Jumat, 19 April 2013

Ini Awalnya, Aku dan Kamu Akhirnya


"Permisi..Permisi.." hhhhhh..hhhh..hhh..

Berlari-lari aku mengejar waktu, aku terlambat 30 menit untuk hadir dalam acara itu. Kalau sampai aku terlambat bisa habis aku.

Acara hari ini adalah acara event pertama yang harus aku tangani. Aku harus bergegas sebelum dokter itu pergi. Aku harus menunjukkan performa terbaikku untuk mencapai target.
 
Hari ini dengan baju coklat, celana jeans ketat hitam, serta sepatu wedges dan tas coklat yang baru saja tiba dari Singapore tadi malam aku masih saja mengejar bus menuju tempat tujuanku. Untungnya, untungnya, bus dari halte transit menuju mall tujuanku ber-AC sehingga aku bisa mengelap sedikit keringat dan memoles bedak serta perona pipi andalanku. Tak ketinggalan pewarna bibir berwarna oranye yang selalu menjadi senjataku untuk menggaet klien.

Huup! Aku melompat keluar dari bus bergerbong ganda itu. Aku berjalan cepat-cepat sampai orang terheran-heran melihatku. Ya, Bagaimana tidak dengan wedges setinggi ini aku membalap sekian banyak orang, semua demi masa depanku.

Sampai sudah aku digedung mewah berisikan brand-brand ternama. Aku tak pernah belanja disini, belanja mata saja iya. Lantai 3, itu tujuanku lagi-lagi aku masih harus bertualang untuk mencari restoran tempat meeting ini akan berlangsung. Lantai 3, belok kiri, bersebelahan dengan ah, ini dia restorannya.

"Ehm.. meeting dengan bapak Michael dimana ya mbak?"

"Oh, private room. Mari saya antar,"

Betapa tidak berdecak kagum, restoran ini benar-benar kelas atas. Meja-mejanya, dekorasinya, sofanya pelayannya pun bagai bodyguard menjaga kenyamanan tamu-tamunya. Masih sepi, belum ada tamu yang datang selain ruangan yang sudah setengah tertutup. Gawat, ku rasa aku terlambat.

"Silahkan mbak,"

"Oh, terimakasih."

"Akhirnya datang. Sudah lengkap semua ya tamu kita? Halo mbak saya Erna dari kreatif acara ini."

Satu-persatu bersalaman bertukar kartu nama dan bersalaman menyebut nama. Tiba-tiba karena masih mengatur nafas karena telah berlari begitu jauh aku oleng. Sambil bersalaman aku terduduk di kursi dan menjadi bahan tertawaan.

"Santai saja mbak, belum mulai kok meetingnya.. Hahahaha", ujar Bapak Michael yang akan menjadi sumber pendanaan bagi rangkaian acara di luar kota nanti. Demi target masa depanku, walaupun sedikit malu dihadapan orang-orang saat itu. Benar saja, banyak yang berdandan lebih dari aku. Cantik dengan brand-brand ternama diseluruh tubuhnya. Aku lihat, aku total, mungkin sekitar 10 juta ada di tubuh mereka. Ciut nyaliku.

Aku duduk dikursi pilihanku. Baru kusadari apa yang membuat aku oleng dan terduduk. Ada sebuah tas dibawah kursi ini. Ah, apa ada orangnya? Sudahlah, aku sudah duduk aku tak mau pindah lagi. Pembahasan topik dimulai tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang yang tak sempat kulihat wajahnya. Aku kaget, dia masuk ke bawah kolong dekat kaki kiriku, mau apa lelaki ini?

DUUG!

Selamat!!! Aku bersorak dalam hati. Dia terhantuk meja. Kemudia dia buru-buru mengambil tas yang membuat aku tersandung, ternyata punya lelaki ini. Setelah mengambil tas dan smartphonenya yang ada dimejaku ia pergi mengambil kursi dan duduk berseberangan denganku. Dalam hati bertanya, dari kreatif mana lelaki ini? Apa dia sainganku juga? Ah sudahlah.

Rapat kecil ini dimulai. Bapak Michael mulai menjelaskan hal-hal yang harus kami persiapkan untuk beberapa eventnya. Siapa yang paling kreatif akan dibiayainya menuju negara yang terkenal dengan Ratunya,    Elisabeth. Satu persatu kami mengajukan pertanyaan tapi entah mengapa lelaki tadi hanya diam mengamati dan mengetik setiap pembicaraan kami. Aku semakin diliputi rasa penasaran, siapa sih dia?

Dia membenarkan posisi kacamatanya, huh, biar terlihat pintar begitu? Ku kibaskan rambut dan ku sebar senyumanku dihadapan mereka semua, pelan-pelan aku mulai bisa mengatur alur pembicaraan dan membuat pak Michael tertawa, dia memang terkenal dengan keramahannya pada siapapun. Setelah setengah jam berlangsung tiba-tiba Pak Michael menyebut namanya, siapa? David?

Siapapun namanya dia sangat mengganggu. Bolak-balik ke toilet, mengambil gambar, mengangkat lengannya dan mencium bagian 'iyuuh' itu. Kenapa sih laki-laki ini? Kembali Pak Michael menyebut namanya dan menanyakan pendapatnya, hah?

Sial! Ternyata orang ini asistennya.

Dua jam berlalu, sangat seru. Makan siang mulai disajikan, sayangnya siang itu Pak Michael ada janji dengan klien lain dan ini membuatnya tak dapat makan siang bersama kami. Beberapa kreatif lainnya pun beranjak pergi tersisa lima orang disana termasuk aku dan asistennya itu. Ia menggantikan Pak Michael menjamu kami. Berbincang-bincang sambil tertawa perlahan suasana diantara kami yang tadinya adalah pesaing dalam proyek ini pudar.

David. Itu namanya, perlahan dia mulai mengeluarkan banyolan-banyolannya yang aku balas dengan banyolanku. Aku tidak mau kalah. Perusahaan tempat aku bekerja memang terkenal dengan kerja keras dan kekreativitasannya. Namun, pesaingku pun terkenal dengan elegansinya. Yah, kekurangan dan kelebihan tak dapat dipisahkan. Perlahan tapi pasti, sedikit-sedikit kucuri pandang padanya. Senyumnya dan tawanya, sederet gigi putih itu , kacamatanya, gayanya. Dia tidak malu-malu. Kenapa berbanding terbalik dengan keadaan beberapa jam tadi?

Dia mulai meminta nomer telepon genggam kami semua yang tersisa saat itu. Suasana semakin hangat ketika kami bisa tertawa lepas. Kami menertawakan hasil kreativitas kami yang pernah kami berikan pada setiap event dan kegagalan-kegagalan konyolnya.

Tiba saat untuk berpisah. Jelas, karena kami harus kembali kedalam pekerjaan masing-masing. Katanya sih hujan diluar sana, aku bingung harus pulang naik apa.

Kembali kami bersalaman, aku pilih jadi yang terakhir agar bisa jadi yang terakhir memegang tangannya. Sial, senyumku dikalahkan oleh senyumnya. Aku terkait padanya.

"Makasih ya Mas," kataku sambil menebar senyum dan menghipnotisnya dengan mata indahku. Aku tau itu, kekuatan magis pada mataku.

Berjalan perlahan bersama 'pesaing'ku sambil bertukar email dan jejaring sosial lainnya. Tiba di depan pintu utama mall ini aku harus berpisah dengan mereka. Mereka masih mau belanja lagi katanya. Aku ingin, tapi kulupakan dulu semua merek ternama itu demi cita-cita dan masa depanku. Aku berlari lagi menuju halte, mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah untuk membayar tiket.

Tak lama bus yang akan membawaku kembali ke kantor datang. Aku masuk ke dalamnya dan duduk dengan tenang. Aku menarik nafas panjang untuk kemenangan siang ini. Aku memeriksa ponselku, gawat begitu banyak email masuk, pesan, dan bbm bergantian datang. Di ruangan tempat meeting tadi benar-benar private sampai-sampai tidak ada sinyal. Kubuka satu persatu pesan diponselku.

Sial! Sekali lagi aku menggerutu. Smartphoneku ini memang sudah waktunya diganti, selalu mati mendadak disaat penting dan genting.

Sesampainya aku di kantor mini ini, si putih, aku menyebut ponselku sudah 'pintar' kembali. Hah? Nomer asing, David kah?

"Saya sudah kirim pertanyaan dan bahan-bahannya tolong titip untuk Pak..." Tak ku baca lagi pesan itu, ternyata dari atasanku. Huh! Bye David. Dia tak juga muncul sampai aku pulang kembali ke rumah.

Aku lelah. Aku tidur.

Beeppp....

"Selamat malam. Sampai jumpa di meeting selanjutnya ya, Kirana! by: David Putra."

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ini awalnya, sekarang mengingatnya membuatku semakin merindukan kehadirannya yang seminggu lagi akan datang ke London. Kami harus menempuh jarak demi mengejar cita-cinta kami. Tiga bulan depan kami akan mengikat janji sehidup semati di gereja kecil dikota tempat kelahiran David. Ini awalnya, aku dan kamu akhirnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar