Senin, 01 April 2013

Aku Gila

Hujan tiba-tiba mengantarkanku memasuki sebuah toko roti yang sangat ku kenal. Setiap Jumat sore aku datang kesana sekedar melihat dan merasakan piano sore kala itu, menanti senja yang menghadap lurus pada wajahku, dan oranye akan membuat aku lebih nyaman saat itu.

Hari ini bukan Jumat, tetapi aku harus berteduh karena hujan. Aku memutuskan untuk duduk di kursi piano. Hujan kala itu menambah kenikmatan sepotong roti dan soklat hangat yang ku pesan. Siang menuju sore, sore berkejaran berganti senja.

Dentingan piano ku mainkan. Terdiam sejenak, lalu aku menekan deretan tuts hitam putih tersebut. Aku bernyanyi bagai bicara pada hujan. Ya, siang ini tak secerah biasanya. Maret, satu bulan penuh kedamaian akan tatapannya. Aku memutuskan berbagi cerita pada hujan siang melalui nada yang ku mainkan, seadanya karena aku memang tidak lihai bermain salah satu alat musik yang penuh romansa ini.

"Aku rasa, aku gila," kataku. Ku rasa aku terdiagnosa schizophrenia sejak pertama melihatmu. Namun, itu sebenar-benarnya bukan pertemuan kita yang pertama. Aku terjangkit penyakit ini sejak masih bayi. Aku rasa aku mulai mengalami gejala retinoblastom sejak melihat mu saat itu, namun entah kenapa baru sekarang butanya. Aku buta akan segala hal, terhipnotis akan senyumanmu. Keramahanmu. Pemikiranmu.

Perlahan denting piano mulai mencapai klimaks seperti saat aku bersalaman denganmu. Semua hormon mengalir deras dalam tubuh ini. Belum, belum terbayang olehku keindahan tubuhmu sampai aku merasakan orgasme. Aku masih sampai pada titik kebahagiaan penghilang stres. Ya, kau salah satu antidepresan terbaik untukku selain coklat hangat. 

Boleh aku mengenalmu lebih lagi? Aku adalah penderita schizophrenia seketika sejak saat itu, Januari kita bertemu. Saat dimana kau mengalunkan suara dan dawai gitar, yang sebenarnya sudah ku ketahui kemampuanmu sejak aku kecil. Kau malaikat, susah dimengerti jalan pikiranmu oleh manusia biasa. Ya, ku sebut kau malaikat. Dan semakin kecil harapanku untuk melihat wujud aslimu karena jarak yang terlalu jauh. Kasta kah?

Sebenar-benarnya aku tidak sakit. Aku tidak gila. Namun, melihat namamu muncul saja dimana-mana aku epilepsi, mendadak kejang hingga berjingkrak-jingkrak sendiri. Sel-sel otakku semakin berpacu untuk membentuk jaringan dan menstimulasi mataku mengalami dilatasi. Aku tertarik padamu.

Hujan, aku tersenyum sendiri saat itu. 

Perlahan dentingan pianoku berubah menjadi minor, crescendo,  decrescendo. Seperti yang ku bilang tadi, ia manusia entah setengah malaikat. Membuatku ketakutan. Dan lagi-lagi berusaha menghindar untuk tidak tertarik pada sosok ini, aku takut. Aku ketakutan, dia lawan jenisku. Laki-laki sebutannya. Tubuh tegap berbahu lebih bidang dariku. Sosok yang kutakuti sepanjang hidupku. Ya, hujan, kau tahu bagaimana aku mengalami kegagalan-kegagalan dalam berhubungan dengan lelaki. Bukan aku tidak setia, atau aku tidak sempurna. Aku memuja diriku bagai dewi, aku miliki magis untuk terus membawa hubungan pada satu kebahagiaan, tapi aku naif. 

Naif sampai akhirnya aku kapok mengenal laki-laki. Yang katanya dapat melindungi, yang katanya cinta sampai mati, yang katanya mau berjuang bersama, yang katanya.. banyak kata-katanya. 

Sudah bukan waktunya untuk bermain-main dengan khayalan pernikahan. Aku ingin mewujudkannya, dengan dia. Tapi dia jauh. Bahkan kami tak saling mengenal, ada satu ketakutan dalam hatiku untuk mempercayakan dia bisa menjadi milikku. Tapi malaikat itu punya potensi ini. Jika diberi stimulus, aku yakin dia akan mengerti. Tinggal bagaimana Tuhan bekerja saja, aku selalu memohonnya lewat doa walau merasakan ketidaklayakan.

Tapi sepertinya, sejauh ini ia hanya menganggap permintaanku adalah sebuah permainan anak remaja yang baru mengalami masa-masa pubertas. Hei, aku hampir seperempat abad sesaat lagi. Masihkah aku terlihat seperti remaja saat ini? Sudah ku lewati fase itu. Hanya saja begitu mendengar namamu dan melihat dirimu, penyakit gilaku kambuh lagi. Diam, mengatur kata, tersenyum sendiri, imajinasi tentang pernikahan mucul lagi di kepalaku. Aku gila, sudah ku akui itu. Aku menyerah.

Percayalah, itu bukan aku yang sebenarnya. 

Hanya saja aku tidak bisa menahan kegelian pada perutku tiap membayangkanmu. Kupu-kupu rasanya berlomba mengepakkan sayapnya dan menggerak-gerakkan kakinya disana. Kemudian aku kembali memberikan gestur repetitif pada jemariku karena cemas akan apa yang kau pikirkan tentang aku.

Aku naikkan ritme musik piano yang ku mainkan. 

Sedikit menghilangkan kegalauan akan sesuatu yang tak pasti. Ya, cinta masa lalu yang sudah sedemikian indahnya namun tak jua bisa bertemu dipelaminan. Dan aku menaruh harapan yang besar padamu, akan hidupku. Tetapi, terbesit kembali bahwa kau berada di setengah langit biru, dan aku hanyalah ikan yang berusaha melompat memasuki duniamu. Berusaha terbang dengan sirip hingga terluka.

Haruskah aku berhenti mencoba? Hujan, bagaimana?

Perlahan hangat mentari datang lagi. Hujan pun tak menjawab. "Lagi-lagi seperti ini...," keluhku.

Dentuman terakhir nada G mengakhiri rangkaian melodi hatiku. Aku berhenti. Jangan beri aku isyarat lagi. Aku tutup piano klasik ditoko roti favoritku. Kemudian aku menunduk untuk mengemasi barang-barangku yang berceceran diatas sustain. Jatuh saat aku panik melihat namamu muncul dilayar ponselku sesaat lalu.

"Selamat ulang tahun, " katamu " ini kadonya, di dengarkan ya...,"

Aku kembali gila. Namun, tetap saja kita belum bertemu untuk bersama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar