Minggu, 29 Juni 2014

Duduk Berdua Denganmu

Duduk aku memandang batas laut biru. Ku ikat rambutku yang sudah menyentuh bahu.
Diam-diam dari ujung mataku, ku lihat senyummu.
Kemudian matahari menjilati sendu wajahmu, manis memang.
Melirik sejenak.
Aku berusaha menatap lurus ke depan tak mengacuhkan tatapanmu.
Kuat dan tegas, aku tak mau menoleh.
Tak kuat aku, ku pilih menunduk sebagai jalan keluar.
Kau kembali memandang lingkar samudra. Berbataskah ia? Apa yang kau lihat?
Ku lihat sebuah gereja tua tak jauh dari tempat kita terpaku. Memaku. Tanpa memadu.
Kasih, dengar kah?
Sekeras suara lonceng gereja berdentang aku menyuarakan kasihku. Setenang samudra aku menikmati tiada balasmu.
Kamu tahu?
Namun, jika menikmatinya menyejukkan jiwa, apalah arti balas yang berujung duka.

You Are My Hero

Terdiam aku melihat dia yang cantik, berambut hitam tipis yang panjangnya hanya sebahu, di depanku. Bergaya bak putri raja dengan gaun merah muda selutut dan juga riasan sederhana yang membuat wajahnya semakin menggemaskan.

Setiap hari ia menyambut kedatanganku dengan pelukan. Kalau aku belum pulang terkadang ia menangis sampai tertidur menungguku atau bahkan menelponku setiap sepuluh menit. Hari ini adalah hari istimewa karena aku akan berkencan dengannya. Dia, sangat menyukai kencan denganku karena aku selalu membuatnya tertawa hingga terkekeh.

Aku ingat beberapa tahun lalu, kami mulai saling mengerti.
Di suatu pagi, aku meminta bantuannya mengambilkan dasi favoritku. "Tolong ambilkan dasi ku yang berwarna biru," padanya. Lalu dia berkata bahwa warnanya tidak cocok sehingga ia mengganti dasi pilihanku dengan dasi berkarakter mickey mouse kesukaannya. Sedikit malu memang saat mengenakannya ke kantor, tetapi aku ingin membuatnya bahagia. Sesekali tak apa, pikirku. Dulu, aku adalah seorang laki-laki yang menjunjung tinggi martabatku, pantang menyebut kata tolong kecuali memang aku benar-benar tak bisa melakukannya. Siapa sangka sejak kehadirannya, aku mampu melakukannya. Sebab, jika aku tidak meminta bantuannya mungkin sampai kapan pun aku tak mampu mengerti jalan pikirannya. Mulai dari meminta tolong memilihkan baju hingga meminta tolong padanya agar ia menjadi satu tim denganku, tim kuat dalam keluargaku.

Pernah sekali aku melukai hatinya. Aku membatalkan janji kencan pertama kami. Aku tau itu sangat melukai hatinya. Ia hanya diam dan memelukku erat tanpa bicara tanpa tawa. Ia terluka, aku memeluknya hingga ia tertidur dalam pelukanku. "Maafkan aku." kataku padanya. Dia, tersenyum simpul mendengarnya. Ku kira ia akan mengambil waktu yang lama untuk memaafkanku, nyatanya saat pagi aku membuka mata ia sudah berjalan dari dapur membawakan sekotak susu untukku. Ya, minuman favorit kami. Ia ingin kami berdua sarapan di tempat tidur. Sambil meneguk susu dalam gelas besar, ia tersenyum. Pandangannya tak lepas dari mataku. Saat mulutnya masih belepotan ia mengecup pipiku, "i love you," katanya kemudian ia mengeluarkan suara besar yang berasal dari mulutnya dan berbau masam, ia bersendawa. Aku terpingkal-pingkal karenanya. Aku sadar bahwa kini aku bertanggung jawab atas setiap tangis, tawa dan cintanya.

Sambil berjalan mengitari taman bermain sore ini, aku mengikuti langkahnya dari belakang. Sebentar lagi, sebentar lagi sepertinya waktuku habis bersamanya. Ia tak akan melakukan ritual-ritual yang sering kami lakukan ketika ia semakin dewasa. Oleh sebab itu aku harus memanfaatkan waktuku bersamanya. Jika nanti teman-temannya menertawainya karena tingkahku, aku akan mengatakan pada mereka "Salahkan aku, aku terlalu mencintainya." Hahaha. Aku tak sabar menunggu waktu itu.

Setelah berjalan-jalan mengitari taman, bermain ayunan dan memotret bunga yang kalah cantik dengannya ia mengatakan ia dapat membuat sesuatu di atas pasir. Aku mulai berpikir ide apa lagi yang akan keluar dari otak cerdasnya, aku menunduk dan bertumpu di atas satu kaki sambil meletakkan tangan kiriku di dagu "Ajari aku," ucapku. Dengan sebuah ranting aku mengikutinya menarik sebuah garis, kemudian aku mengikuti pinggangnya yang bergerak ke kanan ke kiri dan terciptalah garis melengkung hingga ujungnya bertemu kembali dengan ujung garis pertama. "Love", katanya. Ternyata ia membentuk gambar sebuah hati di sana, bentuknya memang tak sempurna tetapi cintanya sempurna untukku. Aku sangat menyukai sore ini bersamanya.

Selama perjalanan pulang, aku mengendarai mobil kesayanganku dan dia. Dia bilang, dia menyukai mobil ini karena warnanya yang putih, ia bilang warna putih adalah warna kesukaannya setelah merah muda. Selama perjalanan ia mengatakan ia memiliki rahasia. Tetapi ia berulang kali membatalkan untuk memberitahuku, katanya ia takut aku sakit hati. "Hmmmm.. begini.. bolehkah aku mengajak Charles ke rumah? Tetapi dia laki-laki. Atau bagaimana dengan Corine dan Chelsea, mereka perempuan? Apakah kau marah jika aku membagi waktuku dengan mereka?" Ku belai kepalanya pelan, "Undang mereka semua bermain di rumah. Akan aku buatkan kalian jus stroberi kesukaanmu."
"YEEEEEEEEEEEEEEEIIIY!", teriaknya girang. "Mereka pasti akan menyukainya. Bolehkan aku membantu memasukkan stroberi ke dalam blender?"

"As you wish...", ucapku seraya mencubit pelan pipi merahnya.

"YEEEEEEEEIIIYY!", ia kembali berteriak riang.

Sesampainya di muka rumah aku memarkir mobil dan ku bukakan pintu untuk puteriku. Ku gendong ia ke atas tempat tidurnya dan aku meminta istriku mengganti pakaiannya sementara aku menyiapkan susu cokelat hangat.

"Di mana ayah?", ku dengar ia terbangun dan mencariku.

"Aku di sini, kau ingin secangkir susu cokelat? Tapi tidak dengan marshmallow karena hari ini kau sudah cukup banyak makan yang manis-manis."

"Ya, ya, aku mau..." Ku tuang minuman cokelat beraroma nikmat ke dalam cangkir kesukaannya.

"Bagaimana kencan hari ini?" kata istriku sambil memelukku dari belakang.

"Luar biasa, ia ingin mengundang teman-temannya lain waktu untuk bermain bersama kita." ku tutup kalimatku dengan sebuah kecupan di keningnya. Kami masuk ke kamar Lea, puteri kami. Tangannya meraih cangkir berwarna pink dengan garis-garis kuning yang dihiasi burung-burung biru seperti warna baju tidurnya, yang ku bawakan sambil menyanyikan lagu kesukaannya. "Lea," kataku "You are my hero, ketika aku dewasa nanti aku ingin menjadi sepertimu."

Ia nampak kebingungan dengan apa yang ku katakan. "Bukankah kau dan mama lebih besar daripada aku?"

"Ya, tetapi kami akan tumbuh semakin dewasa jika kami belajar dari kehidupanmu."

Tak lama setelah itu, Lea mengajak kami menutup malam ini dengan sebuah doa. Ia meletakkan tangan kami di atas bantal sapi berwarna merah muda dengan pita yang sangat besar, kami mendapatkan boneka itu setelah memenangkan lomba melempar bola basket. Akhirnya, aku dan isteriku menemani Lea hingga ia tertidur pulas. Kami sangat berharap bahwa hari-hari ke depan akan sangat indah bagi kehidupan Lea dan kami.

Kamis, 12 Juni 2014

Sederhana?

Perihal menunggu, tak sesederhana kamu datang lalu kita bahagia bersama selamanya. Nyatanya kamu tak datang, ada rasa yang kamu biarkan hanya menjadi tanda tanya, dan bahwa rinduku tak pernah cukup untuk membawa nyalimu jatuh di pangkuanku.
—  Sederhana? By: Kekasihsenja