Berkeliling mengitari kubus berukuran dua kali kamarku dan melihat
pigura-pigura kaca yang tergores luka tanpa nanah entah ruangan apa
ini. Sebenarnya dimana aku? Berjalan tanpa henti, dengan pakaian tidur
kesukaanku dan tidak menggunakan alas apapun pada kaki mungilku. Masih
terdiam mengelilingi ruangan yang sejak tadi entah beberapa jam yang
lalu tak habis juga ku putari, ini bagai rotasi bumi, tak berhenti. Aku
memandang pada salah satu luka, tergores tak terlalu dalam, tapi ia
mati.
Kembali menjejakkan kaki, aku rasa cukup malam kali ini
tapi cahaya masih saja menerangi ruangan tanpa akhir ini. Terus
kutapaki perlahan berharap menemukan jalan keluar, suasana tidak
mencekam disini, hanya saja bagaimana jika tidak ada pintu keluarnya.
Nila. Nama yang ku baca dibawah sebuah pigura kaca paling kecil. Hatinya kecil namun penuh dengan luka dalam, kini ia mati.
Heru. Lukanya ringan tapi ada guratan-guratan yang tak terjelaskan disana, terlalu lama memendam cinta sepertinya, dan ia mati.
Kinan. Hatinya mati tanpa luka. Ia mungkin mengalihkan hatinya untuk menghindari luka.
Banyak
nama dengan berbagai luka dalam pigura kaca, tanpa muka. Aku menangis
melihatnya, meraung dan meneteskan air mata lagi, ada yang mati karena
rindu disana, ketika yang ditemuinya hanyalah kenyataan pahit bahwa
rindunya tak berbalas, rindu mengkhianatinya dengan bercinta dengan
yang lain.
Setiap pigura dapat kuikuti perjalanannya, hanya dengan
mengikuti irama setiap detak jantung yang ada dalam pigura itu, jadi
hati itu masih berdetak, tapi mereka mati, mati untuk cinta. Seperti
hati Nila yang kecil, cintanya mati untuk ayah dan ibunya. Ia menjadi
pecinta wanita sekarang.
Semakin kuikuti semakin sakit kurasa,
aku ingin kembali pada kenyataan, tak lagi ingin dalam bayangan.
Apa-apaan ini aku tak bisa menemukan pintu keluar!
"Toloong-tolong!!"
Jeritku
tak tertahan, dan aku tersentak melihat sebuah hati. Hitam. bukan
karena warnanya yang hitam. Disana terdapat dunia kelam, bagaikan
neraka usang yang tak lagi mau menampung para jahanam. Kuikuti
detaknya.. diam.. diam..
Ku temui sebuah kisah luka dalam yang
tak hilang, perlahan hilang, luka pada yahnya, tiba-tida datang tikaman
dalam dari ibunya. Perlahan tapi pasti ada pembuluh darah yang pecah
setelah sekian lama hati itu berbunga (entah kapan aku melihat pembuluh
darah memiliki musim semi). Lalu, kembali ia berhadapan dengan cinta
dan terjatuh, tak terlalu dalam, apa ini..? Menghadapi cinta lagi.
"Kenapa banyak cinta dihati ini, datang bergiliran?"
Berdarah
lagi hati itu. Kali ini ia pergi merelakan masa lalu, ya, masa lalu
yang tidak membawanya pada masa depan. Ketulusan menjadi alasan, ia
menapaki hari bersama cinta yang baru, bukan, ia mencintai lagi.
Ketulusan dan penuh doa di dalamnya, bahkan dalam setiap tidurnya doa
itu terpanjat, bagai mendobrak pintu sorga meminta hati perempuan itu
untuknya, ia mencintainya, bahkan dengan segala dosa-dosanya "aku
cinta" kata pemilik hati itu. Perlahan tapi pasti mengapa bagian ini
semakin terkoyak, ketika rindu mengkhianati. "Bukankah kisah ini sudah
ada di pigura lainnya, ternyata banyak rindu yang berkhianat."
Ia
melihat bagaimana satu persatu luka dalam hati itu terjahit kembali,
setiap ruang yang terbuka mengalami jahitan-jahitan kasar dengan tujuan
menutup hatinya, mengosongkan seluruh ruang yang menjadi bagian
hidupnya. Kasar, hati itu kini kasar sekali, terlihat luka disana-sini
dengan tetesan-tetesan darah sisa. Ingin aku memeluk hati itu. Erat.
Ia
yang paling terluka dari semua pajangan pigura kaca ini, aku ingin
menangis bersamanya, dan aku melihat hati itu terkoyak, perlahan
lunglai sebelum ia mati. "Sini ku dekap!" bisikku perlahan.
Dan aku menghapus embun bening kaca pada hati itu. ku lihat namanya. Lunar. Nama hati yang akan menjadi masa depanku. Mungkin juga itu hatiku dan aku perlahan mati bersamanya melebur jadi satu dengan setiap darah yang mengalir, agar ia kembali hidup. "Apakah aku mati?"
Ku dengar semua pigura itu pecah berhamburan.. hening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar