Jumat, 19 April 2013

Ini Awalnya, Aku dan Kamu Akhirnya


"Permisi..Permisi.." hhhhhh..hhhh..hhh..

Berlari-lari aku mengejar waktu, aku terlambat 30 menit untuk hadir dalam acara itu. Kalau sampai aku terlambat bisa habis aku.

Acara hari ini adalah acara event pertama yang harus aku tangani. Aku harus bergegas sebelum dokter itu pergi. Aku harus menunjukkan performa terbaikku untuk mencapai target.
 
Hari ini dengan baju coklat, celana jeans ketat hitam, serta sepatu wedges dan tas coklat yang baru saja tiba dari Singapore tadi malam aku masih saja mengejar bus menuju tempat tujuanku. Untungnya, untungnya, bus dari halte transit menuju mall tujuanku ber-AC sehingga aku bisa mengelap sedikit keringat dan memoles bedak serta perona pipi andalanku. Tak ketinggalan pewarna bibir berwarna oranye yang selalu menjadi senjataku untuk menggaet klien.

Huup! Aku melompat keluar dari bus bergerbong ganda itu. Aku berjalan cepat-cepat sampai orang terheran-heran melihatku. Ya, Bagaimana tidak dengan wedges setinggi ini aku membalap sekian banyak orang, semua demi masa depanku.

Sampai sudah aku digedung mewah berisikan brand-brand ternama. Aku tak pernah belanja disini, belanja mata saja iya. Lantai 3, itu tujuanku lagi-lagi aku masih harus bertualang untuk mencari restoran tempat meeting ini akan berlangsung. Lantai 3, belok kiri, bersebelahan dengan ah, ini dia restorannya.

"Ehm.. meeting dengan bapak Michael dimana ya mbak?"

"Oh, private room. Mari saya antar,"

Betapa tidak berdecak kagum, restoran ini benar-benar kelas atas. Meja-mejanya, dekorasinya, sofanya pelayannya pun bagai bodyguard menjaga kenyamanan tamu-tamunya. Masih sepi, belum ada tamu yang datang selain ruangan yang sudah setengah tertutup. Gawat, ku rasa aku terlambat.

"Silahkan mbak,"

"Oh, terimakasih."

"Akhirnya datang. Sudah lengkap semua ya tamu kita? Halo mbak saya Erna dari kreatif acara ini."

Satu-persatu bersalaman bertukar kartu nama dan bersalaman menyebut nama. Tiba-tiba karena masih mengatur nafas karena telah berlari begitu jauh aku oleng. Sambil bersalaman aku terduduk di kursi dan menjadi bahan tertawaan.

"Santai saja mbak, belum mulai kok meetingnya.. Hahahaha", ujar Bapak Michael yang akan menjadi sumber pendanaan bagi rangkaian acara di luar kota nanti. Demi target masa depanku, walaupun sedikit malu dihadapan orang-orang saat itu. Benar saja, banyak yang berdandan lebih dari aku. Cantik dengan brand-brand ternama diseluruh tubuhnya. Aku lihat, aku total, mungkin sekitar 10 juta ada di tubuh mereka. Ciut nyaliku.

Aku duduk dikursi pilihanku. Baru kusadari apa yang membuat aku oleng dan terduduk. Ada sebuah tas dibawah kursi ini. Ah, apa ada orangnya? Sudahlah, aku sudah duduk aku tak mau pindah lagi. Pembahasan topik dimulai tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang yang tak sempat kulihat wajahnya. Aku kaget, dia masuk ke bawah kolong dekat kaki kiriku, mau apa lelaki ini?

DUUG!

Selamat!!! Aku bersorak dalam hati. Dia terhantuk meja. Kemudia dia buru-buru mengambil tas yang membuat aku tersandung, ternyata punya lelaki ini. Setelah mengambil tas dan smartphonenya yang ada dimejaku ia pergi mengambil kursi dan duduk berseberangan denganku. Dalam hati bertanya, dari kreatif mana lelaki ini? Apa dia sainganku juga? Ah sudahlah.

Rapat kecil ini dimulai. Bapak Michael mulai menjelaskan hal-hal yang harus kami persiapkan untuk beberapa eventnya. Siapa yang paling kreatif akan dibiayainya menuju negara yang terkenal dengan Ratunya,    Elisabeth. Satu persatu kami mengajukan pertanyaan tapi entah mengapa lelaki tadi hanya diam mengamati dan mengetik setiap pembicaraan kami. Aku semakin diliputi rasa penasaran, siapa sih dia?

Dia membenarkan posisi kacamatanya, huh, biar terlihat pintar begitu? Ku kibaskan rambut dan ku sebar senyumanku dihadapan mereka semua, pelan-pelan aku mulai bisa mengatur alur pembicaraan dan membuat pak Michael tertawa, dia memang terkenal dengan keramahannya pada siapapun. Setelah setengah jam berlangsung tiba-tiba Pak Michael menyebut namanya, siapa? David?

Siapapun namanya dia sangat mengganggu. Bolak-balik ke toilet, mengambil gambar, mengangkat lengannya dan mencium bagian 'iyuuh' itu. Kenapa sih laki-laki ini? Kembali Pak Michael menyebut namanya dan menanyakan pendapatnya, hah?

Sial! Ternyata orang ini asistennya.

Dua jam berlalu, sangat seru. Makan siang mulai disajikan, sayangnya siang itu Pak Michael ada janji dengan klien lain dan ini membuatnya tak dapat makan siang bersama kami. Beberapa kreatif lainnya pun beranjak pergi tersisa lima orang disana termasuk aku dan asistennya itu. Ia menggantikan Pak Michael menjamu kami. Berbincang-bincang sambil tertawa perlahan suasana diantara kami yang tadinya adalah pesaing dalam proyek ini pudar.

David. Itu namanya, perlahan dia mulai mengeluarkan banyolan-banyolannya yang aku balas dengan banyolanku. Aku tidak mau kalah. Perusahaan tempat aku bekerja memang terkenal dengan kerja keras dan kekreativitasannya. Namun, pesaingku pun terkenal dengan elegansinya. Yah, kekurangan dan kelebihan tak dapat dipisahkan. Perlahan tapi pasti, sedikit-sedikit kucuri pandang padanya. Senyumnya dan tawanya, sederet gigi putih itu , kacamatanya, gayanya. Dia tidak malu-malu. Kenapa berbanding terbalik dengan keadaan beberapa jam tadi?

Dia mulai meminta nomer telepon genggam kami semua yang tersisa saat itu. Suasana semakin hangat ketika kami bisa tertawa lepas. Kami menertawakan hasil kreativitas kami yang pernah kami berikan pada setiap event dan kegagalan-kegagalan konyolnya.

Tiba saat untuk berpisah. Jelas, karena kami harus kembali kedalam pekerjaan masing-masing. Katanya sih hujan diluar sana, aku bingung harus pulang naik apa.

Kembali kami bersalaman, aku pilih jadi yang terakhir agar bisa jadi yang terakhir memegang tangannya. Sial, senyumku dikalahkan oleh senyumnya. Aku terkait padanya.

"Makasih ya Mas," kataku sambil menebar senyum dan menghipnotisnya dengan mata indahku. Aku tau itu, kekuatan magis pada mataku.

Berjalan perlahan bersama 'pesaing'ku sambil bertukar email dan jejaring sosial lainnya. Tiba di depan pintu utama mall ini aku harus berpisah dengan mereka. Mereka masih mau belanja lagi katanya. Aku ingin, tapi kulupakan dulu semua merek ternama itu demi cita-cita dan masa depanku. Aku berlari lagi menuju halte, mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah untuk membayar tiket.

Tak lama bus yang akan membawaku kembali ke kantor datang. Aku masuk ke dalamnya dan duduk dengan tenang. Aku menarik nafas panjang untuk kemenangan siang ini. Aku memeriksa ponselku, gawat begitu banyak email masuk, pesan, dan bbm bergantian datang. Di ruangan tempat meeting tadi benar-benar private sampai-sampai tidak ada sinyal. Kubuka satu persatu pesan diponselku.

Sial! Sekali lagi aku menggerutu. Smartphoneku ini memang sudah waktunya diganti, selalu mati mendadak disaat penting dan genting.

Sesampainya aku di kantor mini ini, si putih, aku menyebut ponselku sudah 'pintar' kembali. Hah? Nomer asing, David kah?

"Saya sudah kirim pertanyaan dan bahan-bahannya tolong titip untuk Pak..." Tak ku baca lagi pesan itu, ternyata dari atasanku. Huh! Bye David. Dia tak juga muncul sampai aku pulang kembali ke rumah.

Aku lelah. Aku tidur.

Beeppp....

"Selamat malam. Sampai jumpa di meeting selanjutnya ya, Kirana! by: David Putra."

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ini awalnya, sekarang mengingatnya membuatku semakin merindukan kehadirannya yang seminggu lagi akan datang ke London. Kami harus menempuh jarak demi mengejar cita-cinta kami. Tiga bulan depan kami akan mengikat janji sehidup semati di gereja kecil dikota tempat kelahiran David. Ini awalnya, aku dan kamu akhirnya.


Senin, 15 April 2013

Aku Seekor Ikan


Senja diufuk barat mulai meremang perlahan. Turun dan tenggelam.

Aku, seekor ikan di malam-malam. Bercerita pada bintang. Aku menatap langit malam dan berbicara bagai sesenti jarak atara muka.

"Langit malam, bisakah aku terbang?"

Seekor ikan pun diam.

Diam-diam dalam hatinya, ia ingin terbang. Setiap senja, ia melihat kawanan burung terbang melintasi danau tempat ia tinggal. Cantik.

Keinginannya bermula saat salah satu dari kawanan burung itu menghampirinya, ia tersipu. Seekor burung mulai berkenalan dengannya, menceritakan bagaimana rasanya terbang diangkasa. Satu hari, dua hari, semakin sering seekor burung menemuinya.

Tanpa terasa dimulailah drama ingin terbang bersama. Ingin berenang bersama.

"Dalam kawananku, harus selalu berpasangan. Kenapa kau harus lah seekor ikan dan aku seekor burung?," kata burung itu sambil sesekali mencelupkan kepalanya untuk menggoda sang ikan.

Ikan yang mulai menyukai burung menjadi temannya berkeinginan untuk memiliki sayap serupa. Ia menyayangkan siripnya yang indah.

"Ini indah, tapi aku tak bisa terbang bersamanya," kata ikan sembari melambai pada burung yang harus kembali dalam kawanannya.

Burung adalah satu-satunya yang pernah ia temui dan dapat berbagi khayalan satu sama lain. Ikan lain hanya menganggapnya bodoh dan tidak masuk akal jika ingin terbang dan bersatu dengan burung.

"Mereka hidup diudara! Kita di air, tak semestinya kau berpikir sejauh itu! Apalagi ia telah memiliki pasangan untuk terbang. Mau ditaruh dimana kau? Paling-paling dalam mulutnya, lalu dimakan!"

Itulah seruan yang sering ia terima ketika ia mengatakan ingin terbang bersama burung.

Seekor ikan pun akhirnya menepi untuk menepati janjinya bertemu bersama burung. Berhari-hari burung terus menemani ikan dipinggir kolam.

"Aku rindu terbang," serunya. "Aku harus mencari makan melintasi kota, aku tinggal sebentar apa kau akan baik-baik saja?"

"Ya, aku janji. Kita bertemu lagi disini. Senja dan pinggir danau ini. Aku akan menunggumu," ucap seekor ikan pada burung.

Kepala mereka beradu, inilah satu-satunya cara menunjukkan pertautan hati. Walau terbatas namun tetap saja mereka saling bersama. Sesekali memang burung harus pergi dan menemani pasangannya yang terbang mencari makan. Ya, sekumpulan burung yang harus terbang berpasangan.

Walau terkadang ikan bersedih karena harus ditinggal pergi oleh seekor burung, ia tetap setia menantinya. Ketika senja datang, kerap kali ikan akan berenang dengan lincahnya. Ia terlalu semangat sampai kadang badannya tergores batang atau tanaman di dalam danau. Tapi, ia gembira. Dan seekor burung pun pasti akan berkata-kata lucu untuk menghibur ikan yang terluka.

Ikan semakin mencintainya. Mereka saling membahagiakan. Burung pun jatuh cinta.

"Bisakah kita bersama?" tanya burung pada ikan. "Aku bisa membawamu terbang jika kau mau,"

"Tapi aku bisa mati jika keluar dari kolam ini, mengapa tidak kau saja yang tinggal bersamaku di danau?"

"Aku rasa itu tidak mungkin, aku mungkin bisa bertahan beberapa saat tetapi tetap saja aku harus kembali pada kelompokku," burung kembali bersedih.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Langit mulai gelap, suara penghuni pinggir danau semakin membuat ikan yang sedang berfikir merasakan kegalauan.

Tiba-tiba dalam lamunannya, seekor katak datang menghampiri.

"Ada apa ikan?"

"Aku ingin terbang,"

Lalu percakapan mereka pun menemukan solusi. Katak menyampaikan pada ikan tentang keajaiban embun pagi setelah hujan. Hujan selalu menyisakan keajaiban yang dibawa embun. Ikan tidak pernah tahu akan hal itu. Katak berkata padanya jika ia meminta permintaan apapun akan terkabul, tetapi tetap saja, semua permintaan akan ada risikonya. Yaitu luka.

Ikan yang melihat secercah harap agar bisa bersama burung pun tak lagi muram. Ia pulang dan tidur, menanti datangnya pagi untuk berbicara pada embun akan permintaannya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi-pagi benar ikan terjaga. Berenang secepat mungkin berlomba dengan datangnya mentari. Pagi ini tidak seperti biasanya. Ia memang selalu menyapa tuan matahari, tapi kali ini ia datang untuk menemui ibu embun pagi hari.

"Embun... Embun..!," serunya kegirangan, "Aku ingin terbang!"

Embun yang masih sibuk membantu dedauan pagi itu tersentak kaget. Ya, setiap pagi, selain cahaya matahari, embun pun sibuk membangunkan dan menyegarkan dedaunan agar manusia dapat menghirup udara segar.

"Untuk terbang tak hanya butuh sayap, juga persediaan oksigen. Sistim pernafasan kalian berbeda," jelas embun sembari menghampiri ikan yang tersenyum lebar pagi itu.

Warna oranye seekor ikan mulai terpancar kala sinar matahari terpantul melalui tubuh mungilnya. Ikan oranye mulai bertanya mengenai terbang, karena ia tahu embun jatuh dari langit dengan menggunakan sayap khayalan. Ya, sayap khayalan yang abadi dan membawa mereka turun ke bumi secara perlahan. Tidak tiba-tiba lalu mati karena terjatuh. Tak banyak yang tahu kalau embun bisa terbang.

Kemudian embun menjelaskan satu-satu apa yang harus dilakukan ikan pada saat ia terbang, namun tetap saja embun tak yakin ikan mau menerima konsekuensi dari semuanya. Perlahan siripnya yang berfungsi sebagai sayap akan robek. Semakin lama ia terbang semakin robek siripnya jika ia kembali ke danau.

Ikan mulai ragu. Tapi ia menyanggupinya.

Selepas itu ikan kegirangan dengan mengepak-ngepakkan siripnya bagai burung ia pulang ke rumahnya. Diam-diam, banyak ikan dalam danau itu yang tak setuju akan permainannya. Ia dianggap gila dan menentang kenyataan. Namun ikan tahu apa yang ia perbuat. Ini karena cintanya pada senja dan burung putih.

Sore datang lagi, ikan berenang ke tepi danau. Tepat disana terlihat bayangan putih menantinya dengan kepak sayap melebar. Ya, cintanya datang. Burung putih itu membawakan cerita dan lelucon baru untuk ikan. Ia juga berbagi kesedihannya. Ikan tak mau kalah dan menceritakan perjuangannya.

"Benarkah kau akan terbang bersamaku?" tanya burung bahagia.

"Ya, kita akan terbang bersama," ikan menimpali.

"Aku senang, maaf aku tak bisa menemanimu beberapa hari ini di tepi danau. Aku menghadapi banyak masalah bersama pasangan terbangku. Mereka menyuruhku untuk membuatnya bertelur secepatnya, padahal aku masih ingin bersamamu. Tapi mereka takut musim bertelur akan lewat, sehingga haru menunggu 2 musim lagi,"

Ikan terdiam. Bisakah posisi itu ia gantikan? Mengapa ia tak bisa terbang? Mengapa ia harus bertelur didalam air dan burung putih harus bertelur diatas sarang? Mengapa ia berwarna oranye dan burung putih harus berwarna putih? Tak bisakah mereka bersama-sama?

Seringnya burung putih membawakan kebahagiaan pada ikan oranye selalu membuatnya terkesima. Burung putih yang selalu menyelamatkannya dari gangguan nyamuk-nyamuk kala malam dengan kibasan sayapnya. Burung putih yang selalu menari dan berdendang kala malam menghantuinya. Burung putih lah yang menghampirinya kala ia terdiam di tepi danau tanpa ada yang tahu. Burung putih itulah yang mengatakan ia pun mencintai senja dan memberanikan kepalanya tercelup-celup ke air hanya untuk memberikan kasih sayang pada ikan. Menahan nafas memang, namun ia sayang. Diam-diam pergi dari kawanan dan harus dimarahi ketika ketahuan terbang sendiri.

Bagi ikan oranye semua itu berarti. Ia tak pernah disayangi sampai seperti itu. Ia tak pernah dimengerti sampai tingkat khayalan tertinggi selain bersamanya. Ia tak pernah tertawa lepas sebelum ia bertemu burung putih, tapi mengapa ia haruslah seekor burung putih.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi datang lagi. Ikan oranye dan burung putih sudah berdiri di tepi danau bersama menuggu embun yang akan memberikan magis pada cinta mereka.

Embun datang. Jantung kedua makhluk ciptaan Tuhan ini semakin berdegup kencang. Mereka dapat bersama. Itu yang mereka inginkan. Embun datang membawa sebuah kantong kecil berisi embun murni yang dapat membuat sirip ikan menjadi sayap dan ia dapat terbang serta bernafas di darat.

"Sekali lagi, terlalu banyak. Apakah kau yakin?" tanya embun padanya.

"Ya, aku yakin. Aku ingin melihat dunia bersamanya."

Burung putih tahu risiko apa yang akan ditanggung oleh ikan oranye jika melakukan hal itu. Namun ia diam, ia ingin juga membahagiakan ikan dan menikmati hari bersamanya, padahal ini salah.

Wuzz..

Seketika ikan menutup mata karena silau akan cahaya dari dalam kantung tersebut. Embun murni itu tidak dapat bekerja sendiri, ia memerlukan ekstrak sinar matahari untuk membuatnya bertahan, berarti tak bisa ikan terbang melayang jika malam datang.

"Senja akan memisahkan kalian," kata embun pada mereka setelah menebarkan embun murnipada ikan oranye.

Tiba-tiba saja ikan oranye terangkat dari dalam danau. Burung putih menangkapnya lalu memeluknya erat. Inilah pertautan antar sayap dan sirip mereka pertama kali setelah sekian lama. Tak pernah ikan oranye menyangka ia dapat memeluk tubuh hangat burung putih. Dan tak pernah terbayangkan oleh burung putih kalau ikan oranye akan menemaninya terbang. Ini diam-diam menjadi doanya setiap malam pada Sang Maha.

Hari itu, khusus untuk hari itu, burung putih pergi meninggalkan kawanannya. Ia ingin diam berdua bersama kesayangannya. Pertama-tama burung putih menggendong ikan oranye karena ikan kecil itu terlihat ketakutan. Baru kali ini ia pergi jauh meninggalkan teman-temannya di danau sana. Untuk pertama kalinya ia melihat danau, dunianya, begitu cantik dari ketinggian. Ia melihat luasnya ladang hijau, ia melihat rumah-rumah tua hunian manusia yang membuatnya berdecak kagum.

Ia memeluk erat-erat leher burung putih. Ia takut jatuh karena masih belum mahir benar menggunakan siripnya sebagai sayap.

"Bagaimana? Indah kan? Ayo coba kepakkan siripmu.. " ajak burung putih pada ikan yang sedari tadi hanya diam dan menikmati keindahan.

Perlahan tapi pasti burung putih itu melepaskan ikan untuk belajar terbang bersamanya. Mereka mengitari kota siang itu. Berjam-jam terbang membuat ikan oranye kelelahan, mereka berhenti disebuah pohon yang menghadap ke tengah kota.

"Kota ini semakin ramai, ikan. Dulu tidak seperti ini keadaannya. Aku seringkali memperhatikan perubahan demi perubahan dari kota ini, semakin jahat saja. Dulu aku pernah terbawa ke dalamnya, namun aku segera pergi dan tak mau seperti itu lagi," cerita burung putih sembari menyelimuti ikan dengan sayapnya.

"Lalu, bagaimana manusia menjalani hari dengan setiap kejahatan disekitar mereka?" tanya ikan sederhana pada burung putih.

"Mereka berdoa. Itu yang sering ku lihat, banyak cara mereka berdoa. Bersujud, bernyanyi, bahkan menangis. Sama seperti ketika aku meminta pada Sang Maha akan kebersamaanku denganmu. Ikan... " burung putih sejenak menahan pernyataannya.

"Ya? Ada apa?" ikan melihat ke arah mata burung putih itu.

"Kamu spesial, jangan pernah bersedih karena tak dapat terbang bersamaku. Kita bisa saling bertemu, lewat doa pada Sang Maha. Aku akan terus ada disampingmu. Demi Sang Maha aku mencintaimu," ucap burung putih singkat dan kemudian mereka saling menautkan kepala.

Ya. Hanya seperti itu caranya. Doa seperti manusia dapat membuat mereka masih saling bercinta.

Tak terasa waktu tertelan juga oleh daya tarik bumi yang membuatnya menjadi malam, ikan mulai lemas. Segera burung membawa ikan oranye kembali ke danau.

"Selamat tinggal. Besok aku tak dapat mengunjungimu aku harus pergi jauh bersama kawananku dan pasanganku, sehat-sehat. Tunggu aku," pesa burung selalu setiap kali mereka akan berpisah.

Ikan oranye hanya tersenyum bahagia. Ia sangat mencintai senja sore itu kala mereka duduk berdua diatas pohon bercerita tentang kehidupan dunia. Namun, ketika cahaya redup, redup pula kebahagiaan mereka, mereka harus berpisah kembali.

Ketika ia kembali ke danau, ia merasakan perih pada siripnya. Seperti terbakar. Perlahan ia melihat sedikit demi sedikit siripnya seperti tersisir oleh cahaya bulan. Sakit, perih, ikan menangis. Tetapi segera sesaat perih itu tak terasa lagi. Namun ia menyayangkan siripnya yang terluka.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah sekian lama mereka berpetualang dengan cinta berbeda dunia, tibalah kekacauan dalam hati dan pikiran keduanya.

Mendadak bumi bekerjasama dengan Sang Maha, kenyataan harus ditegakkan. Satu hari, dua hari, seminggu sudah burung tak datang lagi padanya. Ia cemas tak dapat melihat burung putih melayang-layang diatas danaunya. Perasaannya mulai terganggu kala ia menghitung waktu bahwa itu adalah musim burung-burung putih bertelur. Ia merasakan kesesakan dalam hatinya. Ia memutuskan untuk menemui embun pagi kembali, ia sangat ingin bertemu dengan burung putih.

Malam itu ikan oranye tidak pulang ke huniannya. Ia tidak pulang kebawah teratai lebar tempat ia menikmati hari-harinya. Perasaannya dirundung rindu. Akhirnya, ketika semua penghuni danau tertidur, ia memutuskan untuk pergi ketepi danau menunggu pagi datang. Ia tak mau membuang waktunya untuk bertemu embun dan segera terbang mencari burung putih.

Tak lama berselang, pagi datang seakan membantu ikan oranye untuk segera bertemu embun. Terkantuk-kantuk ikan kecil yang lincah itu menyambangi embun disebuah pohon.

"Aku ingin terbang lagi," rengeknya.

Embun yang sedang sibuk karena kesiangan untuk membantu menyegarkan dunia pun berhenti sejenak dan melotot pada ikan oranye itu. Ia tak habis pikir kenapa ikan oranye ini masih saja keras kepala, itu hanya akan melukai dirinya sendiri. Ia tak suka melihat ikan kecil itu terluka. Untuk penyembuhan sebelumnya saja masih belum sempurna.

"Apa kau yakin? Ini menyakitkan sayang." ucap embun lembut namun tegas.

"Ya, aku cemas bagaimana keadaannya sekarang."

Tak lama, cinta yang ditunggu datang juga, burung putih datang menyambangi danau ikan oranye. Ikan oranye pun tersentak, Antara senang, kesal, cemas, rindu. Semua menyatu. Ia merengut.

"Maaf," ujar burung putih membujuknya.

"Mengapa menghilang? Kamu tidak tahu apa yang aku pikirkan. Sudah tahu aku cemas, aku rindu, aku kesal!" ikan oranye mulai berkaca-kaca.

Dipeluknya erat kepala burung putih yang menunduk menuju kepalanya di air. Ia mulai menangis dalam pelukannya. Burung pun perlahan menjelaskan bahwa mereka sebaiknya tidak bersama lagi. Ini semua ia lakukan karena ia menyayangi ikan oranye, ia tak mau ikan kecil itu terus terluka. Burung pun menyadari ia tidak dapat terus menerus menemui ikan oranye dipinggir danau. Kenyataan menghantamnya saat ia terbang.

"Aku tahu ini sakit, tapi aku lebih sakit melihat siripmu terluka hanya untuk bersamaku, kita hidup di dua dunia berbeda. Aku pun harus terbang melintasi kota-kota bersama pasangan dan kelompokku. Bagaimana aku bisa melihat kau terus terluka jika menungguku? Aku memang tak pantas, aku pun sakit, tapi akan lebih sakit jika aku memaksakan ini semua. Kau tahu, aku menyayangimu. Aku mau kau bahagia, tapi mungkin bukan denganku, aku burung kau ikan, akan terus begini sakitnya jika kita tak saling meninggalkan," panjang lebar burung putih itu menjelaskan semua isi hatinya.

Selama ini diam-diam burung putih mengetahui risiko apa yang akan diterima ikan oranye jika terus menerus ia memakai embun murni untuk terbang bersamanya. Namun, ia pun tak dapat menyelam ke dalam air demi bersama ikan oranye. Tak ada yang bisa ia lakukan. Ya, dua dunia berbeda, kenyataan kedua ciptaan Tuhan ini tak diciptakan untuk hidup dalam habitat yang sama.

Ikan oranye perlahan menepis sayap burung putih. Campur aduk hatinya. Meletup-letup rasanya. Matanya semakin basah di dalam danau itu. Ia masih tidak percaya apa yang dikatakan oleh burung putih. Antara bahagia hatinya karena rasa sayang burung putih itu padanya, namun bagaimana bisa dia meninggalkan cintanya pada burung putih itu.

Teringat kembali dia akan kenyataan, ya, inilah kenyataan. Ia adalah seekor ikan oranye didalam sebuah danau, sedangkan yang ia cinta dan mencintainya adalah sekor burung yang hidup berpasang-pasangan dalam sebuah kelompok tinggi di angkasa. Ia hidup dibawah sedangkan burung putih itu tak dapat menyelam. Jika ia menemaninya terbang, ia yang akan mati karena tak mampu hidup diatas. Cara bernafas mereka berbeda. Cara makan dan cara hidup mereka berbeda, tak bisa disamakan apalagi disatukan. Inilah kemenangan kenyataan atas kedua cinta makhluk ciptaan Tuhan itu.

Melawan kenyataan namanya jika ikan pergi ke alam burung putih itu, ia akan mati. Jika burung itu meninggalkan kawanannya dan pergi bersama ikan itu, burung putih pun akan mati. Mereka saling menyayangi, mereka saling mencintai. Namun ada konsekuensi di dalam cinta mereka. Ikan terus mencintai burung putih itu, dalam satu periode. Demikian juga burung putih melakukan hal yang sama, walau kini ia harus pergi meninggalkan ikan dan hidup bersama pasangan dan kawanannya, terbang.

Berpisah. Inilah yang yang harus mereka hadapi. Ikan oranye perlahan berenang menjauh. Tak dihiraukannya apa yang burung putih katakan padanya. Bukan, bukan ia membenci burung putih itu, namun tersentak hatinya. Bingung adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan ikan oranye saat itu, beberapa kali sempat memang menyadari kenyataan memang tak bisa dilawan, tetapi rasa cinta keduanya masih sangat kuat mengikat.

Ikan oranye menangis. Sudah, ia tak dapat berfikir mengenai cinta lagi. Yang ia tahu, kenyataan mengalahkan segalanya. Siapa yang akan dipersalahkan?

Siapa yang mau dijadikan kambing hitam dalam hubungan keduanya. Salah cintanya? Salah burung putih karena pikiran bahwa ia tak mencintai ikan oranye lagi? Salah kenyataan menciptakan mereka berbeda? Atau siapa, apa, dan mengapa harus ada yang dipersalahkan? Mengapa harus banyak yang disakiti? Diri sendiri sudah cukup sadar diri. Ini hanya akan berakhir menyakitkan untuk keduanya jika dilanjutkan.

Ikan menghilang ke dalam sudut gelap danau. Burung putih masih terdiam dipinggir kolam. Ikan kecil bersembunyi dibalik tanaman dalam danau. Ia menjerit, tetapi hanya buih-buih yang melayang ke atas. Pecah satu-satu tanpa suara ke udara.

Perpisahan itu terus disesali burung putih. terpatri dalam hatinya untuk terbang berputar 3 kali setiap kali melintasi danau itu sebagai tanda dia masih mencintai ikan oranye itu. Namun, mereka tak bisa bersatu.

Ia akan terus berputar 3 kali diatas danau itu. Entah sampai kapan ia mampu melakukannya. Ikan oranye pun berjanji dalam hati, tanpa diminta, buih-buih akan mengirimkan doa yang diucap dari dalam hati dan danau, pada udara, agar ketika pecah gelembung buih itu menyatu dia dengan udara yang selalu dihirup oleh burung putih.

Berdamailah dengan kenyataan. Mungkin ini lebih baik daripada tenggelam karena luka pada sayap khayalan. Aku seekor ikan.

Selasa, 02 April 2013

Pulang

Alkisah disebuah meja kerja kantor milik Ia yang sisi kanan kirinya dibatasi oleh sekat pembatas setinggi 25 sentimeter dengan ketebalan 8 sentimeter terdapat percakapan antara tas, handphone, kabel LAN, laptop, gelas, isi kotak pensil, telepon, dan kotak susu kosong yang sudah habis diteguk oleh Ia.

Tentu saja, saat itu pemilik meja itu sedang meninggalkan mejanya. Pembicaraan kehidupan meja kantor ini dimulai dari tas yang memiliki isi begitu banyak hal. Ia mengungkapkan keluhannya pada laptop.

"Laptop, tahukah kamu aku iri padamu?" celetuknya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" ujar Laptop tak mengerti.

"Iya, kau mendapatkan seluruh perhatian Ia saat di meja kantor, sedangkan aku? Walau aku salah satu barang favorit Ia tetap saja aku tak mendapatkan atensi seutuhnya," keluh tas hitam favorit pemilik meja tersebut.

"Lalu, bagaimana dengannya?" kata Laptop menunjuk handphone, "Ia selalu dibawa, disayang, diperhatikan. Kalau aku mau iri, aku lebih iri padanya, lihat satu nama muncul kembali dilayar Handphone. Dia lagi. Biasanya kalau namanya muncul, Ia akan tersenyum lebar. Tetapi mengapa kemarin Ia menangis?" demikian panjang cerita Laptop yang bagai menghipnotis seluruh barang diatas meja mengerumuni Handphone.

Handphone perlahan menunjukkan isi pesannya. "Sebentar lagi pulang,"

Percakapan sebelum pulang selalu membuat Ia bersedih. Laptop, Handphone, dan Tas berfikir entah apa yang ada dalam pikiran manusia ini. Setiap kali muncul kata "i'm home," ia selalu cemberut dan bersedih. Sama seperti ketika malam kemarin hujan, bus sudah 3 kali melewati halte tempat Ia menjejakkan langkah terakhir meninggalkan kebahagiaannya, saat ini Ia sedih. Ia tidak ingin berpisah nampaknya.

"Saat itu aku diremas, dia seperti ketakutan dan tidak rela meninggalkan tempat berteduh yang sesak akan manusia itu," cerita Tas pada Laptop dan kawan-kawan lainnya.

"Ya, Ia juga menatapku berulang-ulang tanpa menekan tombol di tubuhku, hanya berlinang air mata. Namun, beberapa jam kemudian dia bahagia sampai mencium tubuhku lekat-lekat, merekam suara yang menanyakan apakah nama orang ini sudah berada dimana, sepertinya Ia cemas tapi bahagia." tambah Handphone menjelaskan kejadiannya.

"Ya, beberapa hari ini aku ditinggalkan Ia di bawah meja kantor ini, Ia tidak menceritakan apa yang terjadi pada hati dan pikirannya saat itu," Laptop menyambut penjelasan panjang lebar dari Handphone.

Selalu saja begini ketika Ia kacau. Tak pernah Ia meninggalkan Handphone. Tanpa Ia sadar semua barang-barang miliknya sangat menyayangi Ia dan memperhatikan kehidupan Ia.

"Ibuku pernah bercerita tentang manusia seperti dirinya sebelum aku dimiliki Ia, namanya Kungkung Kulanting kata ibuku," kata Gelas.

Gelas yang sudah tinggal lama di kantor ini menceritakan kejadian yang sama seperti saat ia melihat Ia saat ini.

"Saat itu namanya Retno, selalu muncul di layar Handphone dan Laptop miliknya. Aku tahu karena posisiku selalu ia hadapkan pada mereka berdua. Terakhir Kungkung Kulanting hanya meninggalkan meja dengan reaksi yang sama seperti sebelum Ia meninggalkan meja ini," tutur Gelas hijau tinggi bergagang hitam.

"Lalu?" kata benda yang lain bertanya antusias.

PRAANG

Dan pertanyaan itu tak pernah terjawab sampai kapanpun karena gelas tiba-tiba saja terjatuh dan pecah. Ia yang buru-buru menyenggol gelas dan menarik tas serta laptop meninggalkan meja kecil itu untuk mengejar bus kota sambil melihat nama yang selalu muncul di layar tubuh Handphone. Serentak mereka mengatakan "Ia bersedih (lagi), sudah saatnya pulang."

Dan tak lama pesan yang sama setiap pukul 7 malam muncul dilayar Handphone, "I'm home,".

Senin, 01 April 2013

Aku Gila

Hujan tiba-tiba mengantarkanku memasuki sebuah toko roti yang sangat ku kenal. Setiap Jumat sore aku datang kesana sekedar melihat dan merasakan piano sore kala itu, menanti senja yang menghadap lurus pada wajahku, dan oranye akan membuat aku lebih nyaman saat itu.

Hari ini bukan Jumat, tetapi aku harus berteduh karena hujan. Aku memutuskan untuk duduk di kursi piano. Hujan kala itu menambah kenikmatan sepotong roti dan soklat hangat yang ku pesan. Siang menuju sore, sore berkejaran berganti senja.

Dentingan piano ku mainkan. Terdiam sejenak, lalu aku menekan deretan tuts hitam putih tersebut. Aku bernyanyi bagai bicara pada hujan. Ya, siang ini tak secerah biasanya. Maret, satu bulan penuh kedamaian akan tatapannya. Aku memutuskan berbagi cerita pada hujan siang melalui nada yang ku mainkan, seadanya karena aku memang tidak lihai bermain salah satu alat musik yang penuh romansa ini.

"Aku rasa, aku gila," kataku. Ku rasa aku terdiagnosa schizophrenia sejak pertama melihatmu. Namun, itu sebenar-benarnya bukan pertemuan kita yang pertama. Aku terjangkit penyakit ini sejak masih bayi. Aku rasa aku mulai mengalami gejala retinoblastom sejak melihat mu saat itu, namun entah kenapa baru sekarang butanya. Aku buta akan segala hal, terhipnotis akan senyumanmu. Keramahanmu. Pemikiranmu.

Perlahan denting piano mulai mencapai klimaks seperti saat aku bersalaman denganmu. Semua hormon mengalir deras dalam tubuh ini. Belum, belum terbayang olehku keindahan tubuhmu sampai aku merasakan orgasme. Aku masih sampai pada titik kebahagiaan penghilang stres. Ya, kau salah satu antidepresan terbaik untukku selain coklat hangat. 

Boleh aku mengenalmu lebih lagi? Aku adalah penderita schizophrenia seketika sejak saat itu, Januari kita bertemu. Saat dimana kau mengalunkan suara dan dawai gitar, yang sebenarnya sudah ku ketahui kemampuanmu sejak aku kecil. Kau malaikat, susah dimengerti jalan pikiranmu oleh manusia biasa. Ya, ku sebut kau malaikat. Dan semakin kecil harapanku untuk melihat wujud aslimu karena jarak yang terlalu jauh. Kasta kah?

Sebenar-benarnya aku tidak sakit. Aku tidak gila. Namun, melihat namamu muncul saja dimana-mana aku epilepsi, mendadak kejang hingga berjingkrak-jingkrak sendiri. Sel-sel otakku semakin berpacu untuk membentuk jaringan dan menstimulasi mataku mengalami dilatasi. Aku tertarik padamu.

Hujan, aku tersenyum sendiri saat itu. 

Perlahan dentingan pianoku berubah menjadi minor, crescendo,  decrescendo. Seperti yang ku bilang tadi, ia manusia entah setengah malaikat. Membuatku ketakutan. Dan lagi-lagi berusaha menghindar untuk tidak tertarik pada sosok ini, aku takut. Aku ketakutan, dia lawan jenisku. Laki-laki sebutannya. Tubuh tegap berbahu lebih bidang dariku. Sosok yang kutakuti sepanjang hidupku. Ya, hujan, kau tahu bagaimana aku mengalami kegagalan-kegagalan dalam berhubungan dengan lelaki. Bukan aku tidak setia, atau aku tidak sempurna. Aku memuja diriku bagai dewi, aku miliki magis untuk terus membawa hubungan pada satu kebahagiaan, tapi aku naif. 

Naif sampai akhirnya aku kapok mengenal laki-laki. Yang katanya dapat melindungi, yang katanya cinta sampai mati, yang katanya mau berjuang bersama, yang katanya.. banyak kata-katanya. 

Sudah bukan waktunya untuk bermain-main dengan khayalan pernikahan. Aku ingin mewujudkannya, dengan dia. Tapi dia jauh. Bahkan kami tak saling mengenal, ada satu ketakutan dalam hatiku untuk mempercayakan dia bisa menjadi milikku. Tapi malaikat itu punya potensi ini. Jika diberi stimulus, aku yakin dia akan mengerti. Tinggal bagaimana Tuhan bekerja saja, aku selalu memohonnya lewat doa walau merasakan ketidaklayakan.

Tapi sepertinya, sejauh ini ia hanya menganggap permintaanku adalah sebuah permainan anak remaja yang baru mengalami masa-masa pubertas. Hei, aku hampir seperempat abad sesaat lagi. Masihkah aku terlihat seperti remaja saat ini? Sudah ku lewati fase itu. Hanya saja begitu mendengar namamu dan melihat dirimu, penyakit gilaku kambuh lagi. Diam, mengatur kata, tersenyum sendiri, imajinasi tentang pernikahan mucul lagi di kepalaku. Aku gila, sudah ku akui itu. Aku menyerah.

Percayalah, itu bukan aku yang sebenarnya. 

Hanya saja aku tidak bisa menahan kegelian pada perutku tiap membayangkanmu. Kupu-kupu rasanya berlomba mengepakkan sayapnya dan menggerak-gerakkan kakinya disana. Kemudian aku kembali memberikan gestur repetitif pada jemariku karena cemas akan apa yang kau pikirkan tentang aku.

Aku naikkan ritme musik piano yang ku mainkan. 

Sedikit menghilangkan kegalauan akan sesuatu yang tak pasti. Ya, cinta masa lalu yang sudah sedemikian indahnya namun tak jua bisa bertemu dipelaminan. Dan aku menaruh harapan yang besar padamu, akan hidupku. Tetapi, terbesit kembali bahwa kau berada di setengah langit biru, dan aku hanyalah ikan yang berusaha melompat memasuki duniamu. Berusaha terbang dengan sirip hingga terluka.

Haruskah aku berhenti mencoba? Hujan, bagaimana?

Perlahan hangat mentari datang lagi. Hujan pun tak menjawab. "Lagi-lagi seperti ini...," keluhku.

Dentuman terakhir nada G mengakhiri rangkaian melodi hatiku. Aku berhenti. Jangan beri aku isyarat lagi. Aku tutup piano klasik ditoko roti favoritku. Kemudian aku menunduk untuk mengemasi barang-barangku yang berceceran diatas sustain. Jatuh saat aku panik melihat namamu muncul dilayar ponselku sesaat lalu.

"Selamat ulang tahun, " katamu " ini kadonya, di dengarkan ya...,"

Aku kembali gila. Namun, tetap saja kita belum bertemu untuk bersama.