Minggu, 16 September 2012

Kamu

“Permisi, slamat pagi..”
Aku melihatnya, sedetik..
“Pagi..”
Menunduk kembali..
“Eh, siang..”
Kembali meliriknya..
“Siang..”
“Kenapa Feb? Eh, kenalin admin yang baru.. Nia!”
Aku mengangkat sedikit wajahku dari antara tumpukan kertas..
“Nia…!”
“Feb..” 

Kamu buat aku tersipu buatku malu-malu
Saat bersamamu, saat ku sapa dirimu
Hari ini hanya aku dia dan beberapa yang lainnya.. Tiba-tiba hujan deras di kantor, koridor ini bocor dan entah mengapa banjir seperti ini dan mengapa aku harus terjebak dengannya.. Kemana yang lain?
“Aku mau ke depan..”
“Disini saja dulu, bocor gini.. banjir.. “
“Ke depan yuk..”
“Males ah, nanti basah..”
Aku kok merinding buluku, kok jadi gugup aku 
Saat bersamamu, saat kau senyum padaku 

“Nanti kirim fotonya aku sama Mba Nika ke bb aku ya..”

“BB aku lagi off honey..”

Apa-apaan ini. jantungku berdegup kencang. Aku harus bagaimana?

“Oh, yasudah..”

Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinyaSejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa 
Mungkin inilah rasanya cinta pada pandang pertama 
Senyuman manismu itu buat aku dag dig dug melulu 


“Muka kamu kenapa begitu?”
“Ini muka asli aku.. sinis.” Aku tertawa..
“Yang ketawa-ketawa itu?”
“Itu sih cuma yaaah… “
“Kalau begitu aku ogah ah bikin kamu ketawa-ketawa lagi..”
“Kenapa?”
“Abis ketawanya palsu, itu tadi kamu bilang..” 
Aku hanya lupa caranya tertawa.. Dan kamu mengembalikannya..


Oh Tuhan aku hanya ingin dia tahu 
Kau lucu kau sangat lucu



Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
Sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa 
Mungkin inilah rasanya cinta pada pandang pertama
Senyuman manismu itu buat aku 
dag dig dug melulu 

ddrrrtttt…
 
Hpku bergetar.. Feb: besok kamu masuk kerja? 
Nia: kenapa? 
Feb: Nanya aja.. hehe 
Nia: Masuk..sampai ketemu ya.. :)


Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
Sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa

Senin, 10 September 2012

Masih

   Masih ada harapan, ya, masih ada harapan untuk setiap perjuangan dalam bertahan hidup.

   " Jani.. bangun sayang.. Ada Tian disini, ada yang lain juga. "

   Ku hela nafas panjang, ini adalah hari kesebelas dalam bulan ini aku melihatnya terbaring lemah. Sekujur tubuhnya mulai kering, luka-lukanya tampak semakin parah, sangat berbeda dengan penampilannya saat aku mengenal dia. Ya, dia sakit. Janiku mengidap AIDS. Awalnya ia tampak baik-baik saja sampai akhirnya kekebalan tubuhnya menurun, cuaca dan segudang kegiatan membuatnya papah, lemah tak berdaya, tapi menurutku Jani tetap kuat. Jani masih bertahan, aku yakin masih ada harapan, setidaknya untuk dia melihat dunia hari esok, hari esok, dan sampai ia memilih untuk menyerah.
   Arfan Zamrani. Biasa ku panggil Anyi'. Jani adalah nama panggilan akrab dari temannya selama ini.
Jani adalah seorang ketua klub basket di kampusnya, ia juga aktif dalam bidang kemahasiswaan, ia juga salah satu pemain band lokal unggulan di kotaku, untuknya hidup adalah perjuangan. Kami bertemu saat aku berjalan sendiri sambil termenung, hampir saja aku tertabrak oleh sebuah mobil volvo lama yang sedang berbelok di depanku. Awalnya aku ketakutan melihatnya, badannya tinggi, dibandingkan tinggi badanku yang tak seberapa, pakaiannya robek sana-sini, namun ia sangat bersih. Dengan rambut yang diikat membentuk ekor kuda pendek ia mendekatiku.

   "Kau tak apa-apa? Apa aku melukaimu?" Sejenak ia melihat tubuhku sambil menghisap sebatang rokok hitam. "Hei, jawab pertanyaanku? Kau kaget ya? Haloo.."

   Aku masih saja terdiam. Aku ketakutan. Aku takut bertemu orang asing, apalagi yang baik seperti ini, biasanya semua orang yang hampir menabrakku akan memakiku dan meninggalkanku. Aku ketakutan akan penampilannya, namun hal ini bertolak belakang dengan apa yang aku lihat, mengapa dia begitu baik, mengapa dia menatapku seperti itu. Tak sadar aku terjatuh dipelukannya, gelap.

***

   "Mbak, sudah bangun? Masih pusing?"

   "Hmm.. maaf merepotkan."

   "Ah, saya yang minta maaf. Saya terlalu terburu-buru tadi sehingga tidak melihat jalan. Kalau begitu saya tinggal dulu ya. Semua administrasi sudah saya urus. Oia, maaf tadi saya oprek-oprek handphonenya, sebentar lagi bundamu pasti datang. Ah, cerewet ya? Hahaha.. saya pergi pamit dulu ya."

   Sekejap mata ia berlalu. Aku masih hafal bau tubuhnya, betapa berisi badannya, dan bagaimana ia mengangkat tubuhku dan membawa ku ke ruangan ini. Hanya samar-samar aku semakin terlelap dalam kelam.

   "Mbak, kakak nya kemana?" Tanya suster kepadaku.

   "Yang tadi? Bukan kakak saya, saya pun tak tahu dia siapa."

   "Wah, KTPnya tertinggal mbak, soalnya saya liat mas tadi buru-buru sekali."

   "Hmm..."

   "Kalau begitu saya titip sama Mbak saja KTPnya ya, mungkin nanti akan datang kesini lagi kalau urusannya sudah selesai."

   Arfan Zamrani. 25 tahun saat ini. Ia tinggal di perumahan seberang tempat tinggalku, sebuah perumahan tempat orang-orang yang berada, cukup berada. Aku memegang KTP itu sembari menunggu bunda datang menjemputku.
   Seminggu setelah kejadian itu aku mencari tempat tinggalnya, sebuah rumah putih yang cukup besar dengan sederet pohon palem menghiasi rumahnya, tak mewah namun dapat membuat orang nyaman tinggal di dalamnya.

   "Hai.." Aku menyapanya.

   "Siapa ya?" Ia terlihat mengerutkan keningnya, hari ini rambutnya tidak diikat seperti waktu itu.

   "Yang waktu di kompleks sebelah, hampir tertabrak, pingsan, dan..."

   "Ooohh.. ingat! Lalu, bagaimana bisa kesini? Mau kenalan?

   Glek! Terdiam aku.

   "Bercanda.." Ia tersenyum, manis. "Ada apa ya?"

   "Ehm.. ini, KTP, waktu itu kamu buru-buru.."

   Langsung ia sambar dari tanganku, sepertinya dia panik, lalu ia cepat-cepat memasukkan KTP nya ke dalam dompetnya. Entah mengapa dia seperti itu. Aku semakin penasaran, ku tatap dia dalam.

***

   Sebulan setelah kejadian itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Kebetulan hari ini adalah jadwal ku untuk pergi mendonorkan darah. Aku berangkat dengan baju pink kesukaanku, dengan motif polkadot hitam dan dipadupadankan dengan jeans aku sangat menyukainya. Aku sangat menanti hari ini, sebab hari ini adalah kesepuluh kalinya aku mendonorkan darah. Aku akan mendapatkan penghargaan. Begitulah yang tertulis di kartu PMIku.
   Hari ini rumah sakit tampak ramai. Aku melewati sekumpulan orang-orang dan berjalan menuju ruangan pendonor darah, ku lihat sekeliling, sesekali aku tersenyum membalas mereka yang tersenyum padaku. Tapi aku menghentikan pandanganku pada sesosok tubuh berbaju putih tipis dan celana jeans yang tak lagi bagus, ia menoleh dan tersenyum kepadaku.

   "Hai, ketemu lagi. Masih ingat aku?" Bagaimana mungkin aku lupa tatapan dan senyumannya itu. "Pembalap!!" Serunya, dan ia tertawa kecil.

   "Masih. Ngapain disini?"

   "Ngeband." Terdiam "Berobat lah.. hehe.. kok bengong? Kamu ngapain?"

   "Sakit apa? Aku mau donor darah. Kamu sudah pernah donor darah?"

   "Ooh. Biasa, flue. Tapi gak sembuh-sembuh." Dia tersenyum sembari mengelap hidungnya. "Sudah sering donor darah?"

   "Ini yang kesepuluh."

   "Waww! Hebat juga ya, gak takut sama suntik?"

   "Badan aku sudah kebal sama jarum."

   "Eh, tunggu sebentar disini ya.."

   Termenung aku menunggu dirinya disudut ruangan, ku dengar namanya dipanggil masuk ke ruangan tepat disebelah tempat aku berdiri. Tak lama dia keluar dan menghampiriku. Entah mengapa jantungku berdegup semakin kencang.

   "Nah, sekarang aku mau ikut kamu ke ruang donor darah ya? Aku pengen liat gimana sih orang-orang disana. Bolehkan?"

   "Hmm.." Aku mengangguk menjawab pertanyaannya singkat. Bukan karena aku masih ketakutan, namun aku bingung mengapa dia seperti orang yang sudah lama ku kenal, bahkan secepat ini dia akrab denganku. Kami berjalan bersama-sama menuju ruang pendonor darah.

   "Disini ngapain aja?" Tanyanya padaku.

   "Disini kamu nanti isi formulir ini dulu, lalu kamu tunggu dipanggil. Nanti, kalau sudah kamu pergi ke tempat mbak yang cantik itu, disana tensi darah kamu diukur dulu, kalau sudah pindah ke meja sebelahnya untuk tes darah, nanti dilihat apa darah kamu terlalu kental atau terlalu cair, layak atau gak masuk kantong darah, kalau belum tahu golongan darahmu apa nanti bisa dites disana. Kalau sudah kamu pindah ke tempat cuci tangan, kamu cuci tangan kamu sebelum ke tempat tidur pendonor. Nah, nanti disana baru deh darah kamu diambil."

   Ia diam. "Waah, baru kali ini aku lihat kamu ngomong lebih dari sepuluh kata, amazing." Aku hanya tersenyum malu-malu. "Lain kali temani aku ya?"

***

   Setelah hari itu kami bertukar pin smatphone. Dan semenjak hari itu pula aku tak ingin berpisah jauh-jauh dari telepon genggamku, takut-takut jika dia menghubungiku dan aku tak mendengarnya.

PING!

   "Hei, Mara, hari ini bisa temani aku ke rumah sakit? Kau janji kan menemaniku untuk donor darah?"

   Berkali-kali ku tatap layar telepon itu, aku lihat setiap kata yang ia kirimkan. Aku masih tak percaya ia ingat akan janjinya.

   "Bisa. Aku ingat. Mau jam berapa?"

   "Ehm, sehabis sarapan bagaimana? Sebelum makan siang?"

   "Boleh. Aku tunggu di depan kompleks rumahmu ya?"

   "Jangan, aku jemput saja ke rumahmu. Rumahmu disebelah mana belokan waktu itu?"

   "Tiga rumah ke depan dari belokan itu, ada bunga anggrek di depan rumahku, kalau sudah di depan beritahu aku."

   Ia tidak membalas lagi pesan singkat itu. Setengah jam kemudian ia membunyikan klakson, aku tersentak, pergi berpamitan pada bunda dan bergegas lari ke depan pintu. Aku pikir dia hanya membunyikan klakson dan tidak turun, betapa terkejut aku dia ada di depan pintu rumahku dan tersenyum.

   "Hai, mana bunda kamu?"

   "Bunda.. Bundaa.." Entah mengapa aku langsung memanggil bunda.

   "Halo tante, saya Jani yang waktu itu hampir nabrak Mara, saya mau izin ajak Mara ke rumah sakit dulu boleh tante? Saya mau donor darah."

   "Wah, silahkan Nak. Asal nanti pulangnya Mara aman ya?"

   "Sip tante. Cabut eh pergi dulu tante.. "

   Aku tersipu.

***

   Arfan Zamrani. Namanya terdengar jelas dari speaker tempat kami duduk.

   "Aku ya? Duh.. deg-degan nih.."

   "Ayo! Gak sakit kok."

   Dia menarik jemariku, aku berdiri disampingnya. "Jangan kemana-mana! Tetap disamping waktu aku diapa-apain sama mbak cantik itu ya!" Lalu kami berjalan menuju meja pemeriksaan.

   "Aaww.." Teriaknya.

   "Sakit?" Aku bertanya dengan nada sedikit cemas.

   "Bohongan kok, ini mah ternyata gak ada apa-apanya yah dibanding tindik di tubuh."

   "Mana?"

   "Apa? Tindikannya? Udah dilepas, gak boleh di kampus kalau jadi senat."

   Kemudian perawat menutup tabung-tabung cairan anti darah dan menunjukkan hasilnya pada Jani.

   "Golongan darah kamu B. Hemoglobinnya bagus. Bisa langsung cuci tangan dan duduk di kursi yang kosong ya." Kata perawat itu menyuruhnya bergegas mencuci tangan dan duduk dengan tenang.

***

   "Mbak.. ini darahnya ngapain dimasukin ke botol kecil lagi?" Tanya Jani penasaran pada perawat yang melayaninya.

   "Ini fungsinya untuk mengecek apa darahnya bermasalah atau tidak, apa ada sakit AIDS, sipilis, hepatitis atau sebagainya, nanti akan diberitahukan kalau terjadi apa-apa."

   Sedaritadi Jani masih saja banyak bertanya, ia bilang ini adalah salah satu pengalihan dari kesakitan dan ketakutannya. Tiba-tiba aku merasakan kebas pada tanganku, ku lihat kebawah ternyata sejak jarum dimasukkan ke dalam lengannya, Jani tak sedetikpun melepas jemariku. Pantas saja aku merasa tanganku sangat dingin.

***

   "Mara, terimakasih hari ini sudah menemaniku. Aku ketakutan sekali tadi. Untung ada kamu, terimakasih ya tangannya. " Ia tersenyum "Oia, kenapa kamu rajin sekali donor darah? Apa ada alasan khusus kenapa kau mau mendonorkan darahmu?"

   "Ehm.. agak konyol."

   "Ceritalah. Aku tidak akan menertawaimu." Ia memasang muka serius yang malah membuatku ingin tertawa.

   "Aku ingin seperti superhero. Aku ingin menjadi pahlawan tapi..."

   "HAHAHAHAHA...  ups.. okei lanjutkan."

   "Ah tidak."

   "Maaf, ayolah aku akan mendengarkannya."

   "Aku ingin menjadi pahlawan tapi aku tidak bisa, tubuhku lemah sejak kecil, aku bolak-balik masuk rumah sakit, aku tau aku tak sekuat itu. Sampai ketika aku sudah besar dan kondisiku mulai stabil aku membaca sebuah baliho dipinggir jalan yang bilang bahwa dengan mendonorkan darah kita bisa menjadi pahlawan. Aku percaya itu. Sejak saat itu aku memutuskan aku tidak ingin menyia-nyiakan hidupku, aku akan menjadi pahlawan bagi mereka yang membutuhkan darahku, aku memutuskan menjaga kesehatanku agar aku dapat mendonorkan darahku. Aku sendiri sedih kenapa hanya boleh tiga bulan sekali, sedangkan seperti yang kamu tau banyak sekali orang diluar sana yang membutuhkan darah dan mereka membayar dengan harga yang mahal."

   Seketika suasana di mobil yang pernah hampir menabrakku berubah sunyi. Serius ku lihat ia mendengarkan.

   "Mar, kenapa aku baru tau sekarang ya tentang hal itu. Kamu benar-benar pahlawan Mar."

   Kembali ia menggenggam tanganku diam-diam. Dan perjalan cinta kami pun dimulai. Kami belum lama menjalaninya, perlahan aku mulai mengenal dunia Anyi'. Kegiatan-kegiatannya, bandnya, lingkungan keluarganya, teman-temannya, bahkan musuh-musuh Anyi', hal-hal yang membuatnya marah, hal-hal yang dapat membuat pria besar ini menangis seperti anak kecil. Ya, salah satunya kematian adik laki-lakinya, akibat ulahnya. Ia sempat merasa depresi dan membenci hal-hal berbau orange, karena itu adalah warna kesukaan adiknya. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga tahun ini adalah tahun kedua kami.

   Aku bingung dengan apa yang terjadi, Jani terlihat pucat dan baru ku sadari penyakit flue nya sering sekali kambuh, bibirnya mengering, ia mulai mengupas kulit-kulit kering di bibirnya, aku selalu melarangnya untuk melakukan hal itu. Dan entah karena ia takut dengan jarum suntik yang seperti pipa itu, ia tak pernah lagi memintaku menemaninya untuk mendonorkan darahnya. Aku mulai kebingungan dengan emosinya yang tak stabil belakangan ini. Aku sering mendapatinya menangis diam-diam dalam pelukanku. Setiap aku bertanya ia hanya mengatakan bahwa harinya berat saat itu.
   Tak tahan melihat semua itu, aku menghubungi Tian, sahabat dekatnya di kampus. Aku bertanya mengenai Jani. Aku ingin tahu apa yang membuat malaikatku menjadi seperti ini.

   "Tian, temui aku di Starbucks sore ini ya." Sahutku di telefon. Cepat-cepat ku tutup sebelum ia berkata tidak atau tidak bisa atau apapun alasan yang akan dia katakan.

   Setelah hampir satu jam menunggu aku melihat Tian datang, dia tampak tak bersemangat, aku tau pasti ada sesuatu yang tidak baik, jantungku seperti tertusuk oleh pedang tajam, mengapa sesakit ini. Ku usap perlahan dadaku, aku berdoa.

   "Hai Mara, maaf aku harus ke bengkel dulu tadi. Jadi, ada apa dengan Jani?"

   "Aku yang seharusnya bertanya, ada apa dengan Jani?" Aku menahan air mata yang hampir saja tumpah, ku tegarkan diriku.

   "Jani baik-baik saja, ia masih aktif seperti biasanya. Hanya saja belakangan ini dia terlihat pucat."

   "Aku mohon Tian, jangan berbohong." Kali ini tak dapat ku tahan air mata ini, hatiku cemas, pikiranku kalut, tubuhku bergetar menunggu jawaban dari mulut Tian.

   "AIDS. Jani, Anyi'mu.. Dia terkena AIDS." Entah apa yang harus ku lakukan, ku lihat seluruh pengunjung memperhatikanku, wajahku penuh dengan air mata, suaraku tak lagi tertahan, aku tak tahan mendengar jawaban Tian. Aku menutup wajahku lekat dengan jemari kecilku yang selalu Anyi' genggam ketika ia ketakutan. "Ini bukan salahnya, Mar. Ia tidak tahu bagaimana memberitahumu. Ia seringkali mengeluh karena kesalahan masa lalunya. Kau ingat saat pertama kali kalian bertemu, kau hampir tertabrak. Saat itu aku memintanya untuk bergegas menuju kampus karena itu adalah hari peringatan kematian adiknya, adiknya cukup dikenal dikalangan kampus kami. Malam sebelumnya, Jani kalut, ia masih depresi mengingat kecerobohannya yang menghilangkan nyawa adiknya, ia mabuk, berpesta sampai pagi, dan ia melakukan hubungan sex dengan salah satu teman kami saat itu. Siapa yang sangka ia dijebak. Saat itu Jani benar-benar tak tahu apa yang terjadi, ternyata perempuan yang baru kami kenal setelah masa praktik itu sering sekali melakukan hal itu, dua bulan lalu dia meninggal. Ia tertular, Mar."

   Aku berdoa, Tuhan apa yang harus ku lakukan sekarang. Entah mengapa rasanya lemas tubuh ini, tak dapat berkata-kata aku. Aku bingung siapa yang harus ku salahkan, masa lalukah, Jani kah, atau teman-temannya yang buruk saat itu.

   "Mar, tolong jangan tinggalkan dia. Hidupnya terpuruk sekarang. Sejak beredar berita itu semua orang menjauhinya, semua kebanggaannya di kampus lenyap, Mar. Orangtuanya pun tak perduli padanya, semakin benci mereka, Mar. Sekarang Jani hidup bersamaku, walaupun orang tuanya masih mengirimkan uang padanya namun mereka tak mau melihat Jani lagi. Kau bisa merasakan betapa hancur hidupnya kan? Sekarang bagaimana hidupnya dan bagaimana masa depannya bersamamu kau yang tentukan, ia belum berani menceritakannya padamu."

   Pembicaraan kami rasanya selesai sampai disitu. Aku berlari mencari Anyi'ku dan ku temukan dia tersenyum sambil terbatuk-batuk mengelap darah yang mengalir deras dari bibirnya yang tergigit akibat batuk yang terlalu kencang.

***

   "Jani.. Bangun lo! Gue mau nagih janji lo! Lo bilang mau main band lagi ..."

   Ku lihat senyum kecil tersungging di bibir Anyi'. Ia tak dapat membuka lebar lagi matanya, sesekali ia dapat tersenyum. Bobot tubuhnya semakin menurun drastis.

   "Nyi' temen-temen yang lain berhasil dibujuk Tian datang menemuimu Nyi'. Anyi' senang?"

   Ia kembali tersenyum dan meneteskan air mata, ia mengatakan terimakasih dengan nada dan suara yang pelan, namun tangannya menggenggam tanganku, aku tahu ia tidak setegar itu.

   "Nyi' kita kapan donor darah lagi Nyi'? Masa cuma sekali Nyi'?"

   Hal itu selalu aku tanyakan padanya, selalu ku ungkit dan membuatnya tersenyum karena disitulah awal perasaannya timbul padaku.

   Sesaat setelah bersenda gurau bersama teman-teman kampusnya yang masih peduli padanya aku membasahi bibirnya dengan madu dan mengelap pinggiran bibirnya agar tidak meleleh kemana-mana madu itu. Kemudian aku memutuskan untuk keluar ruangan menghirup udara dan bergegas pergi mendoakan Anyi' di sebuah ruangan kecil yang khusus disediakan oleh rumah sakit, namun tanpa sengaja aku melihat Tian menangis diujung koridor rumah sakit, tak berani aku menyapanya aku hanya terdiam dan menangis. Anyi' tak sendiri, Anyi' tak sendiri kataku membatin.
   Baru saja aku kembali berdoa aku lihat pintu ruangan Anyi' terbuka, agak riuh tampaknya. Aku berlari, berlari sekencang mungkin, aku tak peduli apa yang menghalangi aku tak ingin Anyi' merasa dia sendiri.

   "Dok, tolong dia Dok! Tolong Dok!! Ambil saja darah saya semua.. bersihkan virus-virus di dalam tubuhnya! Dok! Lepaskan Anyi' dari sakit ini Dok! DOKTEEEEEEER!!! AMBIL SAJA SEMUA DARAH SAYA!! DOKTEEEEEEEEEERRRR!!"

   Entah bagaimana aku menangis aku sudah tak ingat, seketika gelap saat itu dan kurasakan aku terbaring lemah dipelukan bunda.

***

   "Tian, dimana?"

   "Kenapa, Mar?"

***

   Berlutut Tian disamping ranjang Anyi' kini ia menggenggam erat tangan Anyi'. Kembali aku memandang tubuh kekasihku, Jani.

   "Nyi'.. Kenapa waktu itu gak bilang kalau mbak suster itu telpon-telpon kamu? Nyi'.. kenapa waktu itu ga cerita sama Mara kalau Anyi' gak dibolehin jadi pahlawan, gak boleh lagi datang sebagai pendonor darah, padahal Anyi' kan mau jadi pahlawan kayak Mara. Nyi'.. jangan nangis ya.. Nyi', Mara akan tetap jadi pahlawan dan rajin ke PMI untuk donor darah, supaya orang-orang yang menderita sakit kayak Anyi' cepet ketahuan dan bisa ditolong kesehatannya. Anyi', Mara janji untuk jaga Anyi' sampai Anyi' sembuh. Sekarang Anyi' sudah sembuh, Mara senang. Usah kau lara sendiri sayang, Mara disini, Mara sayang Anyi'."

   Tubuhnya tak lagi bergerak setelah terahir kalinya ia menggenggam tanganku, ia ketakutan, namun tak sepatah kata 'takut' pernah keluar dari bibirnya, ia terus saja berjuang agar bisa tetap memegang tanganku.

   Dan sampai saat ini senyum itu masih tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, setiap memori masih ku jaga baik dalam ingatan, dan aku masih terus menyumbangkan darahku untuk sesama, karena aku tahu beberapa tetes darahku dapat membantu mereka yang memerlukan dan dapat membantu Anyi' yang lain mengetahui lebih cepat tentang virus mematikan itu, sehingga mereka bisa menjaga kesehatannya lebih ketat. Aku mencintaimu Nyi'. Masih ada harapan untuk mereka yang membutuhkan, masih ada harapan untuk mereka yang belum tahu apa itu AIDS, masih ada harapan untukku mewujudkan impianmu menjadi pahlawan seperti aku, titip salam untuk Adi, damai-damailah kalian disana. Aku, Tian, dan teman-teman lain masih disini untuk mencari pahlawan-pahlawan kecil lainnya.

"Sekali jumpa kau mengeluh kuatkah bertahan
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
Kudatang sahabat bagi jiwa
Saat batin merintih
Usah kau lara sendiri

Masih ada asa tersisa ...
Dekapkanlah tanganmu di atas bahuku
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
Di depan sana cahya kecil 'tuk memandu
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya ..."



(Inspired by @missbabbitt story and book, dan para pendonor darah sedunia.) 

Jumat, 07 September 2012

Pulang



-KLIK-

Pintu ruang kantor ku tutup. Pamit pada penjaga kantor, menggerai rambut, memakai helm dan menarik nafas panjang. Aah..  malam  ini aku lembur lagi dan lagi-lagi aku melewatkan membalas ucapan selamat tidur darinya. Maafkan aku sayang, aku harus berusaha sekeras ini untuk membuktikan bahwa aku mampu menikahimu, tinggal setahap lagi sayang, sabar ya.

"Inang sayang, maaf. Abang malam ini harus pulang malam lagi. Mimpi indah ya. Jangan ngambek lama-lama. *XOO"

Pagi berganti, hari ini berusaha aku membangunkannya lebih dulu untuk bersiap-siap bekerja. Jam segini biasanya dia pasti masih tidur, terbayang aku wajahnya ketika baru bangun. Aku bersyukur Tuhan menjaganya ketika aku tidak disampingnya, dia tak pernah sakit. Aku ingat benar bagaimana rengekannya kalau ia mulai meriang, kecapean, atau mulai pegal-pegal. Aku pasti menemaninya sampai dia tertidur. Namun aku pun ikut tertidur di sampingnya, lalu dia mengusap kepalaku dan diam-diam menyiapkan sarapan untukku, entah darimana kekuatannya. Aku tau karena sering masih berpura-pura tidur, agar aku bisa memerhatikan dia diam-diam. Ah, kenangan itu.

"Pagi Nang, sudah bangun? Hari ini pakai baju warna apa? Tetap kuat ya menghadapi bosmu yang aneh-aneh itu. Jangan lupa minum susu. Abang sayang kamu, Nang."

"Abaaaaaang. Aku sudah bangun. Aku sudah gak ngambek kok. Pakai baju warna hijau Bang, Abang sehat? Bang, ingat makan sayur! Aku sayang Abang! *XOXX"

Ah, hari ini dia membalas dengan lebih banyak ciuman, dia sudah tidak berlama-lama membiarkan mood jeleknya merusak harinya, semakin dewasa ya pacarku. Kalau saja aku bisa mengantarnya bekerja pagi ini. Tuhan menjagamu sayang.

Tak terasa matahari berlari begitu cepat, sudah lelah ia menerangi hari-hari di dunia ini. Hari ini sengaja aku bergegas meminta izin untuk pergi ke sebuah konser. Konser band kesukaannya, band yang berasal dari kota tempat aku mencari masa depanku, Jogja. Tanpa berganti baju, lalu melepas dasi hadiah ulang tahun dari wanita kesayanganku, aku berlari dan dengan kekuatan yang tersisa dalam tubuhku aku mengendarai motor menuju venue konser itu.

"Nang! Malam ini jangan tidur cepat. Aku mau nelfon kamu ya."

"Iya, bang. Miss you."

***

"...waktu hujan turun disudut gelap mataku, begitu derasnyaaa.."
"...caci maki saja diriku bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala."

Beberapa lagu favoritnya sudah dibawakan, aku sangat berharap Tuhan berpihak padaku. Aku memohon padaNya agar sebuah lagu yang jarang dibawakan mereka bisa dibawakan malam ini, kebetulan aku mengenal salah satu crew dari band ini. Ia adalah salah satu teman baikku di bangku SMA, aku harap ia dan bandnya mau bekerja sama membawakan lagu ini. 

Musik melantun pelan, sang vokalis memulai lagu dengan sebuah kata pengantar.
Sebuah lagu yang aku siapkan untuk wanita kesayanganku. Ia pernah mengatakan agar aku mendengarkan lagu ini, aku tidak terlalu tahu berapa jumlah album yang sudah mereka keluarkan, aku tidak terlalu tahu lagu-lagu andalan mereka, beberapa lagu yang ku tahu itu semua karena dia yang menyanyikannya, dia selalu memaksa agar aku memainkan gitar untuk lagu-lagunya. Ah, aku benar-benar merindukannya. Wanita tercantik yang pernah aku kenal, bukan kecantikan fisiknya, dia memiliki wajah yang manis, namun apa adanya dirinya yang membuatku tergila-gila padanya.

Ku genggam smartphone milikku, ku tekan angka satu, speed dial khusus untuk pacar terakhirku. Aku yakinkan dia yang terakir, kami baru setahun lebih menjalani hubungan ini namun aku yakin dia yang terakir untukku. Dia mengangkat suara.

"Halo bang .. Ribut banget. Abang dimana nih?"

"Nang, sayang.. Dengerin baik-baik ya, Abang gak bisa ulang lagi nih.. Abang nyanyiin ya.."

"Haah? Abang nyanyi? Haaa..??"

"Dengerin ya, Nang."

Saat-saat seperti ini
Pintu tlah terkunci
Lampu tlah mati
Ku ingin pulang
Tuk segera berjumpa 
Denganmu

Waktu-waktu seperti ini
Di dalam selimut
Harapkan mimpi
Bayangan pulang
Tuk segera berjumpa
Denganmu
ku ingin kau tahu
   ku bergetar merindukanmu
   hingga pagi menjelang

sesaat mata terpejam
tirai imaji terbuka
semakin ku terlelap
semakin jelas hangat senyuman
tak ingin terjaga
sampai aku pulang
sesaat mata terpejam
bintang-bintang menari indah
iringi langkahku
rangkai mimpi yang semakin dalam
tak ingin terjaga
sampai aku pulang

Ku dengar ia menangis, apa dia benar-benar menyukainya? Padahal itu bukan suaraku, itu suara vokalis kesukaannya, tapi aku yakin ia mengenal jelas suaranya. Aku harap dia menyukai kejutan yang ku berikan. Aku tak pernah berhasil memberikan kejutan untuknya, selalu saja gagal, namun begitu ia selalu menganggap semua kejutan yang kuberikan adalah kenangan yang berharga.

"Happy anniversary sayang, Anggiku, inangku. I LOVE YOU."

Aku capture sebuah foto dan ku kirim padanya. Secepat debaran hatiku  ia membalas pesanku.

"Aku jemput abang besok  di stasiun bang.  Aku sayang Abang. Au marsihol tu ho, Abang. Holong do rohangku tu ho."

*XOO= kiss, hug,hug. 

Selasa, 04 September 2012

Mengingat akan mu.

Dear, laguku bercerita..
Gelap saat ku menulis ini. Ah, kamu peluk aku lagi dari belakang sembari membaca tulisanku.


Diamlah sayang, aku sedang serius menulis.
Aku kembali menulis.. Sembari aku usap-usap kepalamu.


"Kamu nulis apa lagi sih?", kau berbisik manis ditelingaku.
"Cuma sebaris lirik..Sayang, kamu sayang aku kan?" Ku tatap matamu dalam.
"Aku sayang sama kamu." Lalu hangat ku rasakan.
Kembali kau peluk aku dari belakang, seperti biasa yang selalu kau lakukan padaku. Tak lama kau tertidur diatas pundakku. Selalu seperti itu.


Biarlah ku sentuhmu

Berikanku rasa itu
Pelukmu yang dulu
Pernah buatku

Lalu aku kembali pada gelap, ku tatap layar di depan wajahku.
Diam aku, bernyanyi perlahan senandung ini sembari menatapmu tertidur di bahuku, kau ingat saat itu apa janjimu?
"Aku berjanji sampai selamanya, tunggu aku di Bandung ya."
Kau bergerak sedikit di pundakku.


Sayang, saat kau tertidur, pikiranku melayang melalui waktu-waktu yang kita lewati.
Kembali ku ingat beberapa tahun kita menjalin cinta.
Saat pertama kau lulus tes memasuki universitas itu aku menangis terharu, saat akhirnya kau menyatakan cintamu, saat kita bertengkar dan kau meninggalkanku sendiri, saat kau memberikan surprise untuk ulangtahunku, saat kau mendoakanku, saat aku datang ke tempat tinggalmu tengah malam hanya untuk mengantarkan bubur, bukan jarak yang dekat. Saat kau mengatakan bosan, saat kita melakukan pelanggaran atas kesepakatan kita, dan saat-saat dimana orangtuamu tak pernah setuju akan kehadiranku, hingga akhirnya orangtuamu mengatakan hal yang tak pantas itu, dan kau tak bertindak apa-apa. Tak pernah kau hargai aku. Ku rasa.
Ku genggam jemarimu menahan air mata.


Ku tak bisa paksamu

'tuk tinggal disisiku

Semakin ku ingat semakin sakit ku rasa, semakin ku sadari perasaanku meragu, semakin aku merasakan bahwa kau bukan untukku, aku pun tak ingin semakin lama menyakitimu dan membebanimu dengan segala permasalahan ini, membebanimu dengan hidupku yang berbeda dengan hidupmu, semakin terasa bahwa aku harus meninggalkanmu, aku tak sanggup.

 Sst.. diam sayang, kuusap lagi kepalamu, peluk saja aku dalam tidurmu. Biarkan aku mengenang semua perbuatanmu.Menitikkan air mata perlahan.

Walau kau yang selalu sakiti

Aku dengan perbuatanmu

Sayang, sepertinya kita hanya bisa sampai disini. Lima tahun ini harus berakhir disini.
Perlahan basah ku rasakan pada bahuku. Hatimu tak tidur. Kau tak tertidur.


Namun sudah kau pergilah

Jangan kau sesali

Perlahan ku lepas tanganmu dari tubuhku.
Hampa. Ternyata semua hanya bayangan, semu. Seperti semua janjimu padaku, tak ada lagi kata selamanya. Aku yang pergi, tak ku lihat kesungguhan dalam hatimu. Entah kesungguhan seperti apa yang ku mau, tapi tak ku dapat itu darimu selama ini. Kita bukanlah sepasang remaja lagi seperti ketika pertama bertemu, kini aku menjadi seorang wanita yang mencari tahu siapa masa depanku. Maaf. Pergilah. Aku yang mengambil keputusan ini. Ku hapus air mataku.


Karena ku sanggup walau ku tak mau

Berdiri sendiri tanpamu
Ku mau kau tak usah ragu
Tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

Tubuhmu hilang, berbayang dari lingkar pinggang kecilku.
Sempat kau menangis tak ingin pergi dariku, kau bilang hanya aku, kau bilang kembalilah padamu.
Menangis aku meraung, tidak bisa ku lanjutkan ini semua, berkecamuk dalam dada ingin merengkuhmu, memelukmu, mencium bibirmu, aku sendiri tak sanggup menanggungnya. Namun, aku berjuang sendiri selama ini, selalu ku pertanyakan kesungguhanmu, tapi apa, aku lelah. Aku lelah!
Tak pernah kau perjuangkan aku. Aku berusaha untuk melepaskan pelukanmu. Cukup selama ini aku merasakan setiap lakumu padaku, apa aku benar-benar tak layak mendapatkannya? Dan secepat itu pula kau menemukan dia, yang lain. Sesaat kau (masih) cinta padaku.


Tak yakin ku kan mampu

Hapus rasa sakitku
Ku ‘kan selalu perjuangkan cinta kita
Namun apa salahku
Hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu

Ku ucap maaf. Maaf jika aku menyakitimu (mungkin aku yang selama ini tersakiti olehmu tanpa sadarku), maaf jika karena aku tak yakin lagi aku bisa bertahan mencintaimu, dan ku lakukan ini karena mauku, aku tau aku tak sanggup. Simpanlah semua alasan dan janji akan masa depan yang kau berikan, jangan pernah berjanji lagi padaku.


Tak perlu kau buatku mengerti

Tersenyumlah karena ku sanggup

Semua penonton bersorak dan bertepuk tangan membuyarkan khayalanku.
"AGNEEEEESSSS...!"
"Yah, demikian salah satu lagu  yang dimana saya banyak berperan dalam pembuatannya. Terimakasih. God bless you all!!"


Dan konser itu berakhir. Semuanya gelap tanpa bayanganmu dan air mata masih mengalir di pipiku mengingat akan mu, genap dua tahun sudah aku meninggalkanmu, namun tak semudah itu aku melupakan lima tahun kita.