Hai Pangeran Kelana.. Apa kabarmu?
Salah sepertinya jika ku tanyakan apa kabarmu, ku dengar kau hidup bahagia bersama putri kupu-kupu yang lembut.
Bagaimana kelembutannya menyapamu setiap pagi? Apakah kalian selalu berkejar-kejaran dalam ria? Tak perlu ku tanyakan kembali seharusnya.
Bagaimana kelembutannya menyapamu setiap pagi? Apakah kalian selalu berkejar-kejaran dalam ria? Tak perlu ku tanyakan kembali seharusnya.
Ku lihat kesehatanmu membaik disana. Tidak seperti dahulu ketika kau bersamaku, Putri Kesepian. Dahulu setiap hari kau harus melalui peperangan untuk menjagaku, kau harus melompat ke bola dunia yang berbeda dan melewati partikel-partikel langit yang bermacam-macam dan membuatmu terluka dimana-mana, kau masih harus bertani membuat sebuah taman bunga agar aku dapat tetap hidup, tanpa kesepian. Bahkan, harus melawan Raja Kelana dan Ratu Sari untuk tetap bersamaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah istanamu baik-baik saja?
Kini, dibawah langit jingga dan hembusan angin aku menyuarakan hati ini. Aku teringat akanmu, bukan sepele untuk memikirkanmu, aku tak pernah mau. Lalu, aku bersuara, menyuarakan hatiku. Kemudian, ku kirim bersama buih ombak yang datang mendekatiku perlahan. Satu demi satu aku bisikkan pelan pesanku dalam buih-buih kehampaan yang tak tahu kemana singgahnya, mencari tahu keberadaanmu untuk menyampaikan suara hatiku. Namun kusadari, ini bukan lagi suara cinta, ini kesedihanku.
Kubisikkan pada mereka yang bergulir lembut dibawah jemari kakiku. Lembut seperti cintamu yang akhirnya menyakitkanku, karena aku tahu, kita tak bisa bersama, bagai ombak dan pasir pantai, kau datang, bergelombang, lalu pergi. Tak dapat bertahan sekejap waktu. Jika tau begitu tak ku titipkan hatiku pada buih-buih cintamu, aku akan pergi memilih batu karang yang akan tetap bersamaku walaupun ia keras dan kasar, setidaknya ia takkan meninggalkanku, kesepian.
Berjalan aku meninggalkan langit jingga. Aku pergi melihat pohon kenangan, tersandung aku pada sebuah nisan bertuliskan "Aku datang menghadap kematian, meninggalkan kenangan yang terindah." Itu kuburan kenangan kita. Tak pernah ku gali. Aku hanya ingin meninggalkannya, tapi di tanggal ini, aku kembali seperti menggali kuburan itu. Tepat disaat bulan purnama, saat jejak-jejak ksatria tak terhentak ke tanah, tepat saat terdengar lagi letupan api peperangan, inilah masa ketika Raja dan Ratu menjadi orang paling bahagia seantero jagad raya dunia khayalku, tepat di hari ini ingatan tentangmu membuat aku merasa bagai diserbu ribuan panah namamu ke dalam hatiku. Sakit. Lukanya dalam dan banyak. Tak tahu berapa banyak ladang rumput yang akan berubah menjadi merah karena darahku. Satu persatu panah terbang dari ufuk barat ke arahku, merah menyala warnanya, aku diam. Panah pertama sudah tepat mengenai jantungku.
Pangeran Kelana, secepat itukah duniamu berputar?
Mengapa kita tidak diciptakan dalam sebuah dunia yang sama sehingga kau tak perlu melakukan hal-hal yang tak seharusnya?
Mengapa aku hanya dapat memandang bola duniamu tanpa bisa terbang kesana? Aku meminta pada Dewa Hujan untuk memberikanku sayap air agar aku bisa terbang menemuimu, walau dalam hati aku tak ingin melihatmu sama sekali, Dewa Hujan tak mengizinkannya.
Mengapa aku hanya dapat memandang bola duniamu tanpa bisa terbang kesana? Aku meminta pada Dewa Hujan untuk memberikanku sayap air agar aku bisa terbang menemuimu, walau dalam hati aku tak ingin melihatmu sama sekali, Dewa Hujan tak mengizinkannya.
Aku kembali memandang langit marah yang merah sambil merenungimu. Rambutku berkibar ke belakang, terlihat samar-samar cahaya merah akibat pantulan warna langit tempat aku berdiri. Ku lihat duniamu sedang berputar, kau berkejaran dengan Putri Kupu-kupu. Aku tak mengerti arti kelembutan, maafkan aku. Namun, mengapa kau mengatakan ternyata selama ini tak pernah kau pahami setengah dari duniaku? Ada sisi yang tak kau pahami dalam bola udara duniaku, dimana kebebasan menjadi asas di dalamnya. Tapi, mengapa itu terjadi setelah sekian lama.
Lalu aku menangis.
Aku pergi mengambil akar menjalar dan menganyamnya membentuk sebuah simpul kematian.
Aku naik diatas sebuah kursi kayu yang selalu ku gunakan untuk memandang cermin, yang membuatku menangis ketika aku sadari tak ada lagi mulut bibirku, aku kehilangan mulut untuk berkata-kata tentang cinta, aku tak punya bibir. Ya, selain itu tak juga kumiliki mahkota cantik bagai Putri Kupu-kupu. Aku hanyalah seorang anak Petani yang tak mampu membeli keindahan dunia. Inilah aku. Putri Kesepian. Aku tak memiliki apa-apa selain kesepian.
Aku naik diatas sebuah kursi kayu yang selalu ku gunakan untuk memandang cermin, yang membuatku menangis ketika aku sadari tak ada lagi mulut bibirku, aku kehilangan mulut untuk berkata-kata tentang cinta, aku tak punya bibir. Ya, selain itu tak juga kumiliki mahkota cantik bagai Putri Kupu-kupu. Aku hanyalah seorang anak Petani yang tak mampu membeli keindahan dunia. Inilah aku. Putri Kesepian. Aku tak memiliki apa-apa selain kesepian.
Bulat tekadku, ku buat sebuah simpul terakhir diwajahku (ku anggap aku masih memiliki bibir yang kau renggut untuk mengucapkan kata cinta), ku ambil sebuah batu granit tajam berwarna hitam pekat dan menorehkannya tepat di jantungku yang tertikam panah. Ku keluarkan dengan jeritan menuju kematian. Keluarlah jantungku, masih berdegup kencang. Lalu ku masukkan kepalaku ke dalam simpul tali, dan aku tersenyum simpul.
"Lebih baik aku mati daripada harus melihat keindahan dunia yang tak mampu ku miliki, atau bahkan dunia yang pernah ku miliki. Tunggulah buih-buih itu terbang ke langit dan kau akan mendengar jeritan hatiku."
Dan aku mati. Putri Kesepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar