Selasa, 13 Januari 2015

Lelaki dan Harapan

Seorang lelaki berdiri kaku menundukkan kepala, ragu untuk melangkah. Ia berpakaian rapi untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, nyatanya, ia cuma menutupi sebuah luka. Ia memutuskan untuk duduk di taman yang sepi dan berusaha menahan semua beban yang sedang menjajah pikirannya. Ia berkata-kata pada dirinya sendiri. Lalu, ada suara yang melingkupi tangisnya. Kedua suara itu berulang-ulang membicarakan lukanya, bersahutan.
image
“Mungkin, dia terlalu terluka untuk berdiri lagi.”

“Atau dia masih begitu ingat perih yang dirasakannya setiap malam kala menjaga cinta.”

“Atau ia masih sangat lelah untuk membenahi ruang hatinya yang kacau berantakan.”

“Walau nampak raganya, sebenarnya ia masih bersembunyi di dalam kelam. Gua yang hitam tanpa sedikit pun sinar cahaya.”

“Kau lihat? Ada harapan. Harapan itu menemani dirinya.”

“Padahal harapan itu mencintai dirinya.”

“Harapan itu berkata bahwa ia akan selalu bersamanya.”

“Harapan itu terus berharap. Lihat, diam-diam ia mendatangkan cinta.”

“Melalui celah kecil yang perlahan meluluhkan pekatnya darah akibat luka yang menutupi kepekaannya akan rasa. Pelan-pelan harapan berkata padanya untuk bangkit dan berlari.”

“Perlahan-lahan harapan membuatnya kembali tersenyum dan membuka diri.”

“Harapan itu berkata, tersenyumlah dan kau akan melalui hari. “

“Maafkanlah, agar kau bangkit lagi.”

“Jangan kau lupakan sakitnya, agar tak terulang lagi.”

“Berani lah untuk menebar lagi, maka bunga di musim semi akan menutupi retaknya hati.”

Dan lelaki itu masih berdiam diri.

I’ll Find Love Again

“My heart might be bruised, but it will recover and become capable of seeing beauty of life once more. It’s happened before, it will happen again, I’m sure. When someone leaves, it’s because someone else is about to arrive — I’ll find love again.” —      Paulo Coelho

Cukup

“Pada akhirnya, kini aku harus berkata ‘cukup’. Dan benar-benar berhenti. Tak ada demi siapa-siapa lagi, selain diri sendiri.”—   elsasyefira