpal awan masuk ke dalam mulut, memberikan kesejukan. Lau masuk ke dalam hati, memberikan kelegaan. Terbawa darah ke seluruh tubuh dan memberikan kehangatan. Di akhir perjalanannya, ia membawa sebuah magnet yang dapat menarik sudut-sudut bibir tersenyum semakin lebar.

Jatuh cinta itu waktu.
Waktu ketika aku tersandung, buku-bukuku berantakan, dan ada kamu disana yang membantu aku membawa kembali buku itu ke pelukanku. Kamu juga yang ada waktu ketika aku dan kamu pertama kali bertemu dan kita saling berjabat tangan dan aliran listrik dari tubuhmu masuk ke dalam tubuhku, begitu pula sebaliknya aku rasa.

Dan yang terakhir, jatuh cinta itu kamu.
Kamu yang membuat semuanya teori-teori terhebat di dunia patah hanya karena pemikiranmu, burung-burung terbang pergi karena suara indahmu, mereka malu. Karena jatuh cinta itu kamu yang membuat duniaku berputar dengan rotasi lebih cepat ketika bersama dan lambat seribu kali lipat ketika kita berpisah. Karena itu kamu.

Jumat, 29 Juni 2012

Anak tak berhati

Berdesakan diantara rintihan dan sengal nafas untuk bertahan hidup.
Diwarnai rinai hujan yang menambah haru cerita seorang anak.
Anak pergi meninggalkan keluarganya mencari sesuap nasi, menyesal ia lahir dalam keluarganya.
Dilihatnya kerumunan anjing-anjing dunia mengantri sudah tak bisa makan mereka sekarang. Ia lihat seorang pejabat yang dulunya sangat pamor kisah hidupnya, sekarang terinjak-injak karena renta tubuhnya ia tak dapat lagi mengantri untuk sesuap nasi.

“Tuan, hatiku masih bagus. Tuan!!” Serunya dengan suara yang melengking. “Tuan, jangan abaikan! Hatiku punya seribu ruang, hatiku berbeda, ambil dia Tuan, aku ingin makan!”

Tuan pun mendengar suara anak itu. Ia mengambil sebuah tongkat panjang yang sudah luayan berkarat akibat darah biadap orang-orang. Ditariknya kepala anak itu dan terseretlah ia diantara manusia bau busuk lainnya.

“Apa maksudmu hatimu punya seribu ruang? Apa saja yang bisa masuk ke dalam sana?” Tanyanya gusar.

“Hatiku memiliki seribu ruang, mereka tidak. Hatiku bisa menampung hati siapa saja, mereka tidak. Kau mau? Ini bisa berkembang lebih banyak lagi, dan kau akan mendapatkan keuntungan yang sangat amat.” 

Berpikir Tuan sejenak melihat anak kucing ini, kurus, berbau, tak berotak mungkin ia. Tapi ia bilang hatinya punya seribu ruang. 

“Kamu! Anak! Masuk ke dalam istana makanlah sepuasmu, aku ambil hatimu.”

“Tidak sembarangan! Ini hati luar biasa! Kau harus memberi makan dan menghidupi ayah, ibu, dan kakakku! Mereka punya lebih banyak ruang dalam hatinya! Kau takkan rugi Tuan!”

“Lalu kenapa hanya kamu yang kesini?”

“Mereka hampir mati!”

Tuan memerintahkan semua pejabatnya untuk melihat keadaan itu, ia masih bertanya-tanya bagaimana seorang manusia memiliki beribu ruang dalam hati.

“Anak!! Besok giliran hatimu. Makanlah yang banyak malam ini.”

“Baik Tuan, tapi tolong beri makan saja mereka sampai seribu hari lagi, hatiku ada seribu ruang, kau harus bayar itu!”

Dan Anak menangis haru dalam tatakan piring berisi makanan itu. Ia bersama yang lainnya yang tepilih saat itu.

Pergilah Tuhan

Tuhan, aku kehilangan.
Tuhan sejenak izinkan aku untuk hidup sendiri. Dimana tidak ada hal-hal benar dan hal-hal yang salah. Izinkan aku hidup tanpa aturan-aturanMu sebentar saja. Izinkan aku untuk hidup dalam skenarioku.
iya Tuhan, ini masih masalah hati, hati yang kehilangan. Ini masalah harga diri. Ini masalah tak ingin diremehkan oleh hal-hal remeh. Izinkan aku menentukan sebentar saja, bahkan sehirup nafas hanya untuk membongkar dada dan mengeluarkan isak tangis yang tersembunyi.
Tuhan, pergilah sejenak (jangan pergi Tuhan, cukup diam dan dengarkan), aku mohon.
Apa kau sudah pergi Tuhan? (tak ada jawaban)
Tuhan, aku cukup berbahagia dengan semua cerita yang aku ciptakan. Dia melindungi hatiku walau harus menjadi fana, tak nampak namun dia ada. Tuhan, aku tak mau tahu apa itu kebenaraan dan kesalahan. Tuhan, izinkan sekali ini saja aku masuk dalam sebuah cerita dimana aku sutradaranya tanpa harus semua orang tahu apa yang ada dibalik hatiku. Kenapa selalu ada kalimat hanya aku dan Tuhan yang tahu. Tuhan, bolehkah sekali ini saja hanya aku dan hatiku yang tahu? Tanpa dirimu? Au sudah tak percaya lagi akan keagungan cinta. Aku sudah tak mau percaya lagi akan hal menunggu cinta, aku ingin aku yang menentukan.
Tuhan, aku merelakan kepergiannya. Aku rela atas semua skenarioMu, izinkan aku selipkan sedikit dari skenarioku. Aku ingin hidup dengan ketegaran tanpa orang tahu bahwa aku melakukan kegilaan. Iya Tuhan, aku sudah gila karenanya dan aku rela melakukan hal gila ini demi keluar dari diriku dan menciptakan cerita baru dihidupku. Lalu kenapa jika ceritaku itu tidak wajar dan menyalahi norma-norma yang seharusnya ada? Lalu kenapa kalau hal yang ku ciptakan merupakan hal-hal yang dianggap tidak pantas oleh sebagian orang, mungkin sesuatu yang menyakitkan hatiMu juga. Lalu kenapa pula jika aku ingin menjadi diriku sendiri, mengambil risiko untuk keluar dari aturan-aturan manusia pada umumnya.

Tuhan, aku tidak menuntut macam-macam, aku hanya ingin semua ciptaanku tak dirusak dan dicampuri. Jangan campuri hidupku. Tolong biarkan aku terbenam dalam lumpur kekalahan ini. Iya, aku kalah Tuhan, aku kalah, tapi bisakah aku tetap menunjukkan topeng ketegaran dan topeng keindahan cinta pada semua orang. Tolong sekali ini saja Tuhan, izinkan aku. Aku akan mengakhiri pada waktunya, semua ini akan berakhir, aku berjanji Tuhan. Tapi tolong aku hanya tak ingin menjadi bahan, aku tak sombong karena memiliki dia yang (pura-pura) melindungiku, aku bukan ingin menyombongkan diri. Aku hanya ingin meneruskan sebaris kebohongan yang akan menemukan ujung ceritanya. Tolong jangan bilang kebohongan ini adalah kesalahan dan kesombongan, ini berarti bagiku. Aku hanya ingin membuktikan dan sedikit mencurangi dia yang merenggut seluruh hatiku.
Pergilah Tuhan, ku harap hal ini hanya aku dan hatiku yang tahu. Tidak ada aturan, tak ada benar atau salah, dan tak ada Tuhan disana. Sebentar saja Tuhan, sebentar saja, pura-puralah tak peduli padaku, pura-puralah tak menyayangiku.
(Tapi tak bisa Kau berpura-pura, kau Tuhan.)

Dalam (dua) diam hati

Puisi..
Dengan ini ku harap kita bertemu kembali..

Aku Cita. Dia Raka.
Kami menulis aksara bersama, menulis apa yang kami rasa dan kami lihat.
Dia menemaniku, dan aku menemaninya. 

Aku benci ketika pagi datang. Kami harus berpisah.
Raka pergi bersama hatinya. Dan aku membawa hatiku.

"Ka.. ini sudah jam 5 pagi."
(Raka, ini jam 5 pagi tandanya kau harus pergi dan membawa hatimu pergi. Raka, tahukah kau.. ?)


"Cita. Aku pergi dulu, menjemput Dila. Kita bertemu di sekolah."


Sibuk ia mengikat tali sepatunya, tak lama melangkah pergi dalam hening.


"Cit! Semoga hari ini kau bertemu Arwin."
Ia tersenyum dan melambaikan tangan.
(Cit, semoga hari ini kau tak bertemu dengannya. Cit, hari ini aku menginap lagi di tempatmu ya, kita menulis lagi.)

"Raka, aku lapar. Aku tunggu kau dibawah pohon alpukat dekat lapangan ya, hari ini Arwin bertanding melawan sekolah lain, aku harus mendukungnya. Jangan yang pedas-pedas, aku takut penyakitku kambuh dan tak bisa mendukungnya!"

Ku ketik dan ku kirim.
(Raka, cepat datang. Aku merindukanmu, Arwin hari ini tampan sekali, tapi aku ingin melihatmu. Ya, aku mengirimkan hatiku.)

beep. "Aku belikan yang biasanya, mau susu juga?"
(Sabar Cita sayang, aku pasti datang.)

beep. "CEPAT!"
(Raka cepatlah, langkahkan kakimu. Tak usah bertanya aku mau apa, aku mau kamu.)

Dibawah pohon ini kami menikmati semilir angin. Menikmati senja semusim.
Diam bersama berdua sampai tersadar bahwa kami terlalu lama disini, itu kalau kami sadar.

"Cit, pulang yuk."
(Cit, boleh lebih lama lagi?)

"Sudah malam ya? Aku lapar."
(Nanti, sebentar lagi ya Raka.)

"Kita makan."
(Cita...)

Berjalan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kami tak terpisah, entah mengapa malam ini tangan Raka begitu hangat. Kami bergandengan setiap menyebrang, hanya ini hal satu-satunya yang dapat membuat aku dan Raka saling mengaitkan tangan, mungkin juga hati, makanya aku suka memutar jalan, agar semakin banyak jalan yang kami sebrangi. Raka senyum-senyum malam ini apa dia malu? Apa dia 
menyukaiku? Atau dia sedang senang karena tadi bertemu Dila. Hmm..


Berjalan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kami tak terpisah, entah mengapa malam ini tangan Cita begitu dingin, membuatku ingin menggenggamnya lebih erat. Kami bergandengan setiap menyebrang. Cita terdiam, apa dia marah karena ku ajak pulang dan meninggalkan Arwin disana? Apa dia menyukaiku? Apa dia marah padaku, aku tersenyum saja. Hmm..

Kelabu ketika tangan kami terpisah dan tanpa ragu aku berlari dalam keadaan setengah sadar setelah berputar beberapa kali dan kurasakan sayatan yang begitu dalam. Ku rasakan tanganku tak lagi hangat. Apa yang terjadi? Dimana Raka. Ah, aku dalam pelukannya.

"Cita, kita tidak akan berpisah kan? Walaupun kita mati.. nanti."
(Cita, kenapa kau lepas tanganku? Cita kenapa aku harus diam melihatmu kaku? Cita, aku belum benar-benar menyatakan perasaanku. Cita, selama ini apa kau mencintaiku?  Cita kenapa kau pergi meninggalkanku? Cita mengapa kita hanya dipisahkan oleh diam? Cita sekarang kau tak lagi dapat menjawabnya. Cita..)

Tatapanku kosong melihat wajahku basah karena linangan air mata yang tak tertahankan, tapi mataku tidak basah. Ini cinta Raka yang berwujud air mata, mereka berkata-kata tentang cinta. Jika saja saat itu aku menunjukkan rasa.

Tatapanku kosong melihat wajahnya basah karena linangan air mataku yang tak tertahankan, perih hatiku. Ini cintaku dalam wujud air mata, mereka berkata-kata tentang cinta. Jika saja saat itu aku mengatakannya, sebelum kita terpisah oleh diam.

Kamis, 28 Juni 2012

Negeri 1000 mantan


Dia terjebak disana. Tak dapat kembali.

“Maafkan aku Lila, maafkan aku! Aku tak mampu hidup dalam negeri kesepian ini!”

Dan aku hanya terdiam.

“Pergi kau!” dalam hati aku mengutuk.

Aku tak tahu berapa jiwa yang sudah berada di dalam sana, mereka bukan terjebak, bukan juga terkurung.
Mereka dibuang disana, oleh hati yang luka. Ya, mereka patut dibuang.

Ini bukanlah sebuah drama, dimana hati yang terluka dapat terobati dan bersama merajut cinta kembali.
Aku pernah mendengar ada sebuah buku yang dapat membuang para mantan ke dalam sebuah sepi yang tak henti, cukup bisikkan mantranya dan kau akan menemukan dia disana terhempas dalam sepi di negeri tanpa tawa. Tidak ada lagi cinta, tidak kenal lagi ia dengan harapan. Disana hanya akan ada penyesalan. Ya, penyesalan akibat perbuatan terkutuk mereka. Laki-laki dan perempuan bersetubuh disana, namun mereka terus merasa sakit dan tersakiti setelah itu, karena mereka terkubur dalam sepi, ini kutukannya. Mereka tak dapat kembali.

Sesaat setelah kulihat Angin disana aku pergi dan bertengkar dengan diriku.

“Tapi itu terlalu kejam! Aku tak ingin Angin terbuang disana. Dan aku akan selalu melihatnya menangis dalam sepi.” kataku.

“Kamu masih peduli padanya? Setelah berkali-kali ia mempermainkan hatimu. Terakhir kali ku lihat dia berjalan bermesraan tanpa peduli setan dengan Rosa dan kamu masih peduli dengan air matanya?”

“Tapi aku mencintainya. Aku tak mungkin melepaskan suamiku dan mengutuknya!” Aku kembali menyangkal.

“Tapi dia bajingan! Dia sudah menodaimu dan belum ada status yang jelas antara kamu dan Angin! Kalian hanya berhubungan badan dan terjebak dalam sebuah status yang tidak jelas. Dia hanya akan menebar benih ke dalam rahim suci perempuan lain!”

Semakin keras suara itu..

“Aku.. Dia ayah dari bayiku!” Aku berteriak.

“Dia hanya pemujamu, bukan penjagamu!”

“Kenapa kau selalu mengganggu saat aku ingin benar-benar mencintainya?”

“Karena aku tidak pernah suka melihatmu dengannya, dia munafik, dia hanya mencintaimu saat kau melakukan hubungan badan yang tanpa sadar menghancurkan kehidupanmu! Masih perlu bukti yang lain? Baru saja aku lihat dia memasukkan barang najisnya ke dalam tubuh Nina! Betapa bodohnya kau!”

Nina, sebuah nama yang tak pernah terpikirkan olehku.
Dia tahu setiap detil perasaanku terhadap Angin.
Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku sudah tak tahan. Aku tak butuh Tuhan untuk ini.
Perlahan ku buka jajaran daftar buku dimana aku bisa menemukan lembaran yang menyerupa kitab itu.

“Dapat.”

Ku temukan dalam sebuah barisan dimana mantra dapat melenyapkan dia.
Ya, dia hanya seorang yang tidak pernah mencintaiku, ia mempermainkanku, begitu juga Nina.
Kubaca dan ku bisikkan kalimat itu, lagi.

Seketika langit gelap, jantungku mencuat keluar. Ku lihat darah dimana-mana. Bola mata berserakan dijalanan. Ku rasa itu adalah mata yang tak bisa mereka jaga. Jemari terpisah satu-satu, mereka menyentuh setiap tubuh yang berjalan tanpa sehelai kain di sebuah jalanan yang semuanya beralaskan janji. Janji terinjak-injak disana. Sesaat jantungku lenyap bersama degupannya, namun aku tidak mati.
Datang dari belakang sesosok tubuh yang aku kenal betul bentuknya, sedikit kekar dengan badan yang cukup tinggi, kulitnya kuning langsat dengan rambut sebahu. Dingin ia memelukku dari belakang.

“Angin..” Kataku.

Ya, itu dia.
Nina mengutukku lebih dulu.

Jumat, 22 Juni 2012

Pigura Kaca

Berkeliling mengitari kubus berukuran dua kali kamarku dan melihat pigura-pigura kaca yang tergores luka tanpa nanah entah ruangan apa ini. Sebenarnya dimana aku? Berjalan tanpa henti, dengan pakaian tidur kesukaanku dan tidak menggunakan alas apapun pada kaki mungilku. Masih terdiam mengelilingi ruangan yang sejak tadi entah beberapa jam yang lalu tak habis juga ku putari, ini bagai rotasi bumi, tak berhenti. Aku memandang pada salah satu luka, tergores tak terlalu dalam, tapi ia mati.

Kembali menjejakkan kaki, aku rasa cukup malam kali ini tapi cahaya masih saja menerangi ruangan tanpa akhir ini. Terus kutapaki perlahan berharap menemukan jalan keluar, suasana tidak mencekam disini, hanya saja bagaimana jika tidak ada pintu keluarnya.

Nila. Nama yang ku baca dibawah sebuah pigura kaca paling kecil. Hatinya kecil namun penuh dengan luka dalam, kini ia mati.
Heru. Lukanya ringan tapi ada guratan-guratan yang tak terjelaskan disana, terlalu lama memendam cinta sepertinya, dan ia mati.
Kinan. Hatinya mati tanpa luka. Ia mungkin mengalihkan hatinya untuk menghindari luka.

Banyak nama dengan berbagai luka dalam pigura kaca, tanpa muka. Aku menangis melihatnya, meraung dan meneteskan air mata lagi, ada yang mati karena rindu disana, ketika yang ditemuinya hanyalah kenyataan pahit bahwa rindunya tak berbalas, rindu mengkhianatinya dengan bercinta dengan yang lain.
Setiap pigura dapat kuikuti perjalanannya, hanya dengan mengikuti irama setiap detak jantung yang ada dalam pigura itu, jadi hati itu masih berdetak, tapi mereka mati, mati untuk cinta. Seperti hati Nila yang kecil, cintanya mati untuk ayah dan ibunya. Ia menjadi pecinta wanita sekarang.

Semakin kuikuti semakin sakit kurasa, aku ingin kembali pada kenyataan, tak lagi ingin dalam bayangan. Apa-apaan ini aku tak bisa menemukan pintu keluar!
"Toloong-tolong!!"

Jeritku tak tertahan, dan aku tersentak melihat sebuah hati. Hitam. bukan karena warnanya yang hitam. Disana terdapat dunia kelam, bagaikan neraka usang yang tak lagi mau menampung para jahanam. Kuikuti detaknya.. diam.. diam..

Ku temui sebuah kisah luka dalam yang tak hilang, perlahan hilang, luka pada yahnya, tiba-tida datang tikaman dalam dari ibunya. Perlahan tapi pasti ada pembuluh darah yang pecah setelah sekian lama hati itu berbunga (entah kapan aku melihat pembuluh darah memiliki musim semi). Lalu, kembali ia berhadapan dengan cinta dan terjatuh, tak terlalu dalam, apa ini..? Menghadapi cinta lagi.
"Kenapa banyak cinta dihati ini, datang bergiliran?"
Berdarah lagi hati itu. Kali ini ia pergi merelakan masa lalu, ya, masa lalu yang tidak membawanya pada masa depan. Ketulusan menjadi alasan, ia menapaki hari bersama cinta yang baru, bukan, ia mencintai lagi. Ketulusan dan penuh doa di dalamnya, bahkan dalam setiap tidurnya doa itu terpanjat, bagai mendobrak pintu sorga meminta hati perempuan itu untuknya, ia mencintainya, bahkan dengan segala dosa-dosanya "aku cinta" kata pemilik hati itu. Perlahan tapi pasti mengapa bagian ini semakin terkoyak, ketika rindu mengkhianati. "Bukankah kisah ini sudah ada di pigura lainnya, ternyata banyak rindu yang berkhianat."

Ia melihat bagaimana satu persatu luka dalam hati itu terjahit kembali, setiap ruang yang terbuka mengalami jahitan-jahitan kasar dengan tujuan menutup hatinya, mengosongkan seluruh ruang yang menjadi bagian hidupnya. Kasar, hati itu kini kasar sekali, terlihat luka disana-sini dengan tetesan-tetesan darah sisa. Ingin aku memeluk hati itu. Erat.
Ia yang paling terluka dari semua pajangan pigura kaca ini, aku ingin menangis bersamanya, dan aku melihat hati itu terkoyak, perlahan lunglai sebelum ia mati. "Sini ku dekap!" bisikku perlahan.

Dan aku menghapus embun bening kaca pada hati itu. ku lihat namanya. Lunar. Nama hati yang akan menjadi masa depanku. Mungkin juga itu hatiku dan aku perlahan mati bersamanya melebur jadi satu dengan setiap darah yang mengalir, agar ia kembali hidup. "Apakah aku mati?"

Ku dengar semua pigura itu pecah berhamburan.. hening.