Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Januari 2015

Lelaki dan Harapan

Seorang lelaki berdiri kaku menundukkan kepala, ragu untuk melangkah. Ia berpakaian rapi untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, nyatanya, ia cuma menutupi sebuah luka. Ia memutuskan untuk duduk di taman yang sepi dan berusaha menahan semua beban yang sedang menjajah pikirannya. Ia berkata-kata pada dirinya sendiri. Lalu, ada suara yang melingkupi tangisnya. Kedua suara itu berulang-ulang membicarakan lukanya, bersahutan.
image
“Mungkin, dia terlalu terluka untuk berdiri lagi.”

“Atau dia masih begitu ingat perih yang dirasakannya setiap malam kala menjaga cinta.”

“Atau ia masih sangat lelah untuk membenahi ruang hatinya yang kacau berantakan.”

“Walau nampak raganya, sebenarnya ia masih bersembunyi di dalam kelam. Gua yang hitam tanpa sedikit pun sinar cahaya.”

“Kau lihat? Ada harapan. Harapan itu menemani dirinya.”

“Padahal harapan itu mencintai dirinya.”

“Harapan itu berkata bahwa ia akan selalu bersamanya.”

“Harapan itu terus berharap. Lihat, diam-diam ia mendatangkan cinta.”

“Melalui celah kecil yang perlahan meluluhkan pekatnya darah akibat luka yang menutupi kepekaannya akan rasa. Pelan-pelan harapan berkata padanya untuk bangkit dan berlari.”

“Perlahan-lahan harapan membuatnya kembali tersenyum dan membuka diri.”

“Harapan itu berkata, tersenyumlah dan kau akan melalui hari. “

“Maafkanlah, agar kau bangkit lagi.”

“Jangan kau lupakan sakitnya, agar tak terulang lagi.”

“Berani lah untuk menebar lagi, maka bunga di musim semi akan menutupi retaknya hati.”

Dan lelaki itu masih berdiam diri.

Minggu, 29 Juni 2014

Duduk Berdua Denganmu

Duduk aku memandang batas laut biru. Ku ikat rambutku yang sudah menyentuh bahu.
Diam-diam dari ujung mataku, ku lihat senyummu.
Kemudian matahari menjilati sendu wajahmu, manis memang.
Melirik sejenak.
Aku berusaha menatap lurus ke depan tak mengacuhkan tatapanmu.
Kuat dan tegas, aku tak mau menoleh.
Tak kuat aku, ku pilih menunduk sebagai jalan keluar.
Kau kembali memandang lingkar samudra. Berbataskah ia? Apa yang kau lihat?
Ku lihat sebuah gereja tua tak jauh dari tempat kita terpaku. Memaku. Tanpa memadu.
Kasih, dengar kah?
Sekeras suara lonceng gereja berdentang aku menyuarakan kasihku. Setenang samudra aku menikmati tiada balasmu.
Kamu tahu?
Namun, jika menikmatinya menyejukkan jiwa, apalah arti balas yang berujung duka.

Senin, 29 Juli 2013

Ini Rindu

Selamat sore ku sapa mega.. Rembulan perlahan datang menggantikan tugas mentari memberi senyumku untukmu yang jauh di sana. Kerlip sinar bintang cukup mengobati laraku akan ingatan dua bola matamu.
Ini rindu. -tamat

Rabu, 26 Juni 2013

Ketika Tuhan 'Bercanda' Tentang Cinta

Suasana kantor masih ramai kala aku mendengarkan sebuah lagu yang menguras air mataku siang itu. Sebuah lagu dengan petikan gitar dan suara khas yang masih jelas ku ingat. Menebak-nebak dalam hati, apakah ini..

Aku terdiam sejenak, berlalu lalang orang karena memang hari ini adalah hari yang cukup sibuk untuk pekerja kantoran seperti kami. Sepertinya lebih baik aku pergi ke toilet untuk menangis. Sebenarnya aku tak ingin menangis, tapi entah kenapa lagu itu menghantarkan kembali aku pada waktu sekitar 2 tahun yang lalu. Tepat saat aku masih bersama seseorang yang (katanya) begitu mencintaiku.

Katanya dalam lagu itu, ia masih mengingat bagaimana ia tersenyum kala pertama bertemu denganku. Ia masih ingat bagaimana aku menerangi hari-harinya, benarkah? Tuhan sedang bercanda. Apa yang Kau lakukan pada hatiku Tuhan. Aku dan dia kini memiliki hidup sendiri-sendiri, aku sudah memiliki yang lain di hatiku, dia pun memiliki pasangan yang sempurna. Namun, mengapa sepertinya semua sudah diatur.

Berawal dari keisengan teman kantorku yang ingin mengunggah lagu milikinya, aku bantu ia melakukannya. Membuka website tersebut dan aku menemukan sebuah lagu yang sempat mencengangkanku. Aku berkomentar, "lagi dong lagu-lagunya, suaramu bagus ya ternyata," terlarut aku mendengar deretan lagunya. Hingga aku mendengarkan lagu yang tetiba membuatku sempat berhenti berfikir dan bernafas.

Ya, dia. Tuhan kembali memutarkan video cinta di kepalaku. Ingatan-ingatan memabukkan ketika aku bersama seseorang yang kini entah ada dimana. Aku tahu kami masih satu negara, bahkan kami masih dalam satu kota yang sama. Bisa saja aku tahu, tapi aku tak mau tahu, aku terlalu membencinya. Keputusan untuk mengakhiri hubungan beberapa tahun lalu ternyata masih membekas di hatiku, padahal aku sudah yakin aku tak lagi menginginkannya. Aku tak cocok dengannya.

Bagaimana bisa aku sePD itu mengatakannya? Aku benar tak menyukai sikapnya saat itu. Ia tak siap menjadi lelakiku yang tangguh rasanya. Seperti yang ku katakan, aku menginginkan seorang Pangeran, namun sayangnya yang ku butuhkan dalam hidupku adalah Robin Hood. Aku menyukai ungkapan itu.

Bahkan dalam sekejap waktu aku melupakan ulang tahunnya. Ya, dia masih mengingatnya tapi aku tak mau lagi berurusan dengannya. Namun, ini lah candaan yang kuasa. Kami bertemu lagi di kota padat penduduk ini. Dan entah mengapa aku harus bertemu dia di gereja, ya rumahMu Tuhan.

Sepertinya jika aku menceritakan keutuhan kisahnya kalian akan menghabiskan 4 tahun untuk membacanya. Karena kalian sedang berhadapan dengan candaan Tuhan tentang cinta.

Akhirnya dengan sedikit keberanian aku bertanya pada kerabatnya. Ia menceritakan padaku bagaimana dulu ia menciptakan sebaris nada dengan kesedihan disetiap malamnya. "Aku pikir lagu itu diberikannya padamu,". Tidak, nyatanya tidak. Jika saat itu dia memberikanku lagu itu, mungkin aku tak akan berfikir apa-apa tapi tidak sekarang. Aku semakin memikirkannya.

"Gawat," aku menangis di dalam toilet.

Sepulang dari kantor aku kembali menyusuri jalan dengan air mata. Aku bertanya pada Tuhan, lagi-lagi aku bertanya pada Tuhan yang mengacaukan hatiku. Aku sedang tak ingin bercinta Tuhan, aku masih saja pengangguran sampai sekarang, belum memiliki pekerjaan tetap. Hanya buruh tulis bayaran. Apa yang bisa ku banggakan, dia yang dihatiku juga bukan milikku semuanya menjadi sementara saat ini.

Sedangkan dia? Ya, kesuksesan dan kehidupan yang indah besertanya selalu sejak dahulu. Tuhan, benarkah aku tak bisa menjadi diriku sendiri saat aku bersamanya? Kadang kurasa iya, kadang tidak. Karena aku benci sikap-sikapnya, aku rasa ia belum bisa menjadi apa yang ku butuhkan. Aku tak butuh materi yang berlimpah, aku butuh dia yang bisa menerima kegilaanku bukan dia yang menutup telinganya ketika aku gembira.

Aku ingat bagaimana dirinya saat aku mengatakan aku menyukai seseorang dan ketika itu dia akan sudah akan menyatakan cintanya pada kekasihnya sekarang. Dia bilang "Sepertinya benar aku masih tak memahamimu, memahami duniamu," itulah kalimat yang masih ku ingat. Kau katakan itu saat kau akan menyatakan cintamu padanya, saat lagu tentang gundah menemukan masa kadaluarsanya.

Bagaimana sekarang?

Aku menekuk lutut di tempat tidurku, aku menangis sejadi-jadinya bertanya pada Tuhan mengenai candaanNya ini. "Apa ini Tuhan? Mengapa harus ada perasaan seperti ini lagi? Aku tak mau ini terjadi hanya karena aku sedang sendiri. Aku berkomitmen untuk tidak berpacaran sampai aku mendapatkan pekerjaan tetap, akankah ini hanya cobaan?". Kembali aku merenung dan mengusap air mataku.

Tak bisa tidur sampai tengah malam, aku putuskan untuk menghubunginya. Namun, aku tak berani akhirnya tak ku hiraukan pesan singkat yang ku kirimkan untuknya. Aku tertidur dengan pikiran penuh tentangnya dan tentang semua pertanyaanku pada Tuhan.

Tuhan, jika bisa sebelum aku membuka mata buatlah dia menikah. Agar tak ada lagi bunga tulip kuning yang menjadi lambang adanya harapan cinta. Tuhan, satu pertanyaanku yang bisakah Kau jawab segera? Siapakah yang Kau ciptakan ketika Kau memikirkan ku? Tulang rusuk siapakah yang ada di dalam tubuhku yang kau pakai untuk menegakkan tubuhku saat aku remuk dan akan terjatuh? Siapa?

Diakah? Bagaimana caranya Tuhan? Aturlah, aku akan mengikuti jalanMu. Aku tau hidup ini, bahkan untuk urusan kapan aku harus tidur Kau sudah mengaturnya. Tuhan jaga dia.

"Selamat malam, masihkah kau terjaga? Aku ingin mengatakan bahwa aku membencimu. Aku benci kau masih membawaku dalam keadaan seperti ini. Bagaimana cintamu dengannya? Kapan menikah? Terimakasih untuk memintaku tak menghapus tentangmu, namun sepertinya saat itu kau mengucapkannya sebelum kau sadari bahwa selama ini kau tak pernah benar memahamiku. Saat ini, kau telah menghapus semuanya, aku? Giliranku tersiksa (lagi) karena kenangan itu. Sepertinya benar sebaiknya kita tak usah lagi bertemu. Tak seharusnya aku kembali menghubungimu. Bagaimana rasanya ketika aku datang lagi? Masihkah cintaku menduduki hatimu? Dengan semua keindahan yang telah kau jalani bersamanya? Semoga Tuhan tak lama-lama bercanda denganku, dengan kita. Aku, yang kini bingung apakah aku merindukanmu ataukah ini hanya sesaat. Gin"


Selasa, 25 Juni 2013

Just Relax

One condtion and yes you're in love
Even you know that
It'll be a trouble
Hei don't you think love is just like a korean drama?
No no no life is so real if you realize

Just relax if you got broken
Just relax if you  feel the pain
Just relax if you not really got the prince and pound
This is life taht you can't control,
This life isn't just talk about love
Yea yea
So, just wondering that
God will send you someone
You don't know who is he and either him
And that will be the happiest momment in your life
When you get the end with the one

So relax!
And follow the way of your life..

Jumat, 19 April 2013

Ini Awalnya, Aku dan Kamu Akhirnya


"Permisi..Permisi.." hhhhhh..hhhh..hhh..

Berlari-lari aku mengejar waktu, aku terlambat 30 menit untuk hadir dalam acara itu. Kalau sampai aku terlambat bisa habis aku.

Acara hari ini adalah acara event pertama yang harus aku tangani. Aku harus bergegas sebelum dokter itu pergi. Aku harus menunjukkan performa terbaikku untuk mencapai target.
 
Hari ini dengan baju coklat, celana jeans ketat hitam, serta sepatu wedges dan tas coklat yang baru saja tiba dari Singapore tadi malam aku masih saja mengejar bus menuju tempat tujuanku. Untungnya, untungnya, bus dari halte transit menuju mall tujuanku ber-AC sehingga aku bisa mengelap sedikit keringat dan memoles bedak serta perona pipi andalanku. Tak ketinggalan pewarna bibir berwarna oranye yang selalu menjadi senjataku untuk menggaet klien.

Huup! Aku melompat keluar dari bus bergerbong ganda itu. Aku berjalan cepat-cepat sampai orang terheran-heran melihatku. Ya, Bagaimana tidak dengan wedges setinggi ini aku membalap sekian banyak orang, semua demi masa depanku.

Sampai sudah aku digedung mewah berisikan brand-brand ternama. Aku tak pernah belanja disini, belanja mata saja iya. Lantai 3, itu tujuanku lagi-lagi aku masih harus bertualang untuk mencari restoran tempat meeting ini akan berlangsung. Lantai 3, belok kiri, bersebelahan dengan ah, ini dia restorannya.

"Ehm.. meeting dengan bapak Michael dimana ya mbak?"

"Oh, private room. Mari saya antar,"

Betapa tidak berdecak kagum, restoran ini benar-benar kelas atas. Meja-mejanya, dekorasinya, sofanya pelayannya pun bagai bodyguard menjaga kenyamanan tamu-tamunya. Masih sepi, belum ada tamu yang datang selain ruangan yang sudah setengah tertutup. Gawat, ku rasa aku terlambat.

"Silahkan mbak,"

"Oh, terimakasih."

"Akhirnya datang. Sudah lengkap semua ya tamu kita? Halo mbak saya Erna dari kreatif acara ini."

Satu-persatu bersalaman bertukar kartu nama dan bersalaman menyebut nama. Tiba-tiba karena masih mengatur nafas karena telah berlari begitu jauh aku oleng. Sambil bersalaman aku terduduk di kursi dan menjadi bahan tertawaan.

"Santai saja mbak, belum mulai kok meetingnya.. Hahahaha", ujar Bapak Michael yang akan menjadi sumber pendanaan bagi rangkaian acara di luar kota nanti. Demi target masa depanku, walaupun sedikit malu dihadapan orang-orang saat itu. Benar saja, banyak yang berdandan lebih dari aku. Cantik dengan brand-brand ternama diseluruh tubuhnya. Aku lihat, aku total, mungkin sekitar 10 juta ada di tubuh mereka. Ciut nyaliku.

Aku duduk dikursi pilihanku. Baru kusadari apa yang membuat aku oleng dan terduduk. Ada sebuah tas dibawah kursi ini. Ah, apa ada orangnya? Sudahlah, aku sudah duduk aku tak mau pindah lagi. Pembahasan topik dimulai tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang yang tak sempat kulihat wajahnya. Aku kaget, dia masuk ke bawah kolong dekat kaki kiriku, mau apa lelaki ini?

DUUG!

Selamat!!! Aku bersorak dalam hati. Dia terhantuk meja. Kemudia dia buru-buru mengambil tas yang membuat aku tersandung, ternyata punya lelaki ini. Setelah mengambil tas dan smartphonenya yang ada dimejaku ia pergi mengambil kursi dan duduk berseberangan denganku. Dalam hati bertanya, dari kreatif mana lelaki ini? Apa dia sainganku juga? Ah sudahlah.

Rapat kecil ini dimulai. Bapak Michael mulai menjelaskan hal-hal yang harus kami persiapkan untuk beberapa eventnya. Siapa yang paling kreatif akan dibiayainya menuju negara yang terkenal dengan Ratunya,    Elisabeth. Satu persatu kami mengajukan pertanyaan tapi entah mengapa lelaki tadi hanya diam mengamati dan mengetik setiap pembicaraan kami. Aku semakin diliputi rasa penasaran, siapa sih dia?

Dia membenarkan posisi kacamatanya, huh, biar terlihat pintar begitu? Ku kibaskan rambut dan ku sebar senyumanku dihadapan mereka semua, pelan-pelan aku mulai bisa mengatur alur pembicaraan dan membuat pak Michael tertawa, dia memang terkenal dengan keramahannya pada siapapun. Setelah setengah jam berlangsung tiba-tiba Pak Michael menyebut namanya, siapa? David?

Siapapun namanya dia sangat mengganggu. Bolak-balik ke toilet, mengambil gambar, mengangkat lengannya dan mencium bagian 'iyuuh' itu. Kenapa sih laki-laki ini? Kembali Pak Michael menyebut namanya dan menanyakan pendapatnya, hah?

Sial! Ternyata orang ini asistennya.

Dua jam berlalu, sangat seru. Makan siang mulai disajikan, sayangnya siang itu Pak Michael ada janji dengan klien lain dan ini membuatnya tak dapat makan siang bersama kami. Beberapa kreatif lainnya pun beranjak pergi tersisa lima orang disana termasuk aku dan asistennya itu. Ia menggantikan Pak Michael menjamu kami. Berbincang-bincang sambil tertawa perlahan suasana diantara kami yang tadinya adalah pesaing dalam proyek ini pudar.

David. Itu namanya, perlahan dia mulai mengeluarkan banyolan-banyolannya yang aku balas dengan banyolanku. Aku tidak mau kalah. Perusahaan tempat aku bekerja memang terkenal dengan kerja keras dan kekreativitasannya. Namun, pesaingku pun terkenal dengan elegansinya. Yah, kekurangan dan kelebihan tak dapat dipisahkan. Perlahan tapi pasti, sedikit-sedikit kucuri pandang padanya. Senyumnya dan tawanya, sederet gigi putih itu , kacamatanya, gayanya. Dia tidak malu-malu. Kenapa berbanding terbalik dengan keadaan beberapa jam tadi?

Dia mulai meminta nomer telepon genggam kami semua yang tersisa saat itu. Suasana semakin hangat ketika kami bisa tertawa lepas. Kami menertawakan hasil kreativitas kami yang pernah kami berikan pada setiap event dan kegagalan-kegagalan konyolnya.

Tiba saat untuk berpisah. Jelas, karena kami harus kembali kedalam pekerjaan masing-masing. Katanya sih hujan diluar sana, aku bingung harus pulang naik apa.

Kembali kami bersalaman, aku pilih jadi yang terakhir agar bisa jadi yang terakhir memegang tangannya. Sial, senyumku dikalahkan oleh senyumnya. Aku terkait padanya.

"Makasih ya Mas," kataku sambil menebar senyum dan menghipnotisnya dengan mata indahku. Aku tau itu, kekuatan magis pada mataku.

Berjalan perlahan bersama 'pesaing'ku sambil bertukar email dan jejaring sosial lainnya. Tiba di depan pintu utama mall ini aku harus berpisah dengan mereka. Mereka masih mau belanja lagi katanya. Aku ingin, tapi kulupakan dulu semua merek ternama itu demi cita-cita dan masa depanku. Aku berlari lagi menuju halte, mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah untuk membayar tiket.

Tak lama bus yang akan membawaku kembali ke kantor datang. Aku masuk ke dalamnya dan duduk dengan tenang. Aku menarik nafas panjang untuk kemenangan siang ini. Aku memeriksa ponselku, gawat begitu banyak email masuk, pesan, dan bbm bergantian datang. Di ruangan tempat meeting tadi benar-benar private sampai-sampai tidak ada sinyal. Kubuka satu persatu pesan diponselku.

Sial! Sekali lagi aku menggerutu. Smartphoneku ini memang sudah waktunya diganti, selalu mati mendadak disaat penting dan genting.

Sesampainya aku di kantor mini ini, si putih, aku menyebut ponselku sudah 'pintar' kembali. Hah? Nomer asing, David kah?

"Saya sudah kirim pertanyaan dan bahan-bahannya tolong titip untuk Pak..." Tak ku baca lagi pesan itu, ternyata dari atasanku. Huh! Bye David. Dia tak juga muncul sampai aku pulang kembali ke rumah.

Aku lelah. Aku tidur.

Beeppp....

"Selamat malam. Sampai jumpa di meeting selanjutnya ya, Kirana! by: David Putra."

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ini awalnya, sekarang mengingatnya membuatku semakin merindukan kehadirannya yang seminggu lagi akan datang ke London. Kami harus menempuh jarak demi mengejar cita-cinta kami. Tiga bulan depan kami akan mengikat janji sehidup semati di gereja kecil dikota tempat kelahiran David. Ini awalnya, aku dan kamu akhirnya.


Senin, 15 April 2013

Aku Seekor Ikan


Senja diufuk barat mulai meremang perlahan. Turun dan tenggelam.

Aku, seekor ikan di malam-malam. Bercerita pada bintang. Aku menatap langit malam dan berbicara bagai sesenti jarak atara muka.

"Langit malam, bisakah aku terbang?"

Seekor ikan pun diam.

Diam-diam dalam hatinya, ia ingin terbang. Setiap senja, ia melihat kawanan burung terbang melintasi danau tempat ia tinggal. Cantik.

Keinginannya bermula saat salah satu dari kawanan burung itu menghampirinya, ia tersipu. Seekor burung mulai berkenalan dengannya, menceritakan bagaimana rasanya terbang diangkasa. Satu hari, dua hari, semakin sering seekor burung menemuinya.

Tanpa terasa dimulailah drama ingin terbang bersama. Ingin berenang bersama.

"Dalam kawananku, harus selalu berpasangan. Kenapa kau harus lah seekor ikan dan aku seekor burung?," kata burung itu sambil sesekali mencelupkan kepalanya untuk menggoda sang ikan.

Ikan yang mulai menyukai burung menjadi temannya berkeinginan untuk memiliki sayap serupa. Ia menyayangkan siripnya yang indah.

"Ini indah, tapi aku tak bisa terbang bersamanya," kata ikan sembari melambai pada burung yang harus kembali dalam kawanannya.

Burung adalah satu-satunya yang pernah ia temui dan dapat berbagi khayalan satu sama lain. Ikan lain hanya menganggapnya bodoh dan tidak masuk akal jika ingin terbang dan bersatu dengan burung.

"Mereka hidup diudara! Kita di air, tak semestinya kau berpikir sejauh itu! Apalagi ia telah memiliki pasangan untuk terbang. Mau ditaruh dimana kau? Paling-paling dalam mulutnya, lalu dimakan!"

Itulah seruan yang sering ia terima ketika ia mengatakan ingin terbang bersama burung.

Seekor ikan pun akhirnya menepi untuk menepati janjinya bertemu bersama burung. Berhari-hari burung terus menemani ikan dipinggir kolam.

"Aku rindu terbang," serunya. "Aku harus mencari makan melintasi kota, aku tinggal sebentar apa kau akan baik-baik saja?"

"Ya, aku janji. Kita bertemu lagi disini. Senja dan pinggir danau ini. Aku akan menunggumu," ucap seekor ikan pada burung.

Kepala mereka beradu, inilah satu-satunya cara menunjukkan pertautan hati. Walau terbatas namun tetap saja mereka saling bersama. Sesekali memang burung harus pergi dan menemani pasangannya yang terbang mencari makan. Ya, sekumpulan burung yang harus terbang berpasangan.

Walau terkadang ikan bersedih karena harus ditinggal pergi oleh seekor burung, ia tetap setia menantinya. Ketika senja datang, kerap kali ikan akan berenang dengan lincahnya. Ia terlalu semangat sampai kadang badannya tergores batang atau tanaman di dalam danau. Tapi, ia gembira. Dan seekor burung pun pasti akan berkata-kata lucu untuk menghibur ikan yang terluka.

Ikan semakin mencintainya. Mereka saling membahagiakan. Burung pun jatuh cinta.

"Bisakah kita bersama?" tanya burung pada ikan. "Aku bisa membawamu terbang jika kau mau,"

"Tapi aku bisa mati jika keluar dari kolam ini, mengapa tidak kau saja yang tinggal bersamaku di danau?"

"Aku rasa itu tidak mungkin, aku mungkin bisa bertahan beberapa saat tetapi tetap saja aku harus kembali pada kelompokku," burung kembali bersedih.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Langit mulai gelap, suara penghuni pinggir danau semakin membuat ikan yang sedang berfikir merasakan kegalauan.

Tiba-tiba dalam lamunannya, seekor katak datang menghampiri.

"Ada apa ikan?"

"Aku ingin terbang,"

Lalu percakapan mereka pun menemukan solusi. Katak menyampaikan pada ikan tentang keajaiban embun pagi setelah hujan. Hujan selalu menyisakan keajaiban yang dibawa embun. Ikan tidak pernah tahu akan hal itu. Katak berkata padanya jika ia meminta permintaan apapun akan terkabul, tetapi tetap saja, semua permintaan akan ada risikonya. Yaitu luka.

Ikan yang melihat secercah harap agar bisa bersama burung pun tak lagi muram. Ia pulang dan tidur, menanti datangnya pagi untuk berbicara pada embun akan permintaannya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi-pagi benar ikan terjaga. Berenang secepat mungkin berlomba dengan datangnya mentari. Pagi ini tidak seperti biasanya. Ia memang selalu menyapa tuan matahari, tapi kali ini ia datang untuk menemui ibu embun pagi hari.

"Embun... Embun..!," serunya kegirangan, "Aku ingin terbang!"

Embun yang masih sibuk membantu dedauan pagi itu tersentak kaget. Ya, setiap pagi, selain cahaya matahari, embun pun sibuk membangunkan dan menyegarkan dedaunan agar manusia dapat menghirup udara segar.

"Untuk terbang tak hanya butuh sayap, juga persediaan oksigen. Sistim pernafasan kalian berbeda," jelas embun sembari menghampiri ikan yang tersenyum lebar pagi itu.

Warna oranye seekor ikan mulai terpancar kala sinar matahari terpantul melalui tubuh mungilnya. Ikan oranye mulai bertanya mengenai terbang, karena ia tahu embun jatuh dari langit dengan menggunakan sayap khayalan. Ya, sayap khayalan yang abadi dan membawa mereka turun ke bumi secara perlahan. Tidak tiba-tiba lalu mati karena terjatuh. Tak banyak yang tahu kalau embun bisa terbang.

Kemudian embun menjelaskan satu-satu apa yang harus dilakukan ikan pada saat ia terbang, namun tetap saja embun tak yakin ikan mau menerima konsekuensi dari semuanya. Perlahan siripnya yang berfungsi sebagai sayap akan robek. Semakin lama ia terbang semakin robek siripnya jika ia kembali ke danau.

Ikan mulai ragu. Tapi ia menyanggupinya.

Selepas itu ikan kegirangan dengan mengepak-ngepakkan siripnya bagai burung ia pulang ke rumahnya. Diam-diam, banyak ikan dalam danau itu yang tak setuju akan permainannya. Ia dianggap gila dan menentang kenyataan. Namun ikan tahu apa yang ia perbuat. Ini karena cintanya pada senja dan burung putih.

Sore datang lagi, ikan berenang ke tepi danau. Tepat disana terlihat bayangan putih menantinya dengan kepak sayap melebar. Ya, cintanya datang. Burung putih itu membawakan cerita dan lelucon baru untuk ikan. Ia juga berbagi kesedihannya. Ikan tak mau kalah dan menceritakan perjuangannya.

"Benarkah kau akan terbang bersamaku?" tanya burung bahagia.

"Ya, kita akan terbang bersama," ikan menimpali.

"Aku senang, maaf aku tak bisa menemanimu beberapa hari ini di tepi danau. Aku menghadapi banyak masalah bersama pasangan terbangku. Mereka menyuruhku untuk membuatnya bertelur secepatnya, padahal aku masih ingin bersamamu. Tapi mereka takut musim bertelur akan lewat, sehingga haru menunggu 2 musim lagi,"

Ikan terdiam. Bisakah posisi itu ia gantikan? Mengapa ia tak bisa terbang? Mengapa ia harus bertelur didalam air dan burung putih harus bertelur diatas sarang? Mengapa ia berwarna oranye dan burung putih harus berwarna putih? Tak bisakah mereka bersama-sama?

Seringnya burung putih membawakan kebahagiaan pada ikan oranye selalu membuatnya terkesima. Burung putih yang selalu menyelamatkannya dari gangguan nyamuk-nyamuk kala malam dengan kibasan sayapnya. Burung putih yang selalu menari dan berdendang kala malam menghantuinya. Burung putih lah yang menghampirinya kala ia terdiam di tepi danau tanpa ada yang tahu. Burung putih itulah yang mengatakan ia pun mencintai senja dan memberanikan kepalanya tercelup-celup ke air hanya untuk memberikan kasih sayang pada ikan. Menahan nafas memang, namun ia sayang. Diam-diam pergi dari kawanan dan harus dimarahi ketika ketahuan terbang sendiri.

Bagi ikan oranye semua itu berarti. Ia tak pernah disayangi sampai seperti itu. Ia tak pernah dimengerti sampai tingkat khayalan tertinggi selain bersamanya. Ia tak pernah tertawa lepas sebelum ia bertemu burung putih, tapi mengapa ia haruslah seekor burung putih.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi datang lagi. Ikan oranye dan burung putih sudah berdiri di tepi danau bersama menuggu embun yang akan memberikan magis pada cinta mereka.

Embun datang. Jantung kedua makhluk ciptaan Tuhan ini semakin berdegup kencang. Mereka dapat bersama. Itu yang mereka inginkan. Embun datang membawa sebuah kantong kecil berisi embun murni yang dapat membuat sirip ikan menjadi sayap dan ia dapat terbang serta bernafas di darat.

"Sekali lagi, terlalu banyak. Apakah kau yakin?" tanya embun padanya.

"Ya, aku yakin. Aku ingin melihat dunia bersamanya."

Burung putih tahu risiko apa yang akan ditanggung oleh ikan oranye jika melakukan hal itu. Namun ia diam, ia ingin juga membahagiakan ikan dan menikmati hari bersamanya, padahal ini salah.

Wuzz..

Seketika ikan menutup mata karena silau akan cahaya dari dalam kantung tersebut. Embun murni itu tidak dapat bekerja sendiri, ia memerlukan ekstrak sinar matahari untuk membuatnya bertahan, berarti tak bisa ikan terbang melayang jika malam datang.

"Senja akan memisahkan kalian," kata embun pada mereka setelah menebarkan embun murnipada ikan oranye.

Tiba-tiba saja ikan oranye terangkat dari dalam danau. Burung putih menangkapnya lalu memeluknya erat. Inilah pertautan antar sayap dan sirip mereka pertama kali setelah sekian lama. Tak pernah ikan oranye menyangka ia dapat memeluk tubuh hangat burung putih. Dan tak pernah terbayangkan oleh burung putih kalau ikan oranye akan menemaninya terbang. Ini diam-diam menjadi doanya setiap malam pada Sang Maha.

Hari itu, khusus untuk hari itu, burung putih pergi meninggalkan kawanannya. Ia ingin diam berdua bersama kesayangannya. Pertama-tama burung putih menggendong ikan oranye karena ikan kecil itu terlihat ketakutan. Baru kali ini ia pergi jauh meninggalkan teman-temannya di danau sana. Untuk pertama kalinya ia melihat danau, dunianya, begitu cantik dari ketinggian. Ia melihat luasnya ladang hijau, ia melihat rumah-rumah tua hunian manusia yang membuatnya berdecak kagum.

Ia memeluk erat-erat leher burung putih. Ia takut jatuh karena masih belum mahir benar menggunakan siripnya sebagai sayap.

"Bagaimana? Indah kan? Ayo coba kepakkan siripmu.. " ajak burung putih pada ikan yang sedari tadi hanya diam dan menikmati keindahan.

Perlahan tapi pasti burung putih itu melepaskan ikan untuk belajar terbang bersamanya. Mereka mengitari kota siang itu. Berjam-jam terbang membuat ikan oranye kelelahan, mereka berhenti disebuah pohon yang menghadap ke tengah kota.

"Kota ini semakin ramai, ikan. Dulu tidak seperti ini keadaannya. Aku seringkali memperhatikan perubahan demi perubahan dari kota ini, semakin jahat saja. Dulu aku pernah terbawa ke dalamnya, namun aku segera pergi dan tak mau seperti itu lagi," cerita burung putih sembari menyelimuti ikan dengan sayapnya.

"Lalu, bagaimana manusia menjalani hari dengan setiap kejahatan disekitar mereka?" tanya ikan sederhana pada burung putih.

"Mereka berdoa. Itu yang sering ku lihat, banyak cara mereka berdoa. Bersujud, bernyanyi, bahkan menangis. Sama seperti ketika aku meminta pada Sang Maha akan kebersamaanku denganmu. Ikan... " burung putih sejenak menahan pernyataannya.

"Ya? Ada apa?" ikan melihat ke arah mata burung putih itu.

"Kamu spesial, jangan pernah bersedih karena tak dapat terbang bersamaku. Kita bisa saling bertemu, lewat doa pada Sang Maha. Aku akan terus ada disampingmu. Demi Sang Maha aku mencintaimu," ucap burung putih singkat dan kemudian mereka saling menautkan kepala.

Ya. Hanya seperti itu caranya. Doa seperti manusia dapat membuat mereka masih saling bercinta.

Tak terasa waktu tertelan juga oleh daya tarik bumi yang membuatnya menjadi malam, ikan mulai lemas. Segera burung membawa ikan oranye kembali ke danau.

"Selamat tinggal. Besok aku tak dapat mengunjungimu aku harus pergi jauh bersama kawananku dan pasanganku, sehat-sehat. Tunggu aku," pesa burung selalu setiap kali mereka akan berpisah.

Ikan oranye hanya tersenyum bahagia. Ia sangat mencintai senja sore itu kala mereka duduk berdua diatas pohon bercerita tentang kehidupan dunia. Namun, ketika cahaya redup, redup pula kebahagiaan mereka, mereka harus berpisah kembali.

Ketika ia kembali ke danau, ia merasakan perih pada siripnya. Seperti terbakar. Perlahan ia melihat sedikit demi sedikit siripnya seperti tersisir oleh cahaya bulan. Sakit, perih, ikan menangis. Tetapi segera sesaat perih itu tak terasa lagi. Namun ia menyayangkan siripnya yang terluka.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah sekian lama mereka berpetualang dengan cinta berbeda dunia, tibalah kekacauan dalam hati dan pikiran keduanya.

Mendadak bumi bekerjasama dengan Sang Maha, kenyataan harus ditegakkan. Satu hari, dua hari, seminggu sudah burung tak datang lagi padanya. Ia cemas tak dapat melihat burung putih melayang-layang diatas danaunya. Perasaannya mulai terganggu kala ia menghitung waktu bahwa itu adalah musim burung-burung putih bertelur. Ia merasakan kesesakan dalam hatinya. Ia memutuskan untuk menemui embun pagi kembali, ia sangat ingin bertemu dengan burung putih.

Malam itu ikan oranye tidak pulang ke huniannya. Ia tidak pulang kebawah teratai lebar tempat ia menikmati hari-harinya. Perasaannya dirundung rindu. Akhirnya, ketika semua penghuni danau tertidur, ia memutuskan untuk pergi ketepi danau menunggu pagi datang. Ia tak mau membuang waktunya untuk bertemu embun dan segera terbang mencari burung putih.

Tak lama berselang, pagi datang seakan membantu ikan oranye untuk segera bertemu embun. Terkantuk-kantuk ikan kecil yang lincah itu menyambangi embun disebuah pohon.

"Aku ingin terbang lagi," rengeknya.

Embun yang sedang sibuk karena kesiangan untuk membantu menyegarkan dunia pun berhenti sejenak dan melotot pada ikan oranye itu. Ia tak habis pikir kenapa ikan oranye ini masih saja keras kepala, itu hanya akan melukai dirinya sendiri. Ia tak suka melihat ikan kecil itu terluka. Untuk penyembuhan sebelumnya saja masih belum sempurna.

"Apa kau yakin? Ini menyakitkan sayang." ucap embun lembut namun tegas.

"Ya, aku cemas bagaimana keadaannya sekarang."

Tak lama, cinta yang ditunggu datang juga, burung putih datang menyambangi danau ikan oranye. Ikan oranye pun tersentak, Antara senang, kesal, cemas, rindu. Semua menyatu. Ia merengut.

"Maaf," ujar burung putih membujuknya.

"Mengapa menghilang? Kamu tidak tahu apa yang aku pikirkan. Sudah tahu aku cemas, aku rindu, aku kesal!" ikan oranye mulai berkaca-kaca.

Dipeluknya erat kepala burung putih yang menunduk menuju kepalanya di air. Ia mulai menangis dalam pelukannya. Burung pun perlahan menjelaskan bahwa mereka sebaiknya tidak bersama lagi. Ini semua ia lakukan karena ia menyayangi ikan oranye, ia tak mau ikan kecil itu terus terluka. Burung pun menyadari ia tidak dapat terus menerus menemui ikan oranye dipinggir danau. Kenyataan menghantamnya saat ia terbang.

"Aku tahu ini sakit, tapi aku lebih sakit melihat siripmu terluka hanya untuk bersamaku, kita hidup di dua dunia berbeda. Aku pun harus terbang melintasi kota-kota bersama pasangan dan kelompokku. Bagaimana aku bisa melihat kau terus terluka jika menungguku? Aku memang tak pantas, aku pun sakit, tapi akan lebih sakit jika aku memaksakan ini semua. Kau tahu, aku menyayangimu. Aku mau kau bahagia, tapi mungkin bukan denganku, aku burung kau ikan, akan terus begini sakitnya jika kita tak saling meninggalkan," panjang lebar burung putih itu menjelaskan semua isi hatinya.

Selama ini diam-diam burung putih mengetahui risiko apa yang akan diterima ikan oranye jika terus menerus ia memakai embun murni untuk terbang bersamanya. Namun, ia pun tak dapat menyelam ke dalam air demi bersama ikan oranye. Tak ada yang bisa ia lakukan. Ya, dua dunia berbeda, kenyataan kedua ciptaan Tuhan ini tak diciptakan untuk hidup dalam habitat yang sama.

Ikan oranye perlahan menepis sayap burung putih. Campur aduk hatinya. Meletup-letup rasanya. Matanya semakin basah di dalam danau itu. Ia masih tidak percaya apa yang dikatakan oleh burung putih. Antara bahagia hatinya karena rasa sayang burung putih itu padanya, namun bagaimana bisa dia meninggalkan cintanya pada burung putih itu.

Teringat kembali dia akan kenyataan, ya, inilah kenyataan. Ia adalah seekor ikan oranye didalam sebuah danau, sedangkan yang ia cinta dan mencintainya adalah sekor burung yang hidup berpasang-pasangan dalam sebuah kelompok tinggi di angkasa. Ia hidup dibawah sedangkan burung putih itu tak dapat menyelam. Jika ia menemaninya terbang, ia yang akan mati karena tak mampu hidup diatas. Cara bernafas mereka berbeda. Cara makan dan cara hidup mereka berbeda, tak bisa disamakan apalagi disatukan. Inilah kemenangan kenyataan atas kedua cinta makhluk ciptaan Tuhan itu.

Melawan kenyataan namanya jika ikan pergi ke alam burung putih itu, ia akan mati. Jika burung itu meninggalkan kawanannya dan pergi bersama ikan itu, burung putih pun akan mati. Mereka saling menyayangi, mereka saling mencintai. Namun ada konsekuensi di dalam cinta mereka. Ikan terus mencintai burung putih itu, dalam satu periode. Demikian juga burung putih melakukan hal yang sama, walau kini ia harus pergi meninggalkan ikan dan hidup bersama pasangan dan kawanannya, terbang.

Berpisah. Inilah yang yang harus mereka hadapi. Ikan oranye perlahan berenang menjauh. Tak dihiraukannya apa yang burung putih katakan padanya. Bukan, bukan ia membenci burung putih itu, namun tersentak hatinya. Bingung adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan ikan oranye saat itu, beberapa kali sempat memang menyadari kenyataan memang tak bisa dilawan, tetapi rasa cinta keduanya masih sangat kuat mengikat.

Ikan oranye menangis. Sudah, ia tak dapat berfikir mengenai cinta lagi. Yang ia tahu, kenyataan mengalahkan segalanya. Siapa yang akan dipersalahkan?

Siapa yang mau dijadikan kambing hitam dalam hubungan keduanya. Salah cintanya? Salah burung putih karena pikiran bahwa ia tak mencintai ikan oranye lagi? Salah kenyataan menciptakan mereka berbeda? Atau siapa, apa, dan mengapa harus ada yang dipersalahkan? Mengapa harus banyak yang disakiti? Diri sendiri sudah cukup sadar diri. Ini hanya akan berakhir menyakitkan untuk keduanya jika dilanjutkan.

Ikan menghilang ke dalam sudut gelap danau. Burung putih masih terdiam dipinggir kolam. Ikan kecil bersembunyi dibalik tanaman dalam danau. Ia menjerit, tetapi hanya buih-buih yang melayang ke atas. Pecah satu-satu tanpa suara ke udara.

Perpisahan itu terus disesali burung putih. terpatri dalam hatinya untuk terbang berputar 3 kali setiap kali melintasi danau itu sebagai tanda dia masih mencintai ikan oranye itu. Namun, mereka tak bisa bersatu.

Ia akan terus berputar 3 kali diatas danau itu. Entah sampai kapan ia mampu melakukannya. Ikan oranye pun berjanji dalam hati, tanpa diminta, buih-buih akan mengirimkan doa yang diucap dari dalam hati dan danau, pada udara, agar ketika pecah gelembung buih itu menyatu dia dengan udara yang selalu dihirup oleh burung putih.

Berdamailah dengan kenyataan. Mungkin ini lebih baik daripada tenggelam karena luka pada sayap khayalan. Aku seekor ikan.

Selasa, 02 April 2013

Pulang

Alkisah disebuah meja kerja kantor milik Ia yang sisi kanan kirinya dibatasi oleh sekat pembatas setinggi 25 sentimeter dengan ketebalan 8 sentimeter terdapat percakapan antara tas, handphone, kabel LAN, laptop, gelas, isi kotak pensil, telepon, dan kotak susu kosong yang sudah habis diteguk oleh Ia.

Tentu saja, saat itu pemilik meja itu sedang meninggalkan mejanya. Pembicaraan kehidupan meja kantor ini dimulai dari tas yang memiliki isi begitu banyak hal. Ia mengungkapkan keluhannya pada laptop.

"Laptop, tahukah kamu aku iri padamu?" celetuknya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" ujar Laptop tak mengerti.

"Iya, kau mendapatkan seluruh perhatian Ia saat di meja kantor, sedangkan aku? Walau aku salah satu barang favorit Ia tetap saja aku tak mendapatkan atensi seutuhnya," keluh tas hitam favorit pemilik meja tersebut.

"Lalu, bagaimana dengannya?" kata Laptop menunjuk handphone, "Ia selalu dibawa, disayang, diperhatikan. Kalau aku mau iri, aku lebih iri padanya, lihat satu nama muncul kembali dilayar Handphone. Dia lagi. Biasanya kalau namanya muncul, Ia akan tersenyum lebar. Tetapi mengapa kemarin Ia menangis?" demikian panjang cerita Laptop yang bagai menghipnotis seluruh barang diatas meja mengerumuni Handphone.

Handphone perlahan menunjukkan isi pesannya. "Sebentar lagi pulang,"

Percakapan sebelum pulang selalu membuat Ia bersedih. Laptop, Handphone, dan Tas berfikir entah apa yang ada dalam pikiran manusia ini. Setiap kali muncul kata "i'm home," ia selalu cemberut dan bersedih. Sama seperti ketika malam kemarin hujan, bus sudah 3 kali melewati halte tempat Ia menjejakkan langkah terakhir meninggalkan kebahagiaannya, saat ini Ia sedih. Ia tidak ingin berpisah nampaknya.

"Saat itu aku diremas, dia seperti ketakutan dan tidak rela meninggalkan tempat berteduh yang sesak akan manusia itu," cerita Tas pada Laptop dan kawan-kawan lainnya.

"Ya, Ia juga menatapku berulang-ulang tanpa menekan tombol di tubuhku, hanya berlinang air mata. Namun, beberapa jam kemudian dia bahagia sampai mencium tubuhku lekat-lekat, merekam suara yang menanyakan apakah nama orang ini sudah berada dimana, sepertinya Ia cemas tapi bahagia." tambah Handphone menjelaskan kejadiannya.

"Ya, beberapa hari ini aku ditinggalkan Ia di bawah meja kantor ini, Ia tidak menceritakan apa yang terjadi pada hati dan pikirannya saat itu," Laptop menyambut penjelasan panjang lebar dari Handphone.

Selalu saja begini ketika Ia kacau. Tak pernah Ia meninggalkan Handphone. Tanpa Ia sadar semua barang-barang miliknya sangat menyayangi Ia dan memperhatikan kehidupan Ia.

"Ibuku pernah bercerita tentang manusia seperti dirinya sebelum aku dimiliki Ia, namanya Kungkung Kulanting kata ibuku," kata Gelas.

Gelas yang sudah tinggal lama di kantor ini menceritakan kejadian yang sama seperti saat ia melihat Ia saat ini.

"Saat itu namanya Retno, selalu muncul di layar Handphone dan Laptop miliknya. Aku tahu karena posisiku selalu ia hadapkan pada mereka berdua. Terakhir Kungkung Kulanting hanya meninggalkan meja dengan reaksi yang sama seperti sebelum Ia meninggalkan meja ini," tutur Gelas hijau tinggi bergagang hitam.

"Lalu?" kata benda yang lain bertanya antusias.

PRAANG

Dan pertanyaan itu tak pernah terjawab sampai kapanpun karena gelas tiba-tiba saja terjatuh dan pecah. Ia yang buru-buru menyenggol gelas dan menarik tas serta laptop meninggalkan meja kecil itu untuk mengejar bus kota sambil melihat nama yang selalu muncul di layar tubuh Handphone. Serentak mereka mengatakan "Ia bersedih (lagi), sudah saatnya pulang."

Dan tak lama pesan yang sama setiap pukul 7 malam muncul dilayar Handphone, "I'm home,".

Jumat, 01 Maret 2013

Terhalang Kaca

Mengepul asap kenikmatan dari semangkuk soto panas dari mangkukku, hari ini agak mendung tepat rasanya untuk menikmati soto ini.Kulihat jam tanganku, “ini saatnya..”, kataku dalam hati.

Tak lama keluar sosok itu. Tubuh yang tidak atletis namun penuh dengan karisma, jam 12.10 iya pasti keluar dari akuariumnya. Akuarium aku sebut ruangan itu. Kami terpisah oleh kaca. Seperti film kartun saja, dia berada di dalam akuarium dan aku hanya bisa memandanginya dari balik box transparan itu tanpa pernah menegurnya sekalipun.
12.25 Saatnya dia kembali masuk ke dalam akuarium bersama teman-teman sedivisinya. Di tempat aku bekerja jam 12 bukanlah jam makan siang. Kadang ada yang baru datang, ada yang pergi, bahkan ada yang belum pulang ke rumahnya. Ya, dia seringkali tidur di kantor. Namun 12.25 adalah waktu ia mengecek telepon genggamnya. Entah apa yang ia lihat disana. itu adalah waktu yang pasti dan “satu.. dua.. tiga..” ia tersenyum. Setelah itu ia duduk lagi di depan komputernya.
Aku belum lama bekerja disini. Namun aku langsung tertarik padanya, entah magnet apa yang menyebabkan ini terjadi, ada banyak sekali ikan di dalam akuarium besar itu, namun aku hanya melihat dia.
14.25 Aku biasanya ke toilet di jam-jam segini dan mendapati dia merokok di luar. Ruangan kami berpendingin sehingga tidak mungkin dia berada di dalam akuarium besar itu. Sesekali ku dengar tawanya dari toilet. Ya, tempat mereka berkumpul ada di depan lorong menuju toilet, tepat di depan ruang resepsionis kantor ini. Hari ini dia menggunakan baju hitam, kaos kesukaannya dengan kalung dari gigi hewan, hmm.. baru kali ini aku melihatnya. “Nice..” hatiku berbicara. Ya, aku tak pernah sekalipun berbicara dengannya. Hanya menatapnya saja aku sudah puas.
18.45 Hari ini aku pulang terlambat. Akuarium itu masih saja ramai, ruanganku yang berada di luar akuarium lebih gila lagi dengan musik ska yang dipasang oleh salah satu rekan lain divisi. Ruangan ini begitu hidup ketika malam. Aku suka. Yah, beginilah pekerjaanku sebagai jurnalis. Tidak ada waktu tetap kapan aku harus datang ke kantor atau harus pulang. Istilah “teng-go” tidak berlaku disini. Bahkan atasanku sering sekali pulang diatas jam delapan malam. Hari ini kurasa cukup sampai pukul 19.00.
19.00 “Ahh..!!” terperanjat aku berpapasan dengannya. Tersenyum. “Duluan ya mas.” “Oke hati-hati ya..”. Singkat, padat, dan jelas. Hanya itu yang dapat ku lakukan. Mendadak jantung berdebar cepat. Aku kesusahan bernafas. “Hmmmhh… huuufff..”, kuatur nafas perlahan. Aku berjalan pulang meninggalkan kantor. Aku menoleh ke belakang, siapa itu yang mengintipku? Ah, mungkin dia. Sudah beberapa malam aku lembur selalu ada yang mengintip dari balik pintu itu. Aku tak mengacuhkannya, “Tapi itu benar dia bukan ya?”, aku bicara sendiri. Aku jalan secepat mungkin dan segera mengejar bus jurusan rumahku.
=========================================================
09.00 Sengaja aku melambatkan langkahku. Dia pasti sudah datang jam segini. Sayangnya gadis itu hanya lewat sesekali. Tapi hari ini sepertinya dia kedinginan dibalik balutan baju hijau toskanya. Hari ini rambutnya digerai. Tidak diikat, panjang dan ikal. Tidak begitu hitam namun tidak mengurungkan niatku untuk membelainya. Aku hanya bisa memandangnya dari balik kaca ini. Kenapa sejak ia masuk aku berdebar-debar tiap melihatnya melewati kaca disampingku ini.
12.25 Aku mencari-cari smartphoneku. Ah, sebentar lagi dia akan melakukan pose itu. Aku menangkap gambarnya yang sedang termenung. Hari ini termenungnya berbeda, apa yang ia kerjakan? Manis. Ah, dia melihat ke dalam. Aku tertangkap basah sedang tersenyum, lebih baik aku melakukan apa yang biasa aku lakukan, berpura-pura tersenyum pada kaca layar telepon genggamku.
14.25 Aku pergi keluar, karena hanya jam-jam segini aku bisa menikmati kebebasan barang sebentar. Ya, aku punya banyak waktu sebenarnya, cuma saat ini selalu tepat aku bisa melihat dia entah ke toilet atau sekedar melewati mejanya. Aku bisa keluar dari pintu depan akuarium ini, namun aku memilih belakang agar bisa melintasinya.
18.45 Ramai-ramai kami menertawakan tarian yang sedang in saat ini. Kantor ini begitu heboh karena bisa melakukannya. Semua membuka videonya bergantian dan mentertawakan diri mereka satu-satu. Aku keluar. Merokok seperti biasa. Dia, hari ini dia pulang jam berapa tak bisa ku prediksi.
18.59 Ku matikan rokokku, ku lihat dia berjalan ke arahku. Pura-pura jalan ke arahnya agar bisa menyapa sedikit kurasa tak ada salahnya.
Terperanjat dia menatapku. “Duluan ya mas.” “Oke hati-hati ya..”. Hanya itu yang terlontar dari mulut kami. Prelahan dia pergi menuruni tangga, tumben hari ini dia tidak naik lift. Besok Sabtu, dia pasti tidak masuk karena memang jadwalnya untuk libur.
=========================================================
Anak baru. Manis. Hari kemarin ia terpojok sendirian karena tidak membawa laptop. Dia harus menggunakan komputer kantor dan komputer itu hanya ada di pojokan. Sendirian. 
Hari ini dia membawa laptop. Sengaja aku suruh dia duduk dimeja temapt aku mengotak-atik PC. Itu bukan mejaku, tapi daripada dia sendiri disana. Dimeja kosong ini dia bisa bersebelahan denganku, walau sampai saat ini dia belum menyapa atau melihatku sedikit saja. Dia tampak serius mengerjakan tugasnya. Beberapa siang ku lihat dia tidak makan. Tapi, entah aku yang tak melihatnya.
Hari ini tak banyak aku duduk disampingnya karena banyak yang memanggilku untuk membetulkan komputernya, nasib pria panggilan. Beginilah kalau jadi pintar sendiri. Bukan aku memuji diri, tapi karena memang tak ada lagi tenaga untuk ruangan ini. Tidak yang sibuk sampai perkara game online memanggilku untuk menanyakan sesuatu.
Aku tak pernah makan disampingnya, biasanya aku keluar bersama yang lain saat makan siang. Sedikit membakar batang tak masalah, aku melakukan itu siang hari ini juga bukan tidak ada tujuan, dia pergi ke toilet tiap jam ini. Aku hapal jamnya dan gerak-geriknya jika sudah ingin ke toilet, padahal baru beberapa hari aku disampingnya.
Aah, dia ke toilet. Aku bersama teman-temanku hanya memperhatikannya.
“Itu siapa?”, tannya salah seorang temanku. “Anak baru..”, kataku singkat. Aku tak ingin teman-teman lain tahu aku melihatnya lebih banyak daripada mereka. Banyak yang cantik di kantor ini, tapi entah mengapa aku tertarik padanya.
Hari ini dia tidak lembur lama. Sebentar lagi dia pulang. Aku tahu karena aku duduk disebelahnya dan ia sudah berkemas sekarang. Aku pindah ke meja asliku. Aku terlalu malu untuk mengatakan hati-hati.
Dia hilang. Kemana dia? Biasanya dia turun lewat lift. Bergegas aku mencari bayangannya. Bersembunyi aku dibalik pintu kaca. Hanya sebatas kaca ini aku bisa memerhatikannya. Esok, Sabtu. Libur aku tak bisa melihat wajahnya. Lebih baik agak sedikit maju agar bisa lebih lama melihat bayangannya pergi. Selamat berlibur, manis.

Selasa, 26 Februari 2013

Kucing penunggu hujan


Alkisah disebuah rumah terdapat seekor kucing kecil yang hidup bersama ayah dan ibunya. Mereka hidup bahagia sampai akhirnya sang ayah dan ibu berpisah. Kucing kecil ini hidup sendiri, luntang-lantung di jalanan. Pernah ia dipelihara oleh majikan yang baik, namun tak lama majikannya tiada. Pernah pula ia dipelihara oleh seorang tua renta, namun ia pergi berkelana meninggalkan majikannya.
Seiring berjalannya waktu, kucing kecil tumbuh menjadi kucing dewasa yang pemberani, ia gagah, kuat, dan mempesona diantara kucing lainnya. Ia tidak sombong, ia murah hati. Namun, ada satu rahasianya.

Saat ia sendiri, ia kembali mengingat ketika itu, hujan.
Hujan selalu menemaninya saat ia senang atau pun susah, saat ia sendiri atau pun bersama teman-temannya. Dinginnya hujan tak dianggapnya sebagai halangan, ia menganggapnya teman, ia merasakan kehangatan, nyaman.

Sampai suatu hari ia jatuh cinta pada hujan. Ia berbincang-bincang pada hujan. Sesekali mereka bercanda dan saling merayu. Ia jatuh cinta pada tetesan hujan. Ia mengungkapkan cintanya pada hujan, namun apa yang dapat diperbuat hujan? Ia tak dapat melakukan apa-apa.

Hujan tidak sama dengan kucing.

Hujan tak memiliki tangan dan kaki seperti kucing.
Hujan tak dapat makan seperti kucing.
Hujan hanya bisa membelai kucing dengan sentuhannya, sesekali.
Hujan hanya bisa memberikan kedamaian pada kucing, sesekali.
Hujan hanya bisa menemani kucing bercanda, namun tidak untuk dimiliki.
Hujan pun sedih.

Berderai air mata hujan kala itu, membanjiri beberapa tempat dimana kucing itu berada. Hujan pun menyayangi kucing itu, walau kadang ia hanya bisa membasahinya dengan air mata atau tawa.
Hanya kucing itu yang tau.

Dan sekarang, kucing kecil itu sudah menjadi seorang pemimpin.
Tak ada yang tahu apa yang dirasakan kucing kecil itu.
Hanya alam yang mengerti mengapa setiap hujan turun, kucing itu selalu menatap jendela dan tertidur sambil mendengar senandung riuh gemericik air hujan.
Tak ada yang tau seberapa lama kucing itu dapat menatap rinai-rinai manja hujan dari balik jendela. Hanya dari balik jendela.

Ya, iya mencintai hujan dan hujan pun demikian. Sampai suatu saat musim panas itu datang. Hujan pergi dan menghilang. Kucing itu sedih terus menunggu hujan, ia selalu menoleh ke arah jendela berharap langit menyampaikan pesannya melalui isyarat mendung bahwa hujan akan datang kembali.

Itulah setidaknya sedikit cerita dongeng dari ibu mengenai kucing peliharaanku, yang setiap hujan akan duduk manis menatap jendela, dan dengan tenangnya ia menikmati hujan seakan-akan hujan berbicara padanya tentang cinta.

Jumat, 22 Februari 2013

Sepasang wajah

Ku rindu, lebih baik katakan apa adanya bila memang rindu...

Glenn Fredly bersenandung, lembut lagu ini dimainkan mengiring ingatanku akan rindu yang terhalang tingginya tembok. Tembok apa? Aku tidak bisa menjelaskannya.
Pelan tapi pasti teringat pada sosok putih bertangan kekar dengan jari-jari yang indah.
Walau buncit perutnya kini, tangannya tetap kekar dengan gunungan otot yang sering sekali ku pukuli ketika bersamanya.


Perlahan kuhendus kembali aroma rokok kretek miliknya, dan sepintas masih terasa manis bibirnya.
Hmmh.. kapan bisa hilang kenangan-kenangan seperti ini?
Aku benci ketika malam datang, ia mengantar rindu dengan cepat dan tepat.

Ku hisap sebatang lagi.
Berharap bisa merasakan raganya di sampingku.

Aku lebih mencintai senja, jujur.
Ingin ku bekukan jingga, samar mega-mega terlukis di langit itu sebelum berubah kelam ia.
Lalu malam datang, dan ia merenggut senjaku.


"Hmmmh.."
Ku hisap batang rokok terakhir dimulutku dan ku hembuskan beserta seluruh nelangsa. Ini hanya karena sebuah display picture yang belum beranjak dari semenjak tadi sore. Seharusnya tak kulihat wajah itu. Sepasang wajah yang seharusnya, kupikir seharusnya, wajahku yang berada di sebelahnya. Bukan, sayangnya bukan aku. Aku rindu dirinya.

Tak seharusnya sebuah pesan berupa pelukan sampai padaku untuk menenangkanku. Karena aku sebenarnya tidak tau ada sepasang wajah itu di recent updateku. Dan akhirnya, ketika aku melihatnya, hanya satu yang ku lakukan, aku terdiam.
Kulihat, kulihat lebih lama, kulihat detil ciptaan Tuhan itu. Tapi melihatnya membuat waktu dan tubuhku berhenti. Tak hanya berhenti penasaran, berhenti juga pernafaasan, pergerakan, dan detakan jantungku sesaat. 
"Lalu, aku harus bagaimana sekarang?", bertanya ku dalam kesendirian ini. Air mata mulai menggenangi kantung mata. Sesak. Dan hanya aku yang tau mengapa dada ini tiba-tiba terkungkung dan tertekan, karena melihat sepasang wajah dalam genggamanku. Bukan karena lagu rindu milik Glenn Fredly atau sebatang rokok kretek yang tak pernah ku sentuh namun akhirnya membuatku tak jera menghisapnya untuk menghilangkan kerinduanku akan sosoknya. Ini karena sepasang wajah yang tak ingin ku lihat. 
Ku rindu.. karena waktu takkan mampu berpihak pada perasaan yang meragu...

Sabtu, 19 Januari 2013

Surat undangan pernikahan


Dear sayang, ingatkah saat kita terdiam sejenak dan hati kita berbicara.. saat itu, ini yang mereka bicarakan..

For the first and last i please you, the groom to say your promise..

My dear, Fanita, after many times we spent,
After tears and laugh we passed
After bad and good things we made
I declare.. i'm the man,
With every love i will boil the water for you when you tired, i promise!
With every strength i will never leave you, i promise!
With every word i say i will always honor you, i promise!
With every heart i will spooned you when you sick, i promise!
Thank you for loving me and being my forever
And last but not least..
With every honor i take you to be my wife. You're My everything after God!

And the bride please say the promise..

Dear My Man, after many times we share together,
After tears and laugh we passed
After bad and good things we made
I declare.. i'm Fanita,
With every love i will wake up early so i can make a cup of tea every morning, i promise!
With every strength i will always back you up, i promise!
With every word i say i will always honor you, i promise!
With everybreathe i take i will always love your snore everytime you sleep, i promise!
With every heart i will hold you, your hands, and your heart until the end, i promise!
Thank you for loving me and being my forever
And last but not least..
With every honor i accept you to be my husband. you're My everything after God!

And people, now i announce you husband and wife..

Semua orang bertepuk tangan saat kita melakukan wedding kiss, sayang..

~ Not sure if you know this
But when we first met
I got so nervous
I couldn't speak
In that very moment
I found the one and
My life had found its
Missing piece

So as long as I live I love you
Will have and hold you
You look so beautiful in white
And from now 'til my very last breath
This day I'll cherish
You look so beautiful in white
Tonight ~

"Tanntararanntararannn... kemudian musik canon kesukaan ku mengalun indah, kemudian berdansa dan semua undangan berdansa di lantai dansa yang sudah disediakan, bersama-sama dengan kita.. sesimpel itu sayang, kamu setuju kan?"

"Kamu yakin, suamimu nanti akan melakukan semua hal konyol itu saat resepsi pernikahan kalian?"

"Yang menjadi suamiku haruslah orang yang mau melakukan kekonyolan itu, itu romantis, itu cinta."

"Tapi dia bukan aku.. Bagaimana jika dia tidak mau?"

hening sejenak...

"Aku harap laki-laki itu kamu, jika bukan kamu...."

"Dia memang bukan aku, karena besok hari pernikahanku. Tenanglah, aku berdoa akan ada malaikat pelindung untukmu yang mau melakukan kekonyolan yang kau sebut cinta itu.. bahkan dia sendiri yang akan menyanyikan lagu itu untukmu.. and he will say you look so beautiful in white.." |

Sayang, apa kau masih berdoa untuk pernikahanku?
Aku akan menunggumu datang untuk memberikan senyum terindahmu padaku, hari itu dan kau akan melepasku dengan bahagia..
Sampai bertemu di tanggal 20 akhir tahun ini bersamanya, agar dapat ku lepas semua sisa cinta kita..


With Love, Fanita & Ksatria. 

Selasa, 04 September 2012

Mengingat akan mu.

Dear, laguku bercerita..
Gelap saat ku menulis ini. Ah, kamu peluk aku lagi dari belakang sembari membaca tulisanku.


Diamlah sayang, aku sedang serius menulis.
Aku kembali menulis.. Sembari aku usap-usap kepalamu.


"Kamu nulis apa lagi sih?", kau berbisik manis ditelingaku.
"Cuma sebaris lirik..Sayang, kamu sayang aku kan?" Ku tatap matamu dalam.
"Aku sayang sama kamu." Lalu hangat ku rasakan.
Kembali kau peluk aku dari belakang, seperti biasa yang selalu kau lakukan padaku. Tak lama kau tertidur diatas pundakku. Selalu seperti itu.


Biarlah ku sentuhmu

Berikanku rasa itu
Pelukmu yang dulu
Pernah buatku

Lalu aku kembali pada gelap, ku tatap layar di depan wajahku.
Diam aku, bernyanyi perlahan senandung ini sembari menatapmu tertidur di bahuku, kau ingat saat itu apa janjimu?
"Aku berjanji sampai selamanya, tunggu aku di Bandung ya."
Kau bergerak sedikit di pundakku.


Sayang, saat kau tertidur, pikiranku melayang melalui waktu-waktu yang kita lewati.
Kembali ku ingat beberapa tahun kita menjalin cinta.
Saat pertama kau lulus tes memasuki universitas itu aku menangis terharu, saat akhirnya kau menyatakan cintamu, saat kita bertengkar dan kau meninggalkanku sendiri, saat kau memberikan surprise untuk ulangtahunku, saat kau mendoakanku, saat aku datang ke tempat tinggalmu tengah malam hanya untuk mengantarkan bubur, bukan jarak yang dekat. Saat kau mengatakan bosan, saat kita melakukan pelanggaran atas kesepakatan kita, dan saat-saat dimana orangtuamu tak pernah setuju akan kehadiranku, hingga akhirnya orangtuamu mengatakan hal yang tak pantas itu, dan kau tak bertindak apa-apa. Tak pernah kau hargai aku. Ku rasa.
Ku genggam jemarimu menahan air mata.


Ku tak bisa paksamu

'tuk tinggal disisiku

Semakin ku ingat semakin sakit ku rasa, semakin ku sadari perasaanku meragu, semakin aku merasakan bahwa kau bukan untukku, aku pun tak ingin semakin lama menyakitimu dan membebanimu dengan segala permasalahan ini, membebanimu dengan hidupku yang berbeda dengan hidupmu, semakin terasa bahwa aku harus meninggalkanmu, aku tak sanggup.

 Sst.. diam sayang, kuusap lagi kepalamu, peluk saja aku dalam tidurmu. Biarkan aku mengenang semua perbuatanmu.Menitikkan air mata perlahan.

Walau kau yang selalu sakiti

Aku dengan perbuatanmu

Sayang, sepertinya kita hanya bisa sampai disini. Lima tahun ini harus berakhir disini.
Perlahan basah ku rasakan pada bahuku. Hatimu tak tidur. Kau tak tertidur.


Namun sudah kau pergilah

Jangan kau sesali

Perlahan ku lepas tanganmu dari tubuhku.
Hampa. Ternyata semua hanya bayangan, semu. Seperti semua janjimu padaku, tak ada lagi kata selamanya. Aku yang pergi, tak ku lihat kesungguhan dalam hatimu. Entah kesungguhan seperti apa yang ku mau, tapi tak ku dapat itu darimu selama ini. Kita bukanlah sepasang remaja lagi seperti ketika pertama bertemu, kini aku menjadi seorang wanita yang mencari tahu siapa masa depanku. Maaf. Pergilah. Aku yang mengambil keputusan ini. Ku hapus air mataku.


Karena ku sanggup walau ku tak mau

Berdiri sendiri tanpamu
Ku mau kau tak usah ragu
Tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

Tubuhmu hilang, berbayang dari lingkar pinggang kecilku.
Sempat kau menangis tak ingin pergi dariku, kau bilang hanya aku, kau bilang kembalilah padamu.
Menangis aku meraung, tidak bisa ku lanjutkan ini semua, berkecamuk dalam dada ingin merengkuhmu, memelukmu, mencium bibirmu, aku sendiri tak sanggup menanggungnya. Namun, aku berjuang sendiri selama ini, selalu ku pertanyakan kesungguhanmu, tapi apa, aku lelah. Aku lelah!
Tak pernah kau perjuangkan aku. Aku berusaha untuk melepaskan pelukanmu. Cukup selama ini aku merasakan setiap lakumu padaku, apa aku benar-benar tak layak mendapatkannya? Dan secepat itu pula kau menemukan dia, yang lain. Sesaat kau (masih) cinta padaku.


Tak yakin ku kan mampu

Hapus rasa sakitku
Ku ‘kan selalu perjuangkan cinta kita
Namun apa salahku
Hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu

Ku ucap maaf. Maaf jika aku menyakitimu (mungkin aku yang selama ini tersakiti olehmu tanpa sadarku), maaf jika karena aku tak yakin lagi aku bisa bertahan mencintaimu, dan ku lakukan ini karena mauku, aku tau aku tak sanggup. Simpanlah semua alasan dan janji akan masa depan yang kau berikan, jangan pernah berjanji lagi padaku.


Tak perlu kau buatku mengerti

Tersenyumlah karena ku sanggup

Semua penonton bersorak dan bertepuk tangan membuyarkan khayalanku.
"AGNEEEEESSSS...!"
"Yah, demikian salah satu lagu  yang dimana saya banyak berperan dalam pembuatannya. Terimakasih. God bless you all!!"


Dan konser itu berakhir. Semuanya gelap tanpa bayanganmu dan air mata masih mengalir di pipiku mengingat akan mu, genap dua tahun sudah aku meninggalkanmu, namun tak semudah itu aku melupakan lima tahun kita.


Kamis, 23 Agustus 2012

Langit 7 warna: Putri Kesepian

Hai Pangeran Kelana.. Apa kabarmu?
Salah sepertinya jika ku tanyakan apa kabarmu, ku dengar kau hidup bahagia bersama putri kupu-kupu yang lembut.
Bagaimana kelembutannya menyapamu setiap pagi? Apakah kalian selalu berkejar-kejaran dalam ria? Tak perlu ku tanyakan kembali seharusnya.

Ku lihat kesehatanmu membaik disana. Tidak seperti dahulu ketika kau bersamaku, Putri Kesepian. Dahulu setiap hari kau harus melalui peperangan untuk menjagaku, kau harus melompat ke bola dunia yang berbeda dan melewati partikel-partikel langit yang bermacam-macam dan membuatmu terluka dimana-mana, kau masih harus bertani membuat sebuah taman bunga agar aku dapat tetap hidup, tanpa kesepian. Bahkan, harus melawan Raja Kelana dan Ratu Sari untuk tetap bersamaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah istanamu baik-baik saja?

Kini, dibawah langit jingga dan hembusan angin aku menyuarakan hati ini. Aku teringat akanmu, bukan sepele untuk memikirkanmu, aku tak pernah mau. Lalu, aku bersuara, menyuarakan hatiku. Kemudian, ku kirim bersama buih ombak yang datang mendekatiku perlahan. Satu demi satu aku bisikkan pelan pesanku dalam buih-buih kehampaan yang tak tahu kemana singgahnya, mencari tahu keberadaanmu untuk menyampaikan suara hatiku. Namun kusadari, ini bukan lagi suara cinta, ini kesedihanku.

Kubisikkan pada mereka yang bergulir lembut dibawah jemari kakiku. Lembut seperti cintamu yang akhirnya menyakitkanku, karena aku tahu, kita tak bisa bersama, bagai ombak dan pasir pantai, kau datang, bergelombang, lalu pergi. Tak dapat bertahan sekejap waktu. Jika tau begitu tak ku titipkan hatiku pada buih-buih cintamu, aku akan pergi memilih batu karang yang akan tetap bersamaku walaupun ia keras dan kasar, setidaknya ia takkan meninggalkanku, kesepian.

Berjalan aku meninggalkan langit jingga. Aku pergi melihat pohon kenangan, tersandung aku pada sebuah nisan bertuliskan "Aku datang menghadap kematian, meninggalkan kenangan yang terindah." Itu kuburan kenangan kita. Tak pernah ku gali. Aku hanya ingin meninggalkannya, tapi di tanggal ini, aku kembali seperti menggali kuburan itu. Tepat disaat bulan purnama, saat jejak-jejak ksatria tak terhentak ke tanah, tepat saat terdengar lagi letupan api peperangan, inilah masa ketika Raja dan Ratu menjadi orang paling bahagia seantero jagad raya dunia khayalku, tepat di hari ini ingatan tentangmu membuat aku merasa bagai diserbu ribuan panah namamu ke dalam hatiku. Sakit. Lukanya dalam dan banyak. Tak tahu berapa banyak ladang rumput yang akan berubah menjadi merah karena darahku. Satu persatu panah terbang dari ufuk barat ke arahku, merah menyala warnanya, aku diam. Panah pertama sudah tepat mengenai jantungku. 

Pangeran Kelana, secepat itukah duniamu berputar?

Mengapa kita tidak diciptakan dalam sebuah dunia yang sama sehingga kau tak perlu melakukan hal-hal yang tak seharusnya?
Mengapa aku hanya dapat memandang bola duniamu tanpa bisa terbang kesana? Aku meminta pada Dewa Hujan untuk memberikanku sayap air agar aku bisa terbang menemuimu, walau dalam hati aku tak ingin melihatmu sama sekali, Dewa Hujan tak mengizinkannya. 

Aku kembali memandang langit marah yang merah sambil merenungimu. Rambutku berkibar ke belakang, terlihat samar-samar cahaya merah akibat pantulan warna langit tempat aku berdiri. Ku lihat duniamu sedang berputar, kau berkejaran dengan Putri Kupu-kupu. Aku tak mengerti arti kelembutan, maafkan aku. Namun, mengapa kau mengatakan ternyata selama ini tak pernah kau pahami setengah dari duniaku? Ada sisi yang tak kau pahami dalam bola udara duniaku, dimana kebebasan menjadi asas di dalamnya. Tapi, mengapa itu terjadi setelah sekian lama.

Lalu aku menangis.

Aku pergi mengambil akar menjalar dan menganyamnya membentuk sebuah simpul kematian.
Aku naik diatas sebuah kursi kayu yang selalu ku gunakan untuk memandang cermin, yang membuatku menangis ketika aku sadari tak ada lagi mulut bibirku, aku kehilangan mulut untuk berkata-kata tentang cinta, aku tak punya bibir. Ya, selain itu tak juga kumiliki mahkota cantik bagai Putri Kupu-kupu. Aku hanyalah seorang anak Petani yang tak mampu membeli keindahan dunia. Inilah aku. Putri Kesepian. Aku tak memiliki apa-apa selain kesepian.

Bulat tekadku, ku buat sebuah simpul terakhir diwajahku (ku anggap aku masih memiliki bibir yang kau renggut untuk mengucapkan kata cinta), ku ambil sebuah batu granit tajam berwarna hitam pekat dan menorehkannya tepat di jantungku yang tertikam panah. Ku keluarkan dengan jeritan menuju kematian. Keluarlah jantungku, masih berdegup kencang. Lalu ku masukkan kepalaku ke dalam simpul tali, dan aku tersenyum simpul.

"Lebih baik aku mati daripada harus melihat keindahan dunia yang tak mampu ku miliki, atau bahkan dunia yang pernah ku miliki. Tunggulah buih-buih itu terbang ke langit dan kau akan mendengar jeritan hatiku."

Dan aku mati. Putri Kesepian.

Jumat, 29 Juni 2012

Anak tak berhati

Berdesakan diantara rintihan dan sengal nafas untuk bertahan hidup.
Diwarnai rinai hujan yang menambah haru cerita seorang anak.
Anak pergi meninggalkan keluarganya mencari sesuap nasi, menyesal ia lahir dalam keluarganya.
Dilihatnya kerumunan anjing-anjing dunia mengantri sudah tak bisa makan mereka sekarang. Ia lihat seorang pejabat yang dulunya sangat pamor kisah hidupnya, sekarang terinjak-injak karena renta tubuhnya ia tak dapat lagi mengantri untuk sesuap nasi.

“Tuan, hatiku masih bagus. Tuan!!” Serunya dengan suara yang melengking. “Tuan, jangan abaikan! Hatiku punya seribu ruang, hatiku berbeda, ambil dia Tuan, aku ingin makan!”

Tuan pun mendengar suara anak itu. Ia mengambil sebuah tongkat panjang yang sudah luayan berkarat akibat darah biadap orang-orang. Ditariknya kepala anak itu dan terseretlah ia diantara manusia bau busuk lainnya.

“Apa maksudmu hatimu punya seribu ruang? Apa saja yang bisa masuk ke dalam sana?” Tanyanya gusar.

“Hatiku memiliki seribu ruang, mereka tidak. Hatiku bisa menampung hati siapa saja, mereka tidak. Kau mau? Ini bisa berkembang lebih banyak lagi, dan kau akan mendapatkan keuntungan yang sangat amat.” 

Berpikir Tuan sejenak melihat anak kucing ini, kurus, berbau, tak berotak mungkin ia. Tapi ia bilang hatinya punya seribu ruang. 

“Kamu! Anak! Masuk ke dalam istana makanlah sepuasmu, aku ambil hatimu.”

“Tidak sembarangan! Ini hati luar biasa! Kau harus memberi makan dan menghidupi ayah, ibu, dan kakakku! Mereka punya lebih banyak ruang dalam hatinya! Kau takkan rugi Tuan!”

“Lalu kenapa hanya kamu yang kesini?”

“Mereka hampir mati!”

Tuan memerintahkan semua pejabatnya untuk melihat keadaan itu, ia masih bertanya-tanya bagaimana seorang manusia memiliki beribu ruang dalam hati.

“Anak!! Besok giliran hatimu. Makanlah yang banyak malam ini.”

“Baik Tuan, tapi tolong beri makan saja mereka sampai seribu hari lagi, hatiku ada seribu ruang, kau harus bayar itu!”

Dan Anak menangis haru dalam tatakan piring berisi makanan itu. Ia bersama yang lainnya yang tepilih saat itu.