Masih ada harapan, ya, masih ada harapan untuk setiap perjuangan dalam bertahan hidup.
" Jani.. bangun sayang.. Ada Tian disini, ada yang lain juga. "
Ku hela nafas panjang, ini adalah hari kesebelas dalam bulan ini aku melihatnya terbaring lemah. Sekujur tubuhnya mulai kering, luka-lukanya tampak semakin parah, sangat berbeda dengan penampilannya saat aku mengenal dia. Ya, dia sakit. Janiku mengidap AIDS. Awalnya ia tampak baik-baik saja sampai akhirnya kekebalan tubuhnya menurun, cuaca dan segudang kegiatan membuatnya papah, lemah tak berdaya, tapi menurutku Jani tetap kuat. Jani masih bertahan, aku yakin masih ada harapan, setidaknya untuk dia melihat dunia hari esok, hari esok, dan sampai ia memilih untuk menyerah.
Arfan Zamrani. Biasa ku panggil Anyi'. Jani adalah nama panggilan akrab dari temannya selama ini.
Jani adalah seorang ketua klub basket di kampusnya, ia juga aktif dalam bidang kemahasiswaan, ia juga salah satu pemain band lokal unggulan di kotaku, untuknya hidup adalah perjuangan. Kami bertemu saat aku berjalan sendiri sambil termenung, hampir saja aku tertabrak oleh sebuah mobil volvo lama yang sedang berbelok di depanku. Awalnya aku ketakutan melihatnya, badannya tinggi, dibandingkan tinggi badanku yang tak seberapa, pakaiannya robek sana-sini, namun ia sangat bersih. Dengan rambut yang diikat membentuk ekor kuda pendek ia mendekatiku.
"Kau tak apa-apa? Apa aku melukaimu?" Sejenak ia melihat tubuhku sambil menghisap sebatang rokok hitam. "Hei, jawab pertanyaanku? Kau kaget ya? Haloo.."
Aku masih saja terdiam. Aku ketakutan. Aku takut bertemu orang asing, apalagi yang baik seperti ini, biasanya semua orang yang hampir menabrakku akan memakiku dan meninggalkanku. Aku ketakutan akan penampilannya, namun hal ini bertolak belakang dengan apa yang aku lihat, mengapa dia begitu baik, mengapa dia menatapku seperti itu. Tak sadar aku terjatuh dipelukannya, gelap.
***
"Mbak, sudah bangun? Masih pusing?"
"Hmm.. maaf merepotkan."
"Ah, saya yang minta maaf. Saya terlalu terburu-buru tadi sehingga tidak melihat jalan. Kalau begitu saya tinggal dulu ya. Semua administrasi sudah saya urus. Oia, maaf tadi saya oprek-oprek
handphonenya, sebentar lagi bundamu pasti datang. Ah, cerewet ya? Hahaha.. saya pergi pamit dulu ya."
Sekejap mata ia berlalu. Aku masih hafal bau tubuhnya, betapa berisi badannya, dan bagaimana ia mengangkat tubuhku dan membawa ku ke ruangan ini. Hanya samar-samar aku semakin terlelap dalam kelam.
"Mbak, kakak nya kemana?" Tanya suster kepadaku.
"Yang tadi? Bukan kakak saya, saya pun tak tahu dia siapa."
"Wah, KTPnya tertinggal mbak, soalnya saya liat mas tadi buru-buru sekali."
"Hmm..."
"Kalau begitu saya titip sama Mbak saja KTPnya ya, mungkin nanti akan datang kesini lagi kalau urusannya sudah selesai."
Arfan Zamrani. 25 tahun saat ini. Ia tinggal di perumahan seberang tempat tinggalku, sebuah perumahan tempat orang-orang yang berada, cukup berada. Aku memegang KTP itu sembari menunggu bunda datang menjemputku.
Seminggu setelah kejadian itu aku mencari tempat tinggalnya, sebuah rumah putih yang cukup besar dengan sederet pohon palem menghiasi rumahnya, tak mewah namun dapat membuat orang nyaman tinggal di dalamnya.
"Hai.." Aku menyapanya.
"Siapa ya?" Ia terlihat mengerutkan keningnya, hari ini rambutnya tidak diikat seperti waktu itu.
"Yang waktu di kompleks sebelah, hampir tertabrak, pingsan, dan..."
"Ooohh.. ingat! Lalu, bagaimana bisa kesini? Mau kenalan?
Glek! Terdiam aku.
"Bercanda.." Ia tersenyum, manis. "Ada apa ya?"
"Ehm.. ini, KTP, waktu itu kamu buru-buru.."
Langsung ia sambar dari tanganku, sepertinya dia panik, lalu ia cepat-cepat memasukkan KTP nya ke dalam dompetnya. Entah mengapa dia seperti itu. Aku semakin penasaran, ku tatap dia dalam.
***
Sebulan setelah kejadian itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Kebetulan hari ini adalah jadwal ku untuk pergi mendonorkan darah. Aku berangkat dengan baju pink kesukaanku, dengan motif polkadot hitam dan dipadupadankan dengan jeans aku sangat menyukainya. Aku sangat menanti hari ini, sebab hari ini adalah kesepuluh kalinya aku mendonorkan darah. Aku akan mendapatkan penghargaan. Begitulah yang tertulis di kartu PMIku.
Hari ini rumah sakit tampak ramai. Aku melewati sekumpulan orang-orang dan berjalan menuju ruangan pendonor darah, ku lihat sekeliling, sesekali aku tersenyum membalas mereka yang tersenyum padaku. Tapi aku menghentikan pandanganku pada sesosok tubuh berbaju putih tipis dan celana jeans yang tak lagi bagus, ia menoleh dan tersenyum kepadaku.
"Hai, ketemu lagi. Masih ingat aku?" Bagaimana mungkin aku lupa tatapan dan senyumannya itu. "Pembalap!!" Serunya, dan ia tertawa kecil.
"Masih. Ngapain disini?"
"Ngeband." Terdiam "Berobat lah.. hehe.. kok bengong? Kamu ngapain?"
"Sakit apa? Aku mau donor darah. Kamu sudah pernah donor darah?"
"Ooh. Biasa, flue. Tapi gak sembuh-sembuh." Dia tersenyum sembari mengelap hidungnya. "Sudah sering donor darah?"
"Ini yang kesepuluh."
"Waww! Hebat juga ya, gak takut sama suntik?"
"Badan aku sudah kebal sama jarum."
"Eh, tunggu sebentar disini ya.."
Termenung aku menunggu dirinya disudut ruangan, ku dengar namanya dipanggil masuk ke ruangan tepat disebelah tempat aku berdiri. Tak lama dia keluar dan menghampiriku. Entah mengapa jantungku berdegup semakin kencang.
"Nah, sekarang aku mau ikut kamu ke ruang donor darah ya? Aku pengen liat gimana sih orang-orang disana. Bolehkan?"
"Hmm.." Aku mengangguk menjawab pertanyaannya singkat. Bukan karena aku masih ketakutan, namun aku bingung mengapa dia seperti orang yang sudah lama ku kenal, bahkan secepat ini dia akrab denganku. Kami berjalan bersama-sama menuju ruang pendonor darah.
"Disini ngapain aja?" Tanyanya padaku.
"Disini kamu nanti isi formulir ini dulu, lalu kamu tunggu dipanggil. Nanti, kalau sudah kamu pergi ke tempat mbak yang cantik itu, disana tensi darah kamu diukur dulu, kalau sudah pindah ke meja sebelahnya untuk tes darah, nanti dilihat apa darah kamu terlalu kental atau terlalu cair, layak atau gak masuk kantong darah, kalau belum tahu golongan darahmu apa nanti bisa dites disana. Kalau sudah kamu pindah ke tempat cuci tangan, kamu cuci tangan kamu sebelum ke tempat tidur pendonor. Nah, nanti disana baru deh darah kamu diambil."
Ia diam. "Waah, baru kali ini aku lihat kamu ngomong lebih dari sepuluh kata,
amazing." Aku hanya tersenyum malu-malu. "Lain kali temani aku ya?"
***
Setelah hari itu kami bertukar pin
smatphone. Dan semenjak hari itu pula aku tak ingin berpisah jauh-jauh dari telepon genggamku, takut-takut jika dia menghubungiku dan aku tak mendengarnya.
PING!
"Hei, Mara, hari ini bisa temani aku ke rumah sakit? Kau janji kan menemaniku untuk donor darah?"
Berkali-kali ku tatap layar telepon itu, aku lihat setiap kata yang ia kirimkan. Aku masih tak percaya ia ingat akan janjinya.
"Bisa. Aku ingat. Mau jam berapa?"
"Ehm, sehabis sarapan bagaimana? Sebelum makan siang?"
"Boleh. Aku tunggu di depan kompleks rumahmu ya?"
"Jangan, aku jemput saja ke rumahmu. Rumahmu disebelah mana belokan waktu itu?"
"Tiga rumah ke depan dari belokan itu, ada bunga anggrek di depan rumahku, kalau sudah di depan beritahu aku."
Ia tidak membalas lagi pesan singkat itu. Setengah jam kemudian ia membunyikan klakson, aku tersentak, pergi berpamitan pada bunda dan bergegas lari ke depan pintu. Aku pikir dia hanya membunyikan klakson dan tidak turun, betapa terkejut aku dia ada di depan pintu rumahku dan tersenyum.
"Hai, mana bunda kamu?"
"Bunda.. Bundaa.." Entah mengapa aku langsung memanggil bunda.
"Halo tante, saya Jani yang waktu itu hampir nabrak Mara, saya mau izin ajak Mara ke rumah sakit dulu boleh tante? Saya mau donor darah."
"Wah, silahkan Nak. Asal nanti pulangnya Mara aman ya?"
"Sip tante. Cabut eh pergi dulu tante.. "
Aku tersipu.
***
Arfan Zamrani. Namanya terdengar jelas dari
speaker tempat kami duduk.
"Aku ya? Duh.. deg-degan nih.."
"Ayo! Gak sakit kok."
Dia menarik jemariku, aku berdiri disampingnya. "Jangan kemana-mana! Tetap disamping waktu aku diapa-apain sama mbak cantik itu ya!" Lalu kami berjalan menuju meja pemeriksaan.
"Aaww.." Teriaknya.
"Sakit?" Aku bertanya dengan nada sedikit cemas.
"Bohongan kok, ini mah ternyata gak ada apa-apanya yah dibanding tindik di tubuh."
"Mana?"
"Apa? Tindikannya? Udah dilepas, gak boleh di kampus kalau jadi senat."
Kemudian perawat menutup tabung-tabung cairan anti darah dan menunjukkan hasilnya pada Jani.
"Golongan darah kamu B. Hemoglobinnya bagus. Bisa langsung cuci tangan dan duduk di kursi yang kosong ya." Kata perawat itu menyuruhnya bergegas mencuci tangan dan duduk dengan tenang.
***
"Mbak.. ini darahnya ngapain dimasukin ke botol kecil lagi?" Tanya Jani penasaran pada perawat yang melayaninya.
"Ini fungsinya untuk mengecek apa darahnya bermasalah atau tidak, apa ada sakit AIDS, sipilis, hepatitis atau sebagainya, nanti akan diberitahukan kalau terjadi apa-apa."
Sedaritadi Jani masih saja banyak bertanya, ia bilang ini adalah salah satu pengalihan dari kesakitan dan ketakutannya. Tiba-tiba aku merasakan kebas pada tanganku, ku lihat kebawah ternyata sejak jarum dimasukkan ke dalam lengannya, Jani tak sedetikpun melepas jemariku. Pantas saja aku merasa tanganku sangat dingin.
***
"Mara, terimakasih hari ini sudah menemaniku. Aku ketakutan sekali tadi. Untung ada kamu, terimakasih ya tangannya. " Ia tersenyum "Oia, kenapa kamu rajin sekali donor darah? Apa ada alasan khusus kenapa kau mau mendonorkan darahmu?"
"Ehm.. agak konyol."
"Ceritalah. Aku tidak akan menertawaimu." Ia memasang muka serius yang malah membuatku ingin tertawa.
"Aku ingin seperti superhero. Aku ingin menjadi pahlawan tapi..."
"HAHAHAHAHA... ups.. okei lanjutkan."
"Ah tidak."
"Maaf, ayolah aku akan mendengarkannya."
"Aku ingin menjadi pahlawan tapi aku tidak bisa, tubuhku lemah sejak kecil, aku bolak-balik masuk rumah sakit, aku tau aku tak sekuat itu. Sampai ketika aku sudah besar dan kondisiku mulai stabil aku membaca sebuah baliho dipinggir jalan yang bilang bahwa dengan mendonorkan darah kita bisa menjadi pahlawan. Aku percaya itu. Sejak saat itu aku memutuskan aku tidak ingin menyia-nyiakan hidupku, aku akan menjadi pahlawan bagi mereka yang membutuhkan darahku, aku memutuskan menjaga kesehatanku agar aku dapat mendonorkan darahku. Aku sendiri sedih kenapa hanya boleh tiga bulan sekali, sedangkan seperti yang kamu tau banyak sekali orang diluar sana yang membutuhkan darah dan mereka membayar dengan harga yang mahal."
Seketika suasana di mobil yang pernah hampir menabrakku berubah sunyi. Serius ku lihat ia mendengarkan.
"Mar, kenapa aku baru tau sekarang ya tentang hal itu. Kamu benar-benar pahlawan Mar."
Kembali ia menggenggam tanganku diam-diam. Dan perjalan cinta kami pun dimulai. Kami belum lama menjalaninya, perlahan aku mulai mengenal dunia Anyi'. Kegiatan-kegiatannya, bandnya, lingkungan keluarganya, teman-temannya, bahkan musuh-musuh Anyi', hal-hal yang membuatnya marah, hal-hal yang dapat membuat pria besar ini menangis seperti anak kecil. Ya, salah satunya kematian adik laki-lakinya, akibat ulahnya. Ia sempat merasa depresi dan membenci hal-hal berbau orange, karena itu adalah warna kesukaan adiknya. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga tahun ini adalah tahun kedua kami.
Aku bingung dengan apa yang terjadi, Jani terlihat pucat dan baru ku sadari penyakit flue nya sering sekali kambuh, bibirnya mengering, ia mulai mengupas kulit-kulit kering di bibirnya, aku selalu melarangnya untuk melakukan hal itu. Dan entah karena ia takut dengan jarum suntik yang seperti pipa itu, ia tak pernah lagi memintaku menemaninya untuk mendonorkan darahnya. Aku mulai kebingungan dengan emosinya yang tak stabil belakangan ini. Aku sering mendapatinya menangis diam-diam dalam pelukanku. Setiap aku bertanya ia hanya mengatakan bahwa harinya berat saat itu.
Tak tahan melihat semua itu, aku menghubungi Tian, sahabat dekatnya di kampus. Aku bertanya mengenai Jani. Aku ingin tahu apa yang membuat malaikatku menjadi seperti ini.
"Tian, temui aku di
Starbucks sore ini ya." Sahutku di telefon. Cepat-cepat ku tutup sebelum ia berkata tidak atau tidak bisa atau apapun alasan yang akan dia katakan.
Setelah hampir satu jam menunggu aku melihat Tian datang, dia tampak tak bersemangat, aku tau pasti ada sesuatu yang tidak baik, jantungku seperti tertusuk oleh pedang tajam, mengapa sesakit ini. Ku usap perlahan dadaku, aku berdoa.
"Hai Mara, maaf aku harus ke bengkel dulu tadi. Jadi, ada apa dengan Jani?"
"Aku yang seharusnya bertanya, ada apa dengan Jani?" Aku menahan air mata yang hampir saja tumpah, ku tegarkan diriku.
"Jani baik-baik saja, ia masih aktif seperti biasanya. Hanya saja belakangan ini dia terlihat pucat."
"Aku mohon Tian, jangan berbohong." Kali ini tak dapat ku tahan air mata ini, hatiku cemas, pikiranku kalut, tubuhku bergetar menunggu jawaban dari mulut Tian.
"AIDS. Jani, Anyi'mu.. Dia terkena AIDS." Entah apa yang harus ku lakukan, ku lihat seluruh pengunjung memperhatikanku, wajahku penuh dengan air mata, suaraku tak lagi tertahan, aku tak tahan mendengar jawaban Tian. Aku menutup wajahku lekat dengan jemari kecilku yang selalu Anyi' genggam ketika ia ketakutan. "Ini bukan salahnya, Mar. Ia tidak tahu bagaimana memberitahumu. Ia seringkali mengeluh karena kesalahan masa lalunya. Kau ingat saat pertama kali kalian bertemu, kau hampir tertabrak. Saat itu aku memintanya untuk bergegas menuju kampus karena itu adalah hari peringatan kematian adiknya, adiknya cukup dikenal dikalangan kampus kami. Malam sebelumnya, Jani kalut, ia masih depresi mengingat kecerobohannya yang menghilangkan nyawa adiknya, ia mabuk, berpesta sampai pagi, dan ia melakukan hubungan sex dengan salah satu teman kami saat itu. Siapa yang sangka ia dijebak. Saat itu Jani benar-benar tak tahu apa yang terjadi, ternyata perempuan yang baru kami kenal setelah masa praktik itu sering sekali melakukan hal itu, dua bulan lalu dia meninggal. Ia tertular, Mar."
Aku berdoa, Tuhan apa yang harus ku lakukan sekarang. Entah mengapa rasanya lemas tubuh ini, tak dapat berkata-kata aku. Aku bingung siapa yang harus ku salahkan, masa lalukah, Jani kah, atau teman-temannya yang buruk saat itu.
"Mar, tolong jangan tinggalkan dia. Hidupnya terpuruk sekarang. Sejak beredar berita itu semua orang menjauhinya, semua kebanggaannya di kampus lenyap, Mar. Orangtuanya pun tak perduli padanya, semakin benci mereka, Mar. Sekarang Jani hidup bersamaku, walaupun orang tuanya masih mengirimkan uang padanya namun mereka tak mau melihat Jani lagi. Kau bisa merasakan betapa hancur hidupnya kan? Sekarang bagaimana hidupnya dan bagaimana masa depannya bersamamu kau yang tentukan, ia belum berani menceritakannya padamu."
Pembicaraan kami rasanya selesai sampai disitu. Aku berlari mencari Anyi'ku dan ku temukan dia tersenyum sambil terbatuk-batuk mengelap darah yang mengalir deras dari bibirnya yang tergigit akibat batuk yang terlalu kencang.
***
"Jani.. Bangun lo! Gue mau nagih janji lo! Lo bilang mau main band lagi ..."
Ku lihat senyum kecil tersungging di bibir Anyi'. Ia tak dapat membuka lebar lagi matanya, sesekali ia dapat tersenyum. Bobot tubuhnya semakin menurun drastis.
"Nyi' temen-temen yang lain berhasil dibujuk Tian datang menemuimu Nyi'. Anyi' senang?"
Ia kembali tersenyum dan meneteskan air mata, ia mengatakan terimakasih dengan nada dan suara yang pelan, namun tangannya menggenggam tanganku, aku tahu ia tidak setegar itu.
"Nyi' kita kapan donor darah lagi Nyi'? Masa cuma sekali Nyi'?"
Hal itu selalu aku tanyakan padanya, selalu ku ungkit dan membuatnya tersenyum karena disitulah awal perasaannya timbul padaku.
Sesaat setelah bersenda gurau bersama teman-teman kampusnya yang masih peduli padanya aku membasahi bibirnya dengan madu dan mengelap pinggiran bibirnya agar tidak meleleh kemana-mana madu itu. Kemudian aku memutuskan untuk keluar ruangan menghirup udara dan bergegas pergi mendoakan Anyi' di sebuah ruangan kecil yang khusus disediakan oleh rumah sakit, namun tanpa sengaja aku melihat Tian menangis diujung koridor rumah sakit, tak berani aku menyapanya aku hanya terdiam dan menangis. Anyi' tak sendiri, Anyi' tak sendiri kataku membatin.
Baru saja aku kembali berdoa aku lihat pintu ruangan Anyi' terbuka, agak riuh tampaknya. Aku berlari, berlari sekencang mungkin, aku tak peduli apa yang menghalangi aku tak ingin Anyi' merasa dia sendiri.
"Dok, tolong dia Dok! Tolong Dok!! Ambil saja darah saya semua.. bersihkan virus-virus di dalam tubuhnya! Dok! Lepaskan Anyi' dari sakit ini Dok! DOKTEEEEEEER!!! AMBIL SAJA SEMUA DARAH SAYA!! DOKTEEEEEEEEEERRRR!!"
Entah bagaimana aku menangis aku sudah tak ingat, seketika gelap saat itu dan kurasakan aku terbaring lemah dipelukan bunda.
***
"Tian, dimana?"
"Kenapa, Mar?"
***
Berlutut Tian disamping ranjang Anyi' kini ia menggenggam erat tangan Anyi'. Kembali aku memandang tubuh kekasihku, Jani.
"Nyi'.. Kenapa waktu itu gak bilang kalau mbak suster itu telpon-telpon kamu? Nyi'.. kenapa waktu itu ga cerita sama Mara kalau Anyi' gak dibolehin jadi pahlawan, gak boleh lagi datang sebagai pendonor darah, padahal Anyi' kan mau jadi pahlawan kayak Mara. Nyi'.. jangan nangis ya.. Nyi', Mara akan tetap jadi pahlawan dan rajin ke PMI untuk donor darah, supaya orang-orang yang menderita sakit kayak Anyi' cepet ketahuan dan bisa ditolong kesehatannya. Anyi', Mara janji untuk jaga Anyi' sampai Anyi' sembuh. Sekarang Anyi' sudah sembuh, Mara senang. Usah kau lara sendiri sayang, Mara disini, Mara sayang Anyi'."
Tubuhnya tak lagi bergerak setelah terahir kalinya ia menggenggam tanganku, ia ketakutan, namun tak sepatah kata 'takut' pernah keluar dari bibirnya, ia terus saja berjuang agar bisa tetap memegang tanganku.
Dan sampai saat ini senyum itu masih tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, setiap memori masih ku jaga baik dalam ingatan, dan aku masih terus menyumbangkan darahku untuk sesama, karena aku tahu beberapa tetes darahku dapat membantu mereka yang memerlukan dan dapat membantu Anyi' yang lain mengetahui lebih cepat tentang virus mematikan itu, sehingga mereka bisa menjaga kesehatannya lebih ketat. Aku mencintaimu Nyi'. Masih ada harapan untuk mereka yang membutuhkan, masih ada harapan untuk mereka yang belum tahu apa itu AIDS, masih ada harapan untukku mewujudkan impianmu menjadi pahlawan seperti aku, titip salam untuk Adi, damai-damailah kalian disana. Aku, Tian, dan teman-teman lain masih disini untuk mencari pahlawan-pahlawan kecil lainnya.
"Sekali jumpa kau mengeluh kuatkah bertahan
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
Kudatang sahabat bagi jiwa
Saat batin merintih
Usah kau lara sendiri
Masih ada asa tersisa ...
Dekapkanlah tanganmu di atas bahuku
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
Di depan sana cahya kecil 'tuk memandu
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya ..."
(Inspired by @missbabbitt story and book, dan para pendonor darah sedunia.)