Jumat, 29 Juni 2012

Dalam (dua) diam hati

Puisi..
Dengan ini ku harap kita bertemu kembali..

Aku Cita. Dia Raka.
Kami menulis aksara bersama, menulis apa yang kami rasa dan kami lihat.
Dia menemaniku, dan aku menemaninya. 

Aku benci ketika pagi datang. Kami harus berpisah.
Raka pergi bersama hatinya. Dan aku membawa hatiku.

"Ka.. ini sudah jam 5 pagi."
(Raka, ini jam 5 pagi tandanya kau harus pergi dan membawa hatimu pergi. Raka, tahukah kau.. ?)


"Cita. Aku pergi dulu, menjemput Dila. Kita bertemu di sekolah."


Sibuk ia mengikat tali sepatunya, tak lama melangkah pergi dalam hening.


"Cit! Semoga hari ini kau bertemu Arwin."
Ia tersenyum dan melambaikan tangan.
(Cit, semoga hari ini kau tak bertemu dengannya. Cit, hari ini aku menginap lagi di tempatmu ya, kita menulis lagi.)

"Raka, aku lapar. Aku tunggu kau dibawah pohon alpukat dekat lapangan ya, hari ini Arwin bertanding melawan sekolah lain, aku harus mendukungnya. Jangan yang pedas-pedas, aku takut penyakitku kambuh dan tak bisa mendukungnya!"

Ku ketik dan ku kirim.
(Raka, cepat datang. Aku merindukanmu, Arwin hari ini tampan sekali, tapi aku ingin melihatmu. Ya, aku mengirimkan hatiku.)

beep. "Aku belikan yang biasanya, mau susu juga?"
(Sabar Cita sayang, aku pasti datang.)

beep. "CEPAT!"
(Raka cepatlah, langkahkan kakimu. Tak usah bertanya aku mau apa, aku mau kamu.)

Dibawah pohon ini kami menikmati semilir angin. Menikmati senja semusim.
Diam bersama berdua sampai tersadar bahwa kami terlalu lama disini, itu kalau kami sadar.

"Cit, pulang yuk."
(Cit, boleh lebih lama lagi?)

"Sudah malam ya? Aku lapar."
(Nanti, sebentar lagi ya Raka.)

"Kita makan."
(Cita...)

Berjalan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kami tak terpisah, entah mengapa malam ini tangan Raka begitu hangat. Kami bergandengan setiap menyebrang, hanya ini hal satu-satunya yang dapat membuat aku dan Raka saling mengaitkan tangan, mungkin juga hati, makanya aku suka memutar jalan, agar semakin banyak jalan yang kami sebrangi. Raka senyum-senyum malam ini apa dia malu? Apa dia 
menyukaiku? Atau dia sedang senang karena tadi bertemu Dila. Hmm..


Berjalan bersama dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kami tak terpisah, entah mengapa malam ini tangan Cita begitu dingin, membuatku ingin menggenggamnya lebih erat. Kami bergandengan setiap menyebrang. Cita terdiam, apa dia marah karena ku ajak pulang dan meninggalkan Arwin disana? Apa dia menyukaiku? Apa dia marah padaku, aku tersenyum saja. Hmm..

Kelabu ketika tangan kami terpisah dan tanpa ragu aku berlari dalam keadaan setengah sadar setelah berputar beberapa kali dan kurasakan sayatan yang begitu dalam. Ku rasakan tanganku tak lagi hangat. Apa yang terjadi? Dimana Raka. Ah, aku dalam pelukannya.

"Cita, kita tidak akan berpisah kan? Walaupun kita mati.. nanti."
(Cita, kenapa kau lepas tanganku? Cita kenapa aku harus diam melihatmu kaku? Cita, aku belum benar-benar menyatakan perasaanku. Cita, selama ini apa kau mencintaiku?  Cita kenapa kau pergi meninggalkanku? Cita mengapa kita hanya dipisahkan oleh diam? Cita sekarang kau tak lagi dapat menjawabnya. Cita..)

Tatapanku kosong melihat wajahku basah karena linangan air mata yang tak tertahankan, tapi mataku tidak basah. Ini cinta Raka yang berwujud air mata, mereka berkata-kata tentang cinta. Jika saja saat itu aku menunjukkan rasa.

Tatapanku kosong melihat wajahnya basah karena linangan air mataku yang tak tertahankan, perih hatiku. Ini cintaku dalam wujud air mata, mereka berkata-kata tentang cinta. Jika saja saat itu aku mengatakannya, sebelum kita terpisah oleh diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar