Rabu, 19 Desember 2012

Hujan - Andhika Caesar

Hujan turun. Ada malu berbisik dalam rindu yang fana. Dia berkata " Jangan datang terang dan terik, biarkan fana ini bertahan sejenak."

Jumat, 14 Desember 2012

5 cm

   5 cm, sebuah kata yang menjelaskan tentang jarak. Udah gak asing lagi denger 5 cm, bukan hanya sekedar jarak, tapi 5 cm adalah sebuah novel karya mas Donny Dhirgantoro yang benar-benar sedang menghipnotis masyarakat, khususnya anak-anak muda Indonesia. Sempat sih menemukan sekumpulan anak muda yang bertanya "memangnya 5cm itu apa sih?" atau yang lain juga yang berkomentar "Ooh, film Indonesia, gak tertarik ah!". Man, just keep read my post and you will curious about 5 cm.

 Okei, 5 cm memulai langkahnya dalam bentuk sebuah novel yang menjadi salah satu best seller di tahun 2005 dan sampai sekarang masih banyak dicari novelnya. Dalam tangan seorang Rizal Mantovani novel ini menjadi suatu kemasan visual yang benar-benar bikin saya menganga, bukan hanya karena bintangnya yang tentu sudah pasti bikin jatuh cinta, tapi setiap setting baik lokasi, suara, gambar, skenario dan masih banyak lagi itu semua bikin saya bedecak kagum dan berkata ini INDONESIA. Heran?

5 cm sendiri menceritakan tentang persahabatan, cinta, usaha, daya juang, dan khususnya kecintaan akan tanah air kita INDONESIA. Berawal dari pengenalan tokoh-tokohnya yaitu Arial si Rambo (Denny Sumargo), Ian (Igor "saykoji"), Genta (Fedi Nuril), dan satu-satunya perempuan dalam kelompok ini Riani (Raline Shah) serta  Zafran yang diperankan oleh artis kebanggaan saya Herjunot Ali. They close each other, sampai suatu saat Genta mengusulkan untuk mereka berpisah selama 3 bulan agar tidak saling jenuh setelah 10 tahun berteman dan dapat mengejar impian mereka masing-masing lalu mereka akan kembali bertemu tepat di tanggal 14 Agustus. Dari sini lah berawal setiap perjalanan mereka. Genta dengan pekerjaannya sebagai leader of EO, Riani yang bekerja seperti biasa, Zafran yang masih juga mengejar cinta terhadap Dinda alias Arinda adik Arial (Pevita Pearce), Arial yang akhirnya berhasil mengejar cinta, dan terakhir Ian yang akhirnya berhasil mengejar sidang sarjana nya, karena dari mereka berlima hanya Ian yang belum lulus kuliah setelah sekian lama.

Pertemuan di Stasiun Senen tanggal 14 Agustus membawa mereka pada sebuah mimpi, dimana semua ini sudah di set sedemikian rupa oleh Genta. Mahameru, itu tujuan mereka. Pendakian akan sebuah gunung setinggi 3.676 m diatas permukaan laut ini kemudian menguji persahabatan mereka, juga cinta. 

Dimulai dari langkah pertama di kota Malang para penonton akan dimanjakan dengan pemandangan Indonesia yang menakjubkan. Jangan heran, ketika menonton film ini tak sedikit pun saya berpaling apalagi setelah melihat "samudra di atas awan". Film berdurasi sekitar dua setengah jam ini akan membuat kita benar-benar terhibur dengan setiap tingkah pemainnya, menangis, dan merasakan perjuangan dalam menakhlukkan mahameru. Satu yang saya tangkap dari film ini adalah bagaimana kita sebagai anak muda Indonesia dapat mewujudkan mimpi-mimpi kita dan memberikan sebuah feedback yang baik untuk tanah air tercinta INDONESIA. Have you?

'semua mimpi-mimpi kamu , cita-cita kamu , keyakinan kamu , apa yg kamu mau kejar , taruh disini , di depan kening . biarkan dia menggantung , mengambang , 5 centimeter di depan kening kamu'

Rabu, 12 Desember 2012

Berdua burung gereja

Berdua berayun burung gereja
Bersiul pagi burung bernyanyi
Membawa kedamaian dalam hati
Yang mungkin masih dalam malam
Bernyanyi merdu, terbang riang
Seakan membagi kebahagiaan pada hati

Aku diam sendiri memandangi
Mereka-reka jenaka mereka
Bertengger satu, datang cintanya
Berdua berayun diatas untaian panjang untaian kabel listrik
Beradu cinta diatas bahaya

Asik mereka menikmati cinta
Masih pagi!
Dan mereka sudah berbagi cinta
Tak ada sangkar emas atau kayu
Tak ada sangkar jati atau kotak sepatu
Mereka tak kenal kelas sosial, agama atau perbedaan lainnya
Apalagi dosa!
Hanya membagi cinta dan kebebasan
Berdua berayun burung gereja..

Minggu, 02 Desember 2012

Kata-kata

Kata.. Kata-kata..
Katanya saya siap, saya tidak
Katanya saya berhenti, saya tidak
Saya mencoba menahan kata, bukan menghapus tiap kata
Kata-kata..

Kata demi kata
Demi apa ada kata?
Demi siapa kata jadi kata?
Demi apa yang ada dalam setia pukul 01.00 malam
Terbangun mata menanti kata

Kata belum biasa berkata-kata
Pelampiasan pada aroma baju atas setiap kata
Hirup lebih dalam untuk menahan kata
Kata-kata yang hanya bisa berkaca
Tak bertambah hanya berulang tiap kata

Jumat, 23 November 2012

Tuhan, lalu malam datang padaku, kembali menggurat sendu. Hilir mudik lalu-lalang bayangannya di mataku. Entah sampai kapan perasaan ini mengganggu. Ia dan aku sudah lama tak bertemu, jangankan bertemu membalas pesan pun ia tak mau. Apa ini akibat cinta? Apa ini yang namanya rindu? Tuhan, masih teringat bagaimana ia membuatku tertawa. Dia yang kembali membuat aku berani. Tuhan, lalu dimana dia sekarang. Ku tarik ulur rindu, ku hempas pintu kelabu, aku ingin bertemu.

HAPPY BIRTHDAY SONG FOR MONICA

I AWAKE WITH A SMILE IN MY FACE
I AWAKE WITH THE JOY AND HAPPINESS
‘COZ GOD MADE ME TODAY
‘COZ GOD MADE A PLAN FOR MY LIFE TODAY

chorus:
I CLOSE MY EYES AND THANKS TO YOU
I WISH A WHISPER FOR SOMETHING BETTER
AND NOW..

Reff:
THE BEAUTIFUL DAY
THE HOPEFUL DAY
THE AMAZING THAT WILL BE HAPPEND WHEN I BLOW THE CANDLE
FOR THE FUTURE DAY
FOR THE NEXT STEP OF MY LIFE
I THANK GOD FOR THE EVERTHING HAS DONE
HOW I THANK FULL TO YOU..

“HAPPY BIRTHDAY MONICA. THIS IS THE SONG I MADE FOR YOU. BUT, SORRY BECAUSE THERE’S NO MUSIC AT ALL. I CAN’T PLAY EVEN JUST ONE..”
Sedang merindu menoreh lagi lagu-lagu dulu
Mengurai sebait senja yang sedang mencengkram cakrawala
Tanpa malu mencuri sendu untuk menambahkan setitik nila dan sedikit ungu
Seperti hatiku..
Setelah itu akan menari kembali dalam rangkaian kata dan aksara
Tanpa harus mencinta.
Blue sky .. i see the blue sky
Wind blow .. sweet i taste like your breath in my mouth
Lips fly to the sun. I kiss him with the hot temperature of heart and mind..
Hup hap hup
Jump jump jump
I get my heart beat
Pop out .. Pop out
Hug and kiss
Like a strawberry bliss
Lover, friends, or nothing
I won’t thinking
It just like run and swim
In summer time..

Apa itu, bagikan padaku.

Ku hidangkan sebuah teh melati hangat untuk meringankan bebanmu, hiruplah dalam biarkan aromanya membuat otak mu perlahan tenang..
Sudah?
Letakkan kepalamu diatas pahaku, agar dapat ku belai kepalamu, tempat dimana semua beban itu berada.. Perlahan ku sapu dengan kasih sayang agar tersapu perlahan semua beban..
Lalu? Bagaimana harimu yang berat itu.. ceritakan padaku..
Kupeluk lembut tubuhmu yang terbaring. Sesekali ku kecup keningmu, ku bacakan mantra cinta untuk membunuh luka, lalu ku kecup kembali keningmu..
Berat. Inilah hidup.
Mengalir kata demi kata dari bibir keringmu. Perlahan mulai kau tutup mata seolah tak ingin menghadapi semuanya.. Kau balik badanmu dan merangkul lingkar pinggangku, seakan memeluk seluruh dunia agar tak melihat air mata dibalik kelopak indahmu itu.
Apa itu dihatimu, masih ada beban disana? Jangan ragu bagikan denganku. Aku ada untuk mendengarmu. Aku ada untuk memelukmu. Sepotong kekesalan dan secuil kepedihan, atau mungkin setangkup kegalauan disana? Apapun itu bagikan padaku aku ingin mencicipi sedikit demi sedikit hidupmu, sedikit hidupmu yang hanya beberapa bulan ini agar aku kenyang dan dengan rela melepas kepergianmu bersamanya..
Masih kau peluk aku, hangat, entah apa yang bisa ku berikan padamu. Seluruh tubuh, segenap hati, semampunya pikiranku melayanimu mengurangi berat bebanmu. Aku mencintaimu cinta.
Lalu kau mengangkat kepalamu, puas sudah kau menuangkannya dalam sebuah lantunan rindu dalam pelukku. Ku bacakan mantra cinta dan kembali ku kecup keningmu agar tak bersarang masalah itu disana, dan kembali ku lihat kau bahagia.

Anugerah di pagi hari

Sesaat mulai tercium semeriwing aroma manusia berkeliaran mengganggu hidung ini. Ahh, aku benci bekerja di hari Minggu pagi dan tidak berangkat dengan motor, which is artinya harus berdesakan naik angkot, but, it’s oke lah.

Dimulai dari seorang bapak dengan tas besar yang bergegas menuju sebuah terminal di Bandung, lalu masuk lagi dua orang ibu dan anak yang dandanannya agak..hmmm ya dempulnya cukup untuk menjadi adonan kue, dan beberapa penumpang lain yang baru saja berbelanja di pasar kaget didekat jalan itu. Tibalah seorang bapak dengan dua anak laki-lakinya memasuki angkot kuning tua ini. Mereka mengambil tempat duduk di paling belakang. Anak pertamanya kira-kira berumur lima atau enam tahun, anak keduanya sekitar dua setengah tahun. Bapak itu merangkul anak yang paling kecil dan anak tertuanya duduk berseberangan dengannya.
Awalnya aku tak begitu memperhatikan pola tingkah mereka. Yah, selayaknya penumpang angkot biasanya, duduk diam dan menghadap ke depan. Namun aku mendengar keceriaan mereka aku memutuskan untuk melirik sejenak.
Bapak itu sedang bermain dengan kedua anaknya seakan hanya mereka yang berada disini, lalu bapak itu menyuruh anak pertamanya menghabiskan jajanan sederhana yang mereka beli, ku lihat pakaiannya, mereka sepertinya baru saja berolahraga bersama, bukan orang yang berada, namun bahagia yang mereka tunjukkan benar-benar membuatku iri.
Tiba saatnya kami berhenti di lampu merah, cukup lama dan datanglah seorang pengamen jalanan menyanyikan dua buah lyric ..pergilah kasih kejarlah keinginanmu.. selagi masih ada waktuu….” hanya beberapa kali menyanyikannya dengan tubuh yang masih segar bugar ia mencondongkan tangannya untuk meminta imbalan atas suaranya yang pas-pasan itu. Tak ada yang memberi termasuk aku, yah,pura-pura saja tak melihat.. Namun anak bungsu bapak itu berusaha berjalan sambil dipegang oleh bapaknya memasukkan beberapa uang receh ke dalam gelas plastik pengamen itu. Setelah itu tak habis-habis bapaknya memeluk dan mencium anak itu dan berkata “hebat.. hebat..” dan mereka tertawa kembali. Tak lama mereka turun dari angkot yang sudah tak jelas apa aromanya ini, anak pertamanya turun “tunggu disitu Aa’..” lalu bapak itu membayar ongkos dan ku lihat ia terus merangkul sembari menggendong anak bungsunya sambil menyebrang jalan.
What a day.. Pagi-pagi sudah melihat sebuah kebahagiaan yang seperti itu rasanya… hmmmhh.. i don’t know. Thank God i still got that feeling :) that’s a lil’ grace from You.

CINTA DAN NAZAR

Aku Cinta.
Dia Nazar.
Dan ada Dia yang mencintai.
Kami berdua dicintai, ya Cinta dan Nazar.
Dia mencintai kami sama banyaknya.
Dia tak mau melepas keduanya.
Ya, Cinta dan Nazar.

Namun, siapakah yang terlebih besar di sana?

TAK ADA!

Tuhanlah yang terbesar dan Nazar ada bersamanya.

Jadi, tak ada yang dapat mengelakkan kenyataan bahwa Tuhan berperan penting dalam sebuah perjalanan cinta.

Dia tak tahu apa yang harus Dia perbuat.
Dia meinginkan Cinta namun Dia memiliki Nazar.
Dan Tuhan bersama Nazarnya.

Dan tanpa harus menebak, ku rasa kita semua tahu bagaimana akhir nya.

(masih) Ada Tuhan di Sana

Menutup mata dari sekitar yang melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Aku berjalan dalam kegelapan membawa lentera.

Satu persatu rupa-rupa manusia tak berupa sempurna melintas.
Setapak jalan tak beraspal dan berbatu penuh dengan cairan lengket yang entah apa ini baunya amis sekali.
Ternyata aku melewati daerah pelacuran, amis sekali. Setiap orang berbau amis, entah bau apa yang melekat pada tubuh mereka.

Mereka bagaikan berada dalam sebuah daerah yang terisolasi ku lihat diluar perbatasan, tanpa batas yang tertutup dan jelas setiap orang mencemooh mereka, berfikir negatif tentang apapun yang mereka perbuat karena mereka pelacur.
Entah pelacur baik atau jahat.

Namun, ada satu nafas yang terhirup olehku. Perlahan tapi pasti semakin banyak yang ku rasakan. Ini adalah Doa. Semakin kencang kurasakan hawanya.
Aku berlutut seketika, terperangah melihat setiap bait doa yang perlahan terbang bagai serpihan kristal menuju langit.
Disana ada doa untuk pengampunan, disana ada penyesalan, disana ada pengharapan, disana ada doa bagi bangsa, disana ada doa untuk kaum seperti mereka dan juga mereka tak lupa mendoakan orang-orang kaya dan berada di luar perbatasan mereka. Ada Tuhan disana.
Tersapu badai seketika tempat itu sunyi, berganti dengan perbatasan yang sangat jelas terasa banyak kesombongan di sana, baik materi, harkat dan martabat, bahkan iman yang semakin berlomba-lomba untuk dipamerkan. Siapa yang tak bercacat, siapa yang tak berdosa, siapa yang dapat melayani lebih baik, siapa yang dapat menjatuhkan lebih baik. Aku bingung, Tuhan ada disana tapi tak sebening doa-doa orang yang terbuang tadi.
Kembali mataku dibutakan oleh kabut tebal.

Aku berjalan perlahan, banyak teriakan makian ku dengar. Suara sayatan pedang, suara barang-barang berjatuhan, suara tubuh yang terpukul benda keras, dimana aku?
Ku lihat anak seumurku sedang memegang pisau berlumur darah akibat membunuh ayahnya, ku lihat seorang ibu menjual organ-organ tubuh anaknya. Seketika aku muntah. Jijik aku melihat darah dimana-mana. Aah, apa ini Tuhan! Masihkah kau ada disini?

Ku dengar suara tangisan sendu dua orang anak perempuan yang menanti ayahnya. Ayahnya hampir saja datang dan memasuki pintu, namun dari belakang ada orang lain yang menikam tubuhnya. Ia hanya sempat memeluk kedua putrinya sebelum ia mati dalam pelukan tangan-tangan kecil itu. Ku lihat doa disana, ada Tuhan disana. Diawali dari mereka berdua, lalu aku melihat diam-diam ada nyanyian kudus disebelah rumah mereka, lalu doa lagi dimana-mana, aku melihatnya. Tuhan masih ada disana.
Aku tak kuasa, ku tutup mata dan ku hapus anak sungai yang semakin deras mengalir di bukit pipiku. Hilang.

Aku berdoa, mulai berdoa melihat semuanya, apa aku masih boleh berdoa Tuhan? Aku bertanya padanya apa aku masih boleh berdoa dengan setiap apa yang aku lakukan dan dilihat orang tentang aku?
Aku berdiri di depan tong sampah, sebuah tong sampah dengan sebuah bungkusan plastik, berdarah. Aku melihat banyak tangisan disana, dan tidak jelas apa bahasa mereka, mereka kesakitan dan kedinginan. Tak ada dosa disana, hanya ada tangisan dan rintihan. Tetapi ada Tuhan disana, aku merasakannya. Ku urungkan niatku untuk membuang dia yang ada dalam kandunganku, aku pulang.
Aku pulang menghadapi kenyataan bahwa aku adalah seorang pelacur, yang hampir saja menjadi pembunuh akibat keteledoranku, dan mengorbankan masa depan seorang anak yang Tuhan titipkan padaku. Aku melipat tangan dan sujud berdoa. Ada Tuhan disana.

Aah, hari ini aku Roy. Bosan aku menjadi Arumi, pelacur sialan! kenapa masih ingat Tuhan.
Ok! Siapa yang harus kubunuh saat ini??

Permintaan terakhir

“Suatu saat jika itu adalah pertemuan yang terakhir pergilah tanpa harus berpamitan dan mengatakan itu yang terakhir, agar aku tak menyesal ketika kau tak datang lagi dan takkan pernah berusaha menahanmu ketika kau harus pergi.”

Minggu, 16 September 2012

Kamu

“Permisi, slamat pagi..”
Aku melihatnya, sedetik..
“Pagi..”
Menunduk kembali..
“Eh, siang..”
Kembali meliriknya..
“Siang..”
“Kenapa Feb? Eh, kenalin admin yang baru.. Nia!”
Aku mengangkat sedikit wajahku dari antara tumpukan kertas..
“Nia…!”
“Feb..” 

Kamu buat aku tersipu buatku malu-malu
Saat bersamamu, saat ku sapa dirimu
Hari ini hanya aku dia dan beberapa yang lainnya.. Tiba-tiba hujan deras di kantor, koridor ini bocor dan entah mengapa banjir seperti ini dan mengapa aku harus terjebak dengannya.. Kemana yang lain?
“Aku mau ke depan..”
“Disini saja dulu, bocor gini.. banjir.. “
“Ke depan yuk..”
“Males ah, nanti basah..”
Aku kok merinding buluku, kok jadi gugup aku 
Saat bersamamu, saat kau senyum padaku 

“Nanti kirim fotonya aku sama Mba Nika ke bb aku ya..”

“BB aku lagi off honey..”

Apa-apaan ini. jantungku berdegup kencang. Aku harus bagaimana?

“Oh, yasudah..”

Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinyaSejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa 
Mungkin inilah rasanya cinta pada pandang pertama 
Senyuman manismu itu buat aku dag dig dug melulu 


“Muka kamu kenapa begitu?”
“Ini muka asli aku.. sinis.” Aku tertawa..
“Yang ketawa-ketawa itu?”
“Itu sih cuma yaaah… “
“Kalau begitu aku ogah ah bikin kamu ketawa-ketawa lagi..”
“Kenapa?”
“Abis ketawanya palsu, itu tadi kamu bilang..” 
Aku hanya lupa caranya tertawa.. Dan kamu mengembalikannya..


Oh Tuhan aku hanya ingin dia tahu 
Kau lucu kau sangat lucu



Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
Sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa 
Mungkin inilah rasanya cinta pada pandang pertama
Senyuman manismu itu buat aku 
dag dig dug melulu 

ddrrrtttt…
 
Hpku bergetar.. Feb: besok kamu masuk kerja? 
Nia: kenapa? 
Feb: Nanya aja.. hehe 
Nia: Masuk..sampai ketemu ya.. :)


Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
Sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa

Senin, 10 September 2012

Masih

   Masih ada harapan, ya, masih ada harapan untuk setiap perjuangan dalam bertahan hidup.

   " Jani.. bangun sayang.. Ada Tian disini, ada yang lain juga. "

   Ku hela nafas panjang, ini adalah hari kesebelas dalam bulan ini aku melihatnya terbaring lemah. Sekujur tubuhnya mulai kering, luka-lukanya tampak semakin parah, sangat berbeda dengan penampilannya saat aku mengenal dia. Ya, dia sakit. Janiku mengidap AIDS. Awalnya ia tampak baik-baik saja sampai akhirnya kekebalan tubuhnya menurun, cuaca dan segudang kegiatan membuatnya papah, lemah tak berdaya, tapi menurutku Jani tetap kuat. Jani masih bertahan, aku yakin masih ada harapan, setidaknya untuk dia melihat dunia hari esok, hari esok, dan sampai ia memilih untuk menyerah.
   Arfan Zamrani. Biasa ku panggil Anyi'. Jani adalah nama panggilan akrab dari temannya selama ini.
Jani adalah seorang ketua klub basket di kampusnya, ia juga aktif dalam bidang kemahasiswaan, ia juga salah satu pemain band lokal unggulan di kotaku, untuknya hidup adalah perjuangan. Kami bertemu saat aku berjalan sendiri sambil termenung, hampir saja aku tertabrak oleh sebuah mobil volvo lama yang sedang berbelok di depanku. Awalnya aku ketakutan melihatnya, badannya tinggi, dibandingkan tinggi badanku yang tak seberapa, pakaiannya robek sana-sini, namun ia sangat bersih. Dengan rambut yang diikat membentuk ekor kuda pendek ia mendekatiku.

   "Kau tak apa-apa? Apa aku melukaimu?" Sejenak ia melihat tubuhku sambil menghisap sebatang rokok hitam. "Hei, jawab pertanyaanku? Kau kaget ya? Haloo.."

   Aku masih saja terdiam. Aku ketakutan. Aku takut bertemu orang asing, apalagi yang baik seperti ini, biasanya semua orang yang hampir menabrakku akan memakiku dan meninggalkanku. Aku ketakutan akan penampilannya, namun hal ini bertolak belakang dengan apa yang aku lihat, mengapa dia begitu baik, mengapa dia menatapku seperti itu. Tak sadar aku terjatuh dipelukannya, gelap.

***

   "Mbak, sudah bangun? Masih pusing?"

   "Hmm.. maaf merepotkan."

   "Ah, saya yang minta maaf. Saya terlalu terburu-buru tadi sehingga tidak melihat jalan. Kalau begitu saya tinggal dulu ya. Semua administrasi sudah saya urus. Oia, maaf tadi saya oprek-oprek handphonenya, sebentar lagi bundamu pasti datang. Ah, cerewet ya? Hahaha.. saya pergi pamit dulu ya."

   Sekejap mata ia berlalu. Aku masih hafal bau tubuhnya, betapa berisi badannya, dan bagaimana ia mengangkat tubuhku dan membawa ku ke ruangan ini. Hanya samar-samar aku semakin terlelap dalam kelam.

   "Mbak, kakak nya kemana?" Tanya suster kepadaku.

   "Yang tadi? Bukan kakak saya, saya pun tak tahu dia siapa."

   "Wah, KTPnya tertinggal mbak, soalnya saya liat mas tadi buru-buru sekali."

   "Hmm..."

   "Kalau begitu saya titip sama Mbak saja KTPnya ya, mungkin nanti akan datang kesini lagi kalau urusannya sudah selesai."

   Arfan Zamrani. 25 tahun saat ini. Ia tinggal di perumahan seberang tempat tinggalku, sebuah perumahan tempat orang-orang yang berada, cukup berada. Aku memegang KTP itu sembari menunggu bunda datang menjemputku.
   Seminggu setelah kejadian itu aku mencari tempat tinggalnya, sebuah rumah putih yang cukup besar dengan sederet pohon palem menghiasi rumahnya, tak mewah namun dapat membuat orang nyaman tinggal di dalamnya.

   "Hai.." Aku menyapanya.

   "Siapa ya?" Ia terlihat mengerutkan keningnya, hari ini rambutnya tidak diikat seperti waktu itu.

   "Yang waktu di kompleks sebelah, hampir tertabrak, pingsan, dan..."

   "Ooohh.. ingat! Lalu, bagaimana bisa kesini? Mau kenalan?

   Glek! Terdiam aku.

   "Bercanda.." Ia tersenyum, manis. "Ada apa ya?"

   "Ehm.. ini, KTP, waktu itu kamu buru-buru.."

   Langsung ia sambar dari tanganku, sepertinya dia panik, lalu ia cepat-cepat memasukkan KTP nya ke dalam dompetnya. Entah mengapa dia seperti itu. Aku semakin penasaran, ku tatap dia dalam.

***

   Sebulan setelah kejadian itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Kebetulan hari ini adalah jadwal ku untuk pergi mendonorkan darah. Aku berangkat dengan baju pink kesukaanku, dengan motif polkadot hitam dan dipadupadankan dengan jeans aku sangat menyukainya. Aku sangat menanti hari ini, sebab hari ini adalah kesepuluh kalinya aku mendonorkan darah. Aku akan mendapatkan penghargaan. Begitulah yang tertulis di kartu PMIku.
   Hari ini rumah sakit tampak ramai. Aku melewati sekumpulan orang-orang dan berjalan menuju ruangan pendonor darah, ku lihat sekeliling, sesekali aku tersenyum membalas mereka yang tersenyum padaku. Tapi aku menghentikan pandanganku pada sesosok tubuh berbaju putih tipis dan celana jeans yang tak lagi bagus, ia menoleh dan tersenyum kepadaku.

   "Hai, ketemu lagi. Masih ingat aku?" Bagaimana mungkin aku lupa tatapan dan senyumannya itu. "Pembalap!!" Serunya, dan ia tertawa kecil.

   "Masih. Ngapain disini?"

   "Ngeband." Terdiam "Berobat lah.. hehe.. kok bengong? Kamu ngapain?"

   "Sakit apa? Aku mau donor darah. Kamu sudah pernah donor darah?"

   "Ooh. Biasa, flue. Tapi gak sembuh-sembuh." Dia tersenyum sembari mengelap hidungnya. "Sudah sering donor darah?"

   "Ini yang kesepuluh."

   "Waww! Hebat juga ya, gak takut sama suntik?"

   "Badan aku sudah kebal sama jarum."

   "Eh, tunggu sebentar disini ya.."

   Termenung aku menunggu dirinya disudut ruangan, ku dengar namanya dipanggil masuk ke ruangan tepat disebelah tempat aku berdiri. Tak lama dia keluar dan menghampiriku. Entah mengapa jantungku berdegup semakin kencang.

   "Nah, sekarang aku mau ikut kamu ke ruang donor darah ya? Aku pengen liat gimana sih orang-orang disana. Bolehkan?"

   "Hmm.." Aku mengangguk menjawab pertanyaannya singkat. Bukan karena aku masih ketakutan, namun aku bingung mengapa dia seperti orang yang sudah lama ku kenal, bahkan secepat ini dia akrab denganku. Kami berjalan bersama-sama menuju ruang pendonor darah.

   "Disini ngapain aja?" Tanyanya padaku.

   "Disini kamu nanti isi formulir ini dulu, lalu kamu tunggu dipanggil. Nanti, kalau sudah kamu pergi ke tempat mbak yang cantik itu, disana tensi darah kamu diukur dulu, kalau sudah pindah ke meja sebelahnya untuk tes darah, nanti dilihat apa darah kamu terlalu kental atau terlalu cair, layak atau gak masuk kantong darah, kalau belum tahu golongan darahmu apa nanti bisa dites disana. Kalau sudah kamu pindah ke tempat cuci tangan, kamu cuci tangan kamu sebelum ke tempat tidur pendonor. Nah, nanti disana baru deh darah kamu diambil."

   Ia diam. "Waah, baru kali ini aku lihat kamu ngomong lebih dari sepuluh kata, amazing." Aku hanya tersenyum malu-malu. "Lain kali temani aku ya?"

***

   Setelah hari itu kami bertukar pin smatphone. Dan semenjak hari itu pula aku tak ingin berpisah jauh-jauh dari telepon genggamku, takut-takut jika dia menghubungiku dan aku tak mendengarnya.

PING!

   "Hei, Mara, hari ini bisa temani aku ke rumah sakit? Kau janji kan menemaniku untuk donor darah?"

   Berkali-kali ku tatap layar telepon itu, aku lihat setiap kata yang ia kirimkan. Aku masih tak percaya ia ingat akan janjinya.

   "Bisa. Aku ingat. Mau jam berapa?"

   "Ehm, sehabis sarapan bagaimana? Sebelum makan siang?"

   "Boleh. Aku tunggu di depan kompleks rumahmu ya?"

   "Jangan, aku jemput saja ke rumahmu. Rumahmu disebelah mana belokan waktu itu?"

   "Tiga rumah ke depan dari belokan itu, ada bunga anggrek di depan rumahku, kalau sudah di depan beritahu aku."

   Ia tidak membalas lagi pesan singkat itu. Setengah jam kemudian ia membunyikan klakson, aku tersentak, pergi berpamitan pada bunda dan bergegas lari ke depan pintu. Aku pikir dia hanya membunyikan klakson dan tidak turun, betapa terkejut aku dia ada di depan pintu rumahku dan tersenyum.

   "Hai, mana bunda kamu?"

   "Bunda.. Bundaa.." Entah mengapa aku langsung memanggil bunda.

   "Halo tante, saya Jani yang waktu itu hampir nabrak Mara, saya mau izin ajak Mara ke rumah sakit dulu boleh tante? Saya mau donor darah."

   "Wah, silahkan Nak. Asal nanti pulangnya Mara aman ya?"

   "Sip tante. Cabut eh pergi dulu tante.. "

   Aku tersipu.

***

   Arfan Zamrani. Namanya terdengar jelas dari speaker tempat kami duduk.

   "Aku ya? Duh.. deg-degan nih.."

   "Ayo! Gak sakit kok."

   Dia menarik jemariku, aku berdiri disampingnya. "Jangan kemana-mana! Tetap disamping waktu aku diapa-apain sama mbak cantik itu ya!" Lalu kami berjalan menuju meja pemeriksaan.

   "Aaww.." Teriaknya.

   "Sakit?" Aku bertanya dengan nada sedikit cemas.

   "Bohongan kok, ini mah ternyata gak ada apa-apanya yah dibanding tindik di tubuh."

   "Mana?"

   "Apa? Tindikannya? Udah dilepas, gak boleh di kampus kalau jadi senat."

   Kemudian perawat menutup tabung-tabung cairan anti darah dan menunjukkan hasilnya pada Jani.

   "Golongan darah kamu B. Hemoglobinnya bagus. Bisa langsung cuci tangan dan duduk di kursi yang kosong ya." Kata perawat itu menyuruhnya bergegas mencuci tangan dan duduk dengan tenang.

***

   "Mbak.. ini darahnya ngapain dimasukin ke botol kecil lagi?" Tanya Jani penasaran pada perawat yang melayaninya.

   "Ini fungsinya untuk mengecek apa darahnya bermasalah atau tidak, apa ada sakit AIDS, sipilis, hepatitis atau sebagainya, nanti akan diberitahukan kalau terjadi apa-apa."

   Sedaritadi Jani masih saja banyak bertanya, ia bilang ini adalah salah satu pengalihan dari kesakitan dan ketakutannya. Tiba-tiba aku merasakan kebas pada tanganku, ku lihat kebawah ternyata sejak jarum dimasukkan ke dalam lengannya, Jani tak sedetikpun melepas jemariku. Pantas saja aku merasa tanganku sangat dingin.

***

   "Mara, terimakasih hari ini sudah menemaniku. Aku ketakutan sekali tadi. Untung ada kamu, terimakasih ya tangannya. " Ia tersenyum "Oia, kenapa kamu rajin sekali donor darah? Apa ada alasan khusus kenapa kau mau mendonorkan darahmu?"

   "Ehm.. agak konyol."

   "Ceritalah. Aku tidak akan menertawaimu." Ia memasang muka serius yang malah membuatku ingin tertawa.

   "Aku ingin seperti superhero. Aku ingin menjadi pahlawan tapi..."

   "HAHAHAHAHA...  ups.. okei lanjutkan."

   "Ah tidak."

   "Maaf, ayolah aku akan mendengarkannya."

   "Aku ingin menjadi pahlawan tapi aku tidak bisa, tubuhku lemah sejak kecil, aku bolak-balik masuk rumah sakit, aku tau aku tak sekuat itu. Sampai ketika aku sudah besar dan kondisiku mulai stabil aku membaca sebuah baliho dipinggir jalan yang bilang bahwa dengan mendonorkan darah kita bisa menjadi pahlawan. Aku percaya itu. Sejak saat itu aku memutuskan aku tidak ingin menyia-nyiakan hidupku, aku akan menjadi pahlawan bagi mereka yang membutuhkan darahku, aku memutuskan menjaga kesehatanku agar aku dapat mendonorkan darahku. Aku sendiri sedih kenapa hanya boleh tiga bulan sekali, sedangkan seperti yang kamu tau banyak sekali orang diluar sana yang membutuhkan darah dan mereka membayar dengan harga yang mahal."

   Seketika suasana di mobil yang pernah hampir menabrakku berubah sunyi. Serius ku lihat ia mendengarkan.

   "Mar, kenapa aku baru tau sekarang ya tentang hal itu. Kamu benar-benar pahlawan Mar."

   Kembali ia menggenggam tanganku diam-diam. Dan perjalan cinta kami pun dimulai. Kami belum lama menjalaninya, perlahan aku mulai mengenal dunia Anyi'. Kegiatan-kegiatannya, bandnya, lingkungan keluarganya, teman-temannya, bahkan musuh-musuh Anyi', hal-hal yang membuatnya marah, hal-hal yang dapat membuat pria besar ini menangis seperti anak kecil. Ya, salah satunya kematian adik laki-lakinya, akibat ulahnya. Ia sempat merasa depresi dan membenci hal-hal berbau orange, karena itu adalah warna kesukaan adiknya. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga tahun ini adalah tahun kedua kami.

   Aku bingung dengan apa yang terjadi, Jani terlihat pucat dan baru ku sadari penyakit flue nya sering sekali kambuh, bibirnya mengering, ia mulai mengupas kulit-kulit kering di bibirnya, aku selalu melarangnya untuk melakukan hal itu. Dan entah karena ia takut dengan jarum suntik yang seperti pipa itu, ia tak pernah lagi memintaku menemaninya untuk mendonorkan darahnya. Aku mulai kebingungan dengan emosinya yang tak stabil belakangan ini. Aku sering mendapatinya menangis diam-diam dalam pelukanku. Setiap aku bertanya ia hanya mengatakan bahwa harinya berat saat itu.
   Tak tahan melihat semua itu, aku menghubungi Tian, sahabat dekatnya di kampus. Aku bertanya mengenai Jani. Aku ingin tahu apa yang membuat malaikatku menjadi seperti ini.

   "Tian, temui aku di Starbucks sore ini ya." Sahutku di telefon. Cepat-cepat ku tutup sebelum ia berkata tidak atau tidak bisa atau apapun alasan yang akan dia katakan.

   Setelah hampir satu jam menunggu aku melihat Tian datang, dia tampak tak bersemangat, aku tau pasti ada sesuatu yang tidak baik, jantungku seperti tertusuk oleh pedang tajam, mengapa sesakit ini. Ku usap perlahan dadaku, aku berdoa.

   "Hai Mara, maaf aku harus ke bengkel dulu tadi. Jadi, ada apa dengan Jani?"

   "Aku yang seharusnya bertanya, ada apa dengan Jani?" Aku menahan air mata yang hampir saja tumpah, ku tegarkan diriku.

   "Jani baik-baik saja, ia masih aktif seperti biasanya. Hanya saja belakangan ini dia terlihat pucat."

   "Aku mohon Tian, jangan berbohong." Kali ini tak dapat ku tahan air mata ini, hatiku cemas, pikiranku kalut, tubuhku bergetar menunggu jawaban dari mulut Tian.

   "AIDS. Jani, Anyi'mu.. Dia terkena AIDS." Entah apa yang harus ku lakukan, ku lihat seluruh pengunjung memperhatikanku, wajahku penuh dengan air mata, suaraku tak lagi tertahan, aku tak tahan mendengar jawaban Tian. Aku menutup wajahku lekat dengan jemari kecilku yang selalu Anyi' genggam ketika ia ketakutan. "Ini bukan salahnya, Mar. Ia tidak tahu bagaimana memberitahumu. Ia seringkali mengeluh karena kesalahan masa lalunya. Kau ingat saat pertama kali kalian bertemu, kau hampir tertabrak. Saat itu aku memintanya untuk bergegas menuju kampus karena itu adalah hari peringatan kematian adiknya, adiknya cukup dikenal dikalangan kampus kami. Malam sebelumnya, Jani kalut, ia masih depresi mengingat kecerobohannya yang menghilangkan nyawa adiknya, ia mabuk, berpesta sampai pagi, dan ia melakukan hubungan sex dengan salah satu teman kami saat itu. Siapa yang sangka ia dijebak. Saat itu Jani benar-benar tak tahu apa yang terjadi, ternyata perempuan yang baru kami kenal setelah masa praktik itu sering sekali melakukan hal itu, dua bulan lalu dia meninggal. Ia tertular, Mar."

   Aku berdoa, Tuhan apa yang harus ku lakukan sekarang. Entah mengapa rasanya lemas tubuh ini, tak dapat berkata-kata aku. Aku bingung siapa yang harus ku salahkan, masa lalukah, Jani kah, atau teman-temannya yang buruk saat itu.

   "Mar, tolong jangan tinggalkan dia. Hidupnya terpuruk sekarang. Sejak beredar berita itu semua orang menjauhinya, semua kebanggaannya di kampus lenyap, Mar. Orangtuanya pun tak perduli padanya, semakin benci mereka, Mar. Sekarang Jani hidup bersamaku, walaupun orang tuanya masih mengirimkan uang padanya namun mereka tak mau melihat Jani lagi. Kau bisa merasakan betapa hancur hidupnya kan? Sekarang bagaimana hidupnya dan bagaimana masa depannya bersamamu kau yang tentukan, ia belum berani menceritakannya padamu."

   Pembicaraan kami rasanya selesai sampai disitu. Aku berlari mencari Anyi'ku dan ku temukan dia tersenyum sambil terbatuk-batuk mengelap darah yang mengalir deras dari bibirnya yang tergigit akibat batuk yang terlalu kencang.

***

   "Jani.. Bangun lo! Gue mau nagih janji lo! Lo bilang mau main band lagi ..."

   Ku lihat senyum kecil tersungging di bibir Anyi'. Ia tak dapat membuka lebar lagi matanya, sesekali ia dapat tersenyum. Bobot tubuhnya semakin menurun drastis.

   "Nyi' temen-temen yang lain berhasil dibujuk Tian datang menemuimu Nyi'. Anyi' senang?"

   Ia kembali tersenyum dan meneteskan air mata, ia mengatakan terimakasih dengan nada dan suara yang pelan, namun tangannya menggenggam tanganku, aku tahu ia tidak setegar itu.

   "Nyi' kita kapan donor darah lagi Nyi'? Masa cuma sekali Nyi'?"

   Hal itu selalu aku tanyakan padanya, selalu ku ungkit dan membuatnya tersenyum karena disitulah awal perasaannya timbul padaku.

   Sesaat setelah bersenda gurau bersama teman-teman kampusnya yang masih peduli padanya aku membasahi bibirnya dengan madu dan mengelap pinggiran bibirnya agar tidak meleleh kemana-mana madu itu. Kemudian aku memutuskan untuk keluar ruangan menghirup udara dan bergegas pergi mendoakan Anyi' di sebuah ruangan kecil yang khusus disediakan oleh rumah sakit, namun tanpa sengaja aku melihat Tian menangis diujung koridor rumah sakit, tak berani aku menyapanya aku hanya terdiam dan menangis. Anyi' tak sendiri, Anyi' tak sendiri kataku membatin.
   Baru saja aku kembali berdoa aku lihat pintu ruangan Anyi' terbuka, agak riuh tampaknya. Aku berlari, berlari sekencang mungkin, aku tak peduli apa yang menghalangi aku tak ingin Anyi' merasa dia sendiri.

   "Dok, tolong dia Dok! Tolong Dok!! Ambil saja darah saya semua.. bersihkan virus-virus di dalam tubuhnya! Dok! Lepaskan Anyi' dari sakit ini Dok! DOKTEEEEEEER!!! AMBIL SAJA SEMUA DARAH SAYA!! DOKTEEEEEEEEEERRRR!!"

   Entah bagaimana aku menangis aku sudah tak ingat, seketika gelap saat itu dan kurasakan aku terbaring lemah dipelukan bunda.

***

   "Tian, dimana?"

   "Kenapa, Mar?"

***

   Berlutut Tian disamping ranjang Anyi' kini ia menggenggam erat tangan Anyi'. Kembali aku memandang tubuh kekasihku, Jani.

   "Nyi'.. Kenapa waktu itu gak bilang kalau mbak suster itu telpon-telpon kamu? Nyi'.. kenapa waktu itu ga cerita sama Mara kalau Anyi' gak dibolehin jadi pahlawan, gak boleh lagi datang sebagai pendonor darah, padahal Anyi' kan mau jadi pahlawan kayak Mara. Nyi'.. jangan nangis ya.. Nyi', Mara akan tetap jadi pahlawan dan rajin ke PMI untuk donor darah, supaya orang-orang yang menderita sakit kayak Anyi' cepet ketahuan dan bisa ditolong kesehatannya. Anyi', Mara janji untuk jaga Anyi' sampai Anyi' sembuh. Sekarang Anyi' sudah sembuh, Mara senang. Usah kau lara sendiri sayang, Mara disini, Mara sayang Anyi'."

   Tubuhnya tak lagi bergerak setelah terahir kalinya ia menggenggam tanganku, ia ketakutan, namun tak sepatah kata 'takut' pernah keluar dari bibirnya, ia terus saja berjuang agar bisa tetap memegang tanganku.

   Dan sampai saat ini senyum itu masih tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, setiap memori masih ku jaga baik dalam ingatan, dan aku masih terus menyumbangkan darahku untuk sesama, karena aku tahu beberapa tetes darahku dapat membantu mereka yang memerlukan dan dapat membantu Anyi' yang lain mengetahui lebih cepat tentang virus mematikan itu, sehingga mereka bisa menjaga kesehatannya lebih ketat. Aku mencintaimu Nyi'. Masih ada harapan untuk mereka yang membutuhkan, masih ada harapan untuk mereka yang belum tahu apa itu AIDS, masih ada harapan untukku mewujudkan impianmu menjadi pahlawan seperti aku, titip salam untuk Adi, damai-damailah kalian disana. Aku, Tian, dan teman-teman lain masih disini untuk mencari pahlawan-pahlawan kecil lainnya.

"Sekali jumpa kau mengeluh kuatkah bertahan
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
Kudatang sahabat bagi jiwa
Saat batin merintih
Usah kau lara sendiri

Masih ada asa tersisa ...
Dekapkanlah tanganmu di atas bahuku
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
Di depan sana cahya kecil 'tuk memandu
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya ..."



(Inspired by @missbabbitt story and book, dan para pendonor darah sedunia.) 

Jumat, 07 September 2012

Pulang



-KLIK-

Pintu ruang kantor ku tutup. Pamit pada penjaga kantor, menggerai rambut, memakai helm dan menarik nafas panjang. Aah..  malam  ini aku lembur lagi dan lagi-lagi aku melewatkan membalas ucapan selamat tidur darinya. Maafkan aku sayang, aku harus berusaha sekeras ini untuk membuktikan bahwa aku mampu menikahimu, tinggal setahap lagi sayang, sabar ya.

"Inang sayang, maaf. Abang malam ini harus pulang malam lagi. Mimpi indah ya. Jangan ngambek lama-lama. *XOO"

Pagi berganti, hari ini berusaha aku membangunkannya lebih dulu untuk bersiap-siap bekerja. Jam segini biasanya dia pasti masih tidur, terbayang aku wajahnya ketika baru bangun. Aku bersyukur Tuhan menjaganya ketika aku tidak disampingnya, dia tak pernah sakit. Aku ingat benar bagaimana rengekannya kalau ia mulai meriang, kecapean, atau mulai pegal-pegal. Aku pasti menemaninya sampai dia tertidur. Namun aku pun ikut tertidur di sampingnya, lalu dia mengusap kepalaku dan diam-diam menyiapkan sarapan untukku, entah darimana kekuatannya. Aku tau karena sering masih berpura-pura tidur, agar aku bisa memerhatikan dia diam-diam. Ah, kenangan itu.

"Pagi Nang, sudah bangun? Hari ini pakai baju warna apa? Tetap kuat ya menghadapi bosmu yang aneh-aneh itu. Jangan lupa minum susu. Abang sayang kamu, Nang."

"Abaaaaaang. Aku sudah bangun. Aku sudah gak ngambek kok. Pakai baju warna hijau Bang, Abang sehat? Bang, ingat makan sayur! Aku sayang Abang! *XOXX"

Ah, hari ini dia membalas dengan lebih banyak ciuman, dia sudah tidak berlama-lama membiarkan mood jeleknya merusak harinya, semakin dewasa ya pacarku. Kalau saja aku bisa mengantarnya bekerja pagi ini. Tuhan menjagamu sayang.

Tak terasa matahari berlari begitu cepat, sudah lelah ia menerangi hari-hari di dunia ini. Hari ini sengaja aku bergegas meminta izin untuk pergi ke sebuah konser. Konser band kesukaannya, band yang berasal dari kota tempat aku mencari masa depanku, Jogja. Tanpa berganti baju, lalu melepas dasi hadiah ulang tahun dari wanita kesayanganku, aku berlari dan dengan kekuatan yang tersisa dalam tubuhku aku mengendarai motor menuju venue konser itu.

"Nang! Malam ini jangan tidur cepat. Aku mau nelfon kamu ya."

"Iya, bang. Miss you."

***

"...waktu hujan turun disudut gelap mataku, begitu derasnyaaa.."
"...caci maki saja diriku bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala."

Beberapa lagu favoritnya sudah dibawakan, aku sangat berharap Tuhan berpihak padaku. Aku memohon padaNya agar sebuah lagu yang jarang dibawakan mereka bisa dibawakan malam ini, kebetulan aku mengenal salah satu crew dari band ini. Ia adalah salah satu teman baikku di bangku SMA, aku harap ia dan bandnya mau bekerja sama membawakan lagu ini. 

Musik melantun pelan, sang vokalis memulai lagu dengan sebuah kata pengantar.
Sebuah lagu yang aku siapkan untuk wanita kesayanganku. Ia pernah mengatakan agar aku mendengarkan lagu ini, aku tidak terlalu tahu berapa jumlah album yang sudah mereka keluarkan, aku tidak terlalu tahu lagu-lagu andalan mereka, beberapa lagu yang ku tahu itu semua karena dia yang menyanyikannya, dia selalu memaksa agar aku memainkan gitar untuk lagu-lagunya. Ah, aku benar-benar merindukannya. Wanita tercantik yang pernah aku kenal, bukan kecantikan fisiknya, dia memiliki wajah yang manis, namun apa adanya dirinya yang membuatku tergila-gila padanya.

Ku genggam smartphone milikku, ku tekan angka satu, speed dial khusus untuk pacar terakhirku. Aku yakinkan dia yang terakir, kami baru setahun lebih menjalani hubungan ini namun aku yakin dia yang terakir untukku. Dia mengangkat suara.

"Halo bang .. Ribut banget. Abang dimana nih?"

"Nang, sayang.. Dengerin baik-baik ya, Abang gak bisa ulang lagi nih.. Abang nyanyiin ya.."

"Haah? Abang nyanyi? Haaa..??"

"Dengerin ya, Nang."

Saat-saat seperti ini
Pintu tlah terkunci
Lampu tlah mati
Ku ingin pulang
Tuk segera berjumpa 
Denganmu

Waktu-waktu seperti ini
Di dalam selimut
Harapkan mimpi
Bayangan pulang
Tuk segera berjumpa
Denganmu
ku ingin kau tahu
   ku bergetar merindukanmu
   hingga pagi menjelang

sesaat mata terpejam
tirai imaji terbuka
semakin ku terlelap
semakin jelas hangat senyuman
tak ingin terjaga
sampai aku pulang
sesaat mata terpejam
bintang-bintang menari indah
iringi langkahku
rangkai mimpi yang semakin dalam
tak ingin terjaga
sampai aku pulang

Ku dengar ia menangis, apa dia benar-benar menyukainya? Padahal itu bukan suaraku, itu suara vokalis kesukaannya, tapi aku yakin ia mengenal jelas suaranya. Aku harap dia menyukai kejutan yang ku berikan. Aku tak pernah berhasil memberikan kejutan untuknya, selalu saja gagal, namun begitu ia selalu menganggap semua kejutan yang kuberikan adalah kenangan yang berharga.

"Happy anniversary sayang, Anggiku, inangku. I LOVE YOU."

Aku capture sebuah foto dan ku kirim padanya. Secepat debaran hatiku  ia membalas pesanku.

"Aku jemput abang besok  di stasiun bang.  Aku sayang Abang. Au marsihol tu ho, Abang. Holong do rohangku tu ho."

*XOO= kiss, hug,hug.